••ASTRAPHOBIA••

1.4K 126 23
                                    

Geisha—selalu salah.

Happy reading ❤❤

Kita seperti ombak dan batu karang, aku yang terus mengejarmu meski kamu diam dan beku.

•••

Setengah jam sebelum bel pulang berbunyi, sudah terdengar kilatan-kilatan petir di langit, berdentum bak suara drum musik. Hal itu mengakibatkan kecemasan di wajah Lala, penyakitnya bisa kambuh jika ketakutannya terus-terusan muncul, hanya saja tak banyak orang yang tahu perihal astraphobia yang diidapnya sejak SD, cukup keluarganya yang tahu.

Setelah bel berbunyi, orang-orang bergerak keluar kelas lebih cepat, mereka buru-buru ingin lekas sampai rumah karena rintik air langit perlahan menyentuh selasar bumi Jakarta, membuat siapa-siapa di bawahnya mulai basah jika tak lantas berteduh.

Lala hanya diam, dia menelan saliva kuat-kuat, kecemasannya kian bertambah saat dentuman petir makin nyaring, ia memeluk ranselnya seraya duduk di balik meja tanpa berniat keluar dari kelas. Beberapa butir peluh sebiji jagung mulai keluar, jantungnya pun berpacu lebih cepat, gadis itu beranjak menghampiri pojokan kelas untuk bersembunyi. Ia menarik dua kursi paling ujung hingga mencipta kosong di balik meja, setelahnya Lala berjongkok di sana seraya menutup telinga dengan kedua tangannya, ia memejamkan mata.

Astraphobia atau phobia terhadap suara petir itu mulai ia rasakan saat kelas empat SD, semua bukan tanpa sebab, ketakutannya karena rasa trauma sejak pernah melihat seorang pria tersambar petir di depan matanya—atau lebih tepatnya di atas rel kereta saat gadis itu pulang sekolah sendirian, tanpa Ares. Di situ, rasa takut berlebihan terhadap petir akhirnya menguasai Lala hingga hari ini.

Di luar, Ares yang baru keluar dari kelasnya berlari menghampiri kelas Lala, tapi terlihat kosong saat ia mengedar pandang, ia tak tahu jika gadis itu bersembunyi di balik meja paling ujung. Ares tahu soal phobia itu, dia makin cemas sekarang.

Atau mungkin Lala udah pulang? Gue harus cek parkiran, batinnya seraya berlari menerobos banyak orang di koridor, ia pernah melihat sendiri bagaimana Lala menangis berlebihan bahkan bersembunyi di bawah meja saat phobia gadis itu muncul.

Ares terus berlari hingga tiba di koridor utama, dan hujan sudah jatuh dengan derasnya, tak membiarkan siapa pun pergi dengan mudah. Ia melepas ransel untuk menutupi kepala saat berlari menghampiri parkiran motor, tujuan Ares hanya mencari motor Lala saja—jika memang gadis itu sudah pulang, karena jika phobia itu muncul di jalan justru lebih berbahaya lagi.

Ares bernapas lega saat melihat motor Lala masih di parkiran, artinya gadis itu belum ke mana-mana.

Tapi dia di mana? Di kelas nggak ada. Ares kembali ke koridor utama, orang-orang mulai berkeluh kesah karena tak bisa langsung pulang, hujan kadang semenyebalkan itu. Koridor utama sudah dipadati oleh penghuni yang masih tersisa, meski koloni mereka memang masih banyak.

Remaja itu akhirnya tiba lagi di lantai tiga, ia bahkan mengabaikan seruan Vely saat memanggilnya di koridor lantai dua tadi, fokus Ares hanya satu untuk sekarang.

Esperance (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang