••RENCANA••

1K 85 15
                                    

Happy reading ❤❤

Bagaimanapun memori berisi keping masa lalu, hanya jadi nostalgia yang tak lekang oleh waktu.

•••

Ares menepikan motornya di depan basecamp tempat Jinggo berada, ia turun seraya melepas helm dan meletakan benda itu di atas tanki motornya. Langkah lebar Ares memasuki rumah itu, ia mengedar pandang karena tak menemukan siapa-siapa padahal ia sudah mengirimkan chat agar Jinggo menunggunya di basecamp, tapi entah ke mana perginya preman itu.

Ares duduk di sebuah sofa lusuh, ia menyandarkan punggungnya dan merasakan lelah tak berkesudahan—lelah hati dan pikiran. Ia melirik pada arloji yang sudah menunjukan pukul tiga sore, setelah dipikir-pikir mungkin saja para preman itu sedang mengamen atau mencari makan.

Namun, terdengar suara deru motor dari luar gedung itu, juga beberapa percakapan manusia yang terdengar panik.

“Cepat bawa masuk! Bawa masuk!”

“Hati-hati, sakit semua badannya!”

“Obat merah udah beli belum?”

Ares yang penasaran akhirnya beranjak, belum sempat ia menghampiri pintu—beberapa preman yang datang termasuk Jinggo ikut menggotong teman mereka yang bernama Robi, sekitar tiga orang menggotong Robi dan meletakannya perlahan di sofa. Ares beranjak mengamati wajah Robi yang dipenuhi lebam—juga darah yang mengalir lewat pelipis dan hidungnya.

“Dia kenapa, Bang?” tanya Ares menatap Jinggo, preman itu menghela napas seraya menyugar rambutnya lalu berkacak pinggang.

Jinggo duduk di sofa lain, ia memperhatikan Robi yang kini diobati teman-temannya.

“Ada apa, Bang?” tanya Ares lagi karena pertanyaan pertama pun tak dijawab, ia duduk di sebelah Jinggo.

“Robi dikeroyok, nggak habis pikir gue,” sahut Jinggo.

“Dikeroyok siapa?”

“Samuel sama gengnya lagi.” Jinggo menghela napas berat. “Padahal gue mati-matian enggak mau cari ribut sama dia, gue nggak mau ada korban lagi. Edo aja gue tahan-tahan biar nggak balas dendam soal kematian bokapnya, tapi sekarang malah ....”

Ares menelan saliva, ia melihat Robi yang meringis menahan sakit karena sentuhan kapas setelah ditetesi obat merah. Sepertinya sakit sekali.

“Sebenernya ... gue juga dendam sama dia, Bang,” aku Ares.

“Lo dendam kenapa, Res? Jangan main-main, lo tahu Samuel lebih bengis dari preman-preman lainnya, ‘kan? Dia bukan cuma incar lo, bisa aja keluarga lo atau teman lo buat ajang balas dendam.”

“Dia udah incar cewek yang gue suka, Bang. Samuel bakar motor Lala waktu kemarin dia kejar gue karena tolong Lala yang nggak sengaja hampir kejebak tawuran, tapi Samuel lihat gue dan akhirnya—”

“Dia kejar lo?” potong Jinggo.

Ares mengangguk, “Dia udah nggak bisa dibiarin lagi, Bang. Samuel keterlaluan, Lala nggak salah apa-apa.”

Esperance (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang