••BAIK-BAIK SAJAKAH?••

983 97 19
                                    

Happy reading ❤❤

Aku mengenalmu lebih dari mereka, dan aku mencintaimu tanpa perlu diketahui siapa-siapa.

•••

Sekitar tiga puluh menit Lala berada di kamarnya, duduk di dekat jendela sambil menangis memeluk lutut karena merasa begitu dikhianati setelah Ares memilih untuk tak mendengarkan perkataanya, niat Lala sederhana—melihat Ares baik-baik saja, nyatanya remaja itu justru seperti setor nyawa.

Rasanya terlalu sakit, tapi entah apa itu? Kenapa dia harus terus menangis karena Ares? Memangnya remaja itu siapa?

Tak berapa lama terdengar suara mesin motor dinyalakan, hal itu membuat Lala menengadah. Ia beranjak menghampiri pintu dan membukanya, segera Lala menapaki tangga menghampiri pintu utama.

Benar saja, di ruang tamu tak ada siapa-siapa. Lala bergegas membuka pintu, setelahnya berlari pada sosok yang masih bertengger di motornya itu meski rasa sakit dan lelah hinggap di tubuhnya.

“Ares!” pekik Lala berlari menghampiri Ares yang bersiap hendak melajukan motornya, alhasil remaja itu mengurungkan niat dan turun dari motor, tiba-tiba saja Lala memeluknya dengan erat.

Rasanya kehangatan itu langsung menjalar ke sekujur tubuh, mengalahkan rasa sakit—juga segala hal yang selama ini Ares rindukan, benarkah Lala kecilnya sudah kembali?

Lagi-lagi Lala menangis, ia jadi cengeng sekali. Lala memukul dada Ares dan tak peduli bagaimana sakitnya meski empunya mengerang berkali-kali.

“Lo itu mikir nggak sih! Jangan sok jagoan! Lo nggak inget pas SD berantem aja kalah! Sekarang malah sok jagoan!” gerutu Lala seraya menyeka air matanya, ia mengurai pelukan itu dan membiarkan Ares melepas helmnya.

“Sepeduli itu lo sama gue, La? Ini nggak cuma mimpi, ‘kan?”

“Makan tuh mimpi!” Lala mencubit pinggang Ares hingga memekik keras, dan berhasil membuat Lala tertawa meski air mata masih ada di wajahnya.

“Sakit banget, La. Aduh ... makin remuk badan gue.” Ares mengusap bekas cubitan Lala, ekspresinya menggemaskan. Remaja itu pun sanggup tersenyum setelah melihat Lala akrab dengannya, mungkin benar perkataan Jinggo hari itu; Kalau dia nggak butuh hati, artinya dia butuh nyawa.

“Pokoknya gue nggak mau dengar atau lihat lo sampai berantem apalagi tawuran kayak gini, gue nggak suka badan lo dicabik-cabik kayak gini, Res. Kasihan Tuhan udah ciptain lo dalam bentuk sebaik-baiknya, tapi malah lo rusak kayak gini.” Lala mengiba. “Buang katana lo itu, gue nggak mau mimpi gue jadi nyata.”

Ares tersenyum, “Emang lo mimpi apa sih, La?”

“Nggak perlu tahu, mimpi buruk nggak layak buat diceritain ke siapa-siapa. Mending lo nurut sama gue atau selamanya kita nggak kenal lagi.” Kali ini Lala benar-benar serius, terlalu miris melihat banyak luka di tubuh Ares.

Ares mengangguk, “Oke gue pasti bakal turutin maunya La Estrella yang demen banget ice cream vanila dari zaman SD.”

Esperance (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang