Sekarang

1.9K 177 23
                                    


"Kau hidup di masa sekarang jadi jangan menilai seseorang dari masa lalu, kau lamban untuk sekarang lalu jadi apa kau di masa depan?"
-Stylly Rybell, Warm Rain

"Kau hidup di masa sekarang jadi jangan menilai seseorang dari masa lalu, kau lamban untuk sekarang lalu jadi apa kau di masa depan?"-Stylly Rybell, Warm Rain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara merdu disertai alunan gitar di samping Aaron sedikit menarik sudut bibirnya. Lagu yang dinyanyikan gadis itu adalah lagu kesukaannya. Sambil menopang dagu Aaron menikmati nyanyian Lidya, ia sangat menyukainya. Seharusnya lagu itu dinyanyikan dua orang tapi Lidya bernyanyi hanya sendiri dengan baik.

Di saat lagu selesai dinyanyikan, Aaron menyinggingkan senyuman tipisnya, ia cukup terhibur. Ingin rasanya Aaron memujinya tapi tidak ia lakukan, lidahnya kelu. "Kamu les nyanyi?"

Lidya menggeleng sambil memeluk gitar di pangkuannya. "Cuma hobi,"

Aaron mengangguk-anggukan kepalanya kemudian menyilangkan kaki tanpa memikirkan sopan santun. "Enggak jadi aku video, aku lebih suka foto dibanding video."

Lidya hampir mencibir tapi ia mengurungkan niatnya, ia memilih menatap tumpukan bukunya. "Boleh aku ke rumah kakak? Aku mau minta tanda tangan-"

"Enggak boleh," larang Aaron. Pria itu berdiri untuk pergi. "Lain kali kalau kamu tampil beritahu aku," itulah kata-kata terakhir Aaron sebelum meninggalkan kamar Lidya.

Detik pertama Lidya merasa kesal namun di saat Aaron mengucapkan perihal tampil, jantung Lidya berdetak lebih cepat. Gadis itu mengejar seniornya untuk mengantar Aaron ke depan gerbang, menahan senyuman yang nyaris terukir. Tentu saja Lidya merasa senang karena ada yang menyukai nyanyiannya.

"Hati-hati, kak," Lidya berucap begitu saja, mungkin karena tidak tahu harus berkata apa.

Aaron baru saja menyalakan motornya tersenyum miring pada gadis di sampingnya yang tengah menarik sudut bibir kaku. "Jadi 'ada kelas pagi' itu cuma alasan?"

Lidya menggeleng cepat, tidak terima dengan ucapan pria di depannya. Enak saja ia dibilang cari kesempatan dalam kesempitan untuk lebih dekat dengan Aaron, bahkan ia tidak punya niat seperti itu sama sekali. "Tanggung kalau aku berangkat sekarang, nanti dimarahin."

"Dasar anak nakal!" ejek Aaron sebelum menutup kaca helmnya dan meninggalkan Lidya begitu saja.

Lidya memasang ekspresi kesal kemudian masuk ke dalam rumahnya. Gadis itu tersenyum entah mengapa ia sangat senang padahal ia hampir menangis tadi. Lidya harus memberitahu Nadine tentang keajaibannya hari ini dan Aaron bukanlah pria yang seburuk orang-orang katakan.

Lidya melihat jam ternyata sudah pukul setengah sepuluh saja. Baru saja Lidya mengklik kontak Nadine di ponsel layar sentuhnya tapi gadis itu sudah meneleponnya lebih dulu. Nadine benar-benar tahu kapan waktunya menelepon Lidya, saat sedang asik bermain gitar, saat sedih, saat kesepian, dan di saat bahagia.

"Halo, kenapa?" Lidya bertanya kemudian mendengarkan dengan seksama. "Sebaiknya kamu datang ke rumahku sekarang, bila perlu menginap. Besok kita libur, 'kan? Ada keajaiban yang menimpaku tadi pagi." Lidya terkekeh saat mengucapkan kata, 'keajaiban' mungkin karena ia sangat jarang melebih-lebihkan kalimatnya. "Iya, langsung masuk saja seperti biasanya." Lidya berdeham kemudian menutup sambungan.

Kita lihat seberapa hebohnya ratu gosip ini... Eh, tunggu dulu, lalu kalau aku ceritakan pada Nadine, apa dia enggak kasih tahu orang lain? Bagaimana kalau fans fanatiknya Kak Aaron langsung menerorku?

Lidya menggeleng pelan merespon seberkas pikirannya. Sambil menunggu Nadine datang, Lidya kembali meraih gitarnya, tanpa sengaja tatapannya melirik jam dinding. Lidya mengerutkan kening, bagaimana bisa Nadine meneleponnya padahal masih jam setengah sepuluh, dosennya seharusnya keluar jam sepuluh. Lidya mendelikkan bahunya, ia harus bertanya dengan Nadine nanti tapi untuk sekarang lebih baik ia menyanyikan lagu yang sesuai seperti perasaannya sekarang, bahagia.

Alunan-alunan lagu menemani hingga empat puluh menit ke depan, meski menunggu sangat membosankan tapi jika ditemani dengan gitarnya pun tidak masalah untuk Lidya. Tepat di saat Lidya meletakkan gitar dan meraih novel favoritnya, Nadine masuk menggenggam Tote bag dan tas gembungnya.

Lidya kembali meletakkan novel yang diraihnya, senyum yang dari tadi melekat pada bibirnya sulit ia netralkan bahkan nyaris ia tertawa. "Kamu seperti baru saja mandi," ucap Lidya setelah mengamati rambut Nadine yang masih lembab.

"Memang," balas Nadine setelah menutup pintu. "Asalkan kamu tahu, Bu Cecil pindah ke Malang! Akhirnya, dosen yang merasa dirinya perempuan paling cantik itu pergi!" Nadine memang tidak bisa mengontrol ucapannya jika ia hanya berdua dengan Lidya, berbanding terbalik sekali jika di depan orang yang ia bicarakan.

Lidya melongo sesaat, jadi tadi ia buru-buru percuma saja? Dan ia sangat menyesal tidak memeriksa ponselnya dulu! Tapi tidak sepenuhnya, Lidya juga senang bisa berbicara dengan Aaron dan itu terjadi karena ia pergi ke kampus.

"Nadine, aku ingin memberitahumu tentang keajaibanku hari ini tapi kamu harus berjanji kalau enggak kasih tahu siapa pun, oke?" Lidya sedikit canggung mengucapkannya tentu saja dirinya yang bisanya terlihat keras di depan sahabatnya ini tengah meminta hal sederhana.

"Enggak biasanya, iya, aku janji, cepat beritahu aku!" Paksa Nadine sambil duduk di samping Lidya, meletakkan Tote bag berisi camilan itu terdampar di lantai.

"Kak Aaron tadi ke sini," Lidya berucap perlahan sebagai pembuka dan Nadine sudah heboh membeo saja. "Hey, hey, dia tahu kameranya padaku dan kameranya tertinggal di rumah jadi-"

"Astaga, betapa beruntungnya kamu! Bisakah keajaiban itu datang padaku juga? Argh! Lalu apa yang dia bilang sama kamu? Apa ada hal-hal spesial? Atau-"

"Tidak ada yang spesial tapi dia minta maaf padaku karena menakutiku, dia juga memintaku menyanyikan lagu yang dia request. Dia enggak seburuk orang-orang katakan." Potong Lidya, entah mengapa di akhir kalimat ia tersenyum kecil.

Nadine langsung heboh dan histeris sambil meremas-remas tangan Lidya karena geram, ia merasa iri dengan keberuntungan sahabatnya itu. Tentu saja, pria tertampan yang pernah dilihatnya mengobrol bahkan mengunjungi rumah sahabatnya. Andai saja Nadine di posisi Lidya ia sudah mengarungi Aaron.

Lidya tidak terlalu mendengarkan ucapan-ucapan Nadine, ia sibuk berpikir. Ketika ia tampil lagi, haruskah ia memberitahu Aaron? Tidakkah pria itu hanya basa-basi saja? Entah itu basa-basi atau bukan, Lidya akan tetap memberitahunya meski pria itu tidak akan datang sekali pun. Ia hanya melakukan sesuai yang Aaron bilang, bukan?

Seberkas ingatan lewat di dalam pikiran Lidya tentang tragedi kampusnya, Dosen Gwen dan Adelia. Apa mungkinkah Aaron dalangnya, persis seperti persepsi orang-orang? Tapi entah mengapa Lidya tidak percaya. Aaron cukup baik dengannya, Aaron masih punya hati, tidak mungkin Aaron yang melakukannya, bukan?

"Lidya! Ih, kamu enggak mendengarkanku!" Kesal Nadine mendorong bahu temannya itu. "Dasar hobi melamun!"

"Eh, tentang Bu Gwen dan Adelia bagaimana?" Tanya Lidya berbaring di atas queen size-nya. Tetap saja ia penasaran dengan misteri yang belum dipecahkan pemerintah tentang anggota lingkungan kampusnya itu.

Lagi-lagi Nadine tersenyum karena Lidya ingin tahu gosip yang diketahuinya, mood-nya seakan-akan selalu baik jika bersangkutan dengan gosip tapi senyumannya kembali pudar karena berita yang akan ia ucapkan. "Enggak ada kabar tapi kali ini Vina yang hilang."

Lidya mengernyit. "Enggak mungkin, bagaimana bisa? Kenapa banyak orang hilang di kampus kita? Bu Gwen meninggal, Adelia hilang, dan sekarang Vina? Aku pikir Vina yang culik Adelia karena kulihat mereka sering bertengkar. Dan soal Bu Gwen juga mereka sama-sama suka Aaron, bisa jadi juga Vina penyebabnya tapi jika Vina juga hilang lalu siapa?"

Nadine terlihat pucat. "Apa mungkin hantu yang menculik mereka? Atau pembunuh buronan? Ayahnya Kak Aaron? Oh astaga, kita harus hati-hati-"

"Kenapa kamu jadi menuduh ayahnya Kak Aaron?" Potong Lidya melempar tatapan tajamnya, ia tidak suka Nadine menyangkut pautkan dengan masa lalu seseorang, ayolah, di novel The Last Moon karya penulis favoritnya saja terdapat pesan moral, tidak boleh menilai seseorang berdasarkan masa lalunya.

Dasar Nadine...


#To be Continued...

Warm Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang