Prolog

9.6K 419 35
                                    

“Satu menit lalu atau satu detik lalu tetap saja adalah sesuatu yang tidak bisa didapatkan untuk kedua kalinya.”
-Stylly Rybell, Warm Rain

Rintikan air serta embun yang menutupi pemandangan dari jendela menandakan awan tidak kuat lagi menahan air di dalam tubuhnya, tanpa adanya petir atau bahkan guntur yang menemani

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rintikan air serta embun yang menutupi pemandangan dari jendela menandakan awan tidak kuat lagi menahan air di dalam tubuhnya, tanpa adanya petir atau bahkan guntur yang menemani.

Pemandangan itu ditatap oleh seorang gadis cantik yang tengah duduk di atas kasurnya, perban di beberapa bagian tubuhnya, bau obat-obatan yang menusuk hidungnya ia abaikan, pikirannya hanya pada keindahan hujan yang dapat ia lihat dari balik kaca jendela di ruangannya.

Menunggu kedatangan kedua orang tuanya yang sibuk entah karena apa. Tatapannya beralih pada sebuah novel yang ada di atas nakas, merasa familier dengan buku itu segera ia raih.

Sampul yang dominan warna favoritnya-merah menunjukan sebuah judul yang ia rasa tidak asing, He is Diffrent karya Jocelyn Alexa Zura. Gadis itu membukanya untuk mengamati sekaligus jatuh ke dalam dunia fantasi itu. Dengan suasana yang tenang tanpa adanya kebisingan, ia menyandarkan punggungnya di senderan kasur agar tidak perlu merasakan lemas di bagian belakangnya untuk dua jam kedepan.

“Kamu baik-baik saja?”

Gadis itu menengok pada pintu di mana ibunya masuk bersama ayahnya dengan pakaian formal, menunjukan identitas mereka yang bukan orang sembarangan. Gadis cantik itu tersenyum kecil melambangkan kegembiraan semu, jauh di lubuk hatinya bahwa ia tidak merasakan apa pun.

“Mama sama papa baru pulang?” tanyanya tanpa menurunkan sudut bibirnya yang bahkan berbeda dengan suasana hatinya.

Kedua insan itu mendekati buah hati mereka untuk mengecup keningnya singkat menunjukan rasa sayang yang ada di hati kedua orang tuanya.

“Maaf, mama enggak menemanimu, mama dan papa kerja juga untuk kamu.” Wanita itu tersenyum sambil menggenangkan air matanya berharap sosok prioritas utamanya mengerti akan pola pikirnya. Tapi bahkan wanita itu tidak tahu bahwa anaknya hanya membutuhkan penuntun saat ini.

“Cepat sembuh, jangan lama-lama sakitnya.” ucap ayahnya yang semakin lama semakin besar mencurahkan kasih sayangnya.

Gadis itu merespon dengan gerakan kepala yang menandakan setuju. Perasaan gundah di dalam hatinya tidak ia gubris meski perasaan itu terasa begitu janggal dan harus diingat, ia tidak tahu alasannya.

Tiga jam kemudian, orang tuanya kembali bersibuk dengan dunia masing-masing, gadis itu lagi-lagi sendirian. Ia tidak masalah akan hal itu tapi ia hanya punya satu perasaan yang aneh di hatinya seolah-olah ia telah melupakan bagian terpenting dari dirinya.

Warm Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang