Sesat

3K 239 15
                                    

"Berkata buruk tentang seseorang tanpa mengetahui informasi yang akurat itu menyesatkan."
-Stylly Rybell, Warm Rain


Dasar kasar! Bagaimana jika dia meleset? Hidungku akan terbelok! Mungkin dia orang yang temperamen jadi sangat mudah marah? Atau mungkin-

"Lidya!"

Gadis yang tengah melamun itu langsung menoleh pada sumber suara di mana sahabatnya telah menjatuhkan pikirannya pada dunia nyata. Lidya meminum es tehnya sekilas sebelum mendengar penuturan Nadine yang bersiap mengeluarkan suara melengkingnya.

"Kamu tidak mendengarkanku!" kesal Nadine menyenggol bahu temannya itu, panjang lebar ia bercerita sama sekali tidak dipedulikan.

"Aku dengar karena itu aku menoleh." jawab Lidya tidak peduli terdengar sekali dari nada bicaranya yang datar nan membosankan.

Nadine segera menepis pikiran buruk tentang sahabatnya, ia ingin memperingati Lidya. "Bagaimana menurutmu tentang Aaron? Dia jahat, bukan?! Apa kamu terpengaruh olehnya? Mungkin dia memakai ilmu hitam karena kudengar, ayahnya pernah menjadi pengikut iblis! Mengerikan, bukan?"

Memang ayahnya mantan pidana apa hingga sampai jadi pengikut iblis? Apa mungkin Aaron seperti itu karena ayahnya memengaruhinya?

"Lidya! Ish, sumpah aku mau mati punya teman seperti kamu!" kesal Nadine menyeruput tehnya sebal, ia pikir perkataannya tidak sampai di otak Lidya tapi salah, Lidya mendengarnya hanya saja ia tidak membalasnya.

Lidya memutar kedua bola matanya jengah, sungguh ia tidak ingin menggosip, ia lebih suka memikirkannya sendiri dibanding berceloteh yang bukan-bukan. "Eh, kamu mau ke rumahku enggak hari ini? Orang tuaku tidak ada di rumah, aku bosan!"

Nadine mencubit gemas pipi sahabatnya itu lantaran kesal sebab argumennya sama sekali tidak direspon. "Memang kapan orang tuamu lama di rumah? Boleh, lagi pula ayahku sedang merayakan hari ulang tahun pernikahan bersama ibu tiriku."

Ya, Nadine broken home, tapi gadis itu berusaha untuk sabar dan berdiri di garis yang benar. Lidya mengangguk mengerti, ia memainkan ponselnya sekilas tapi terdapat aura luar biasa di sekitarnya segera ia mengangkat kepala untuk mencari sumber magnet yang mampu menarik perhatian banyak orang. Aaron, pria bermanik cokelat terang itu masuk ke kantin sebentar hanya untuk membeli roti. Lidya terus memerhatikannya namun otaknya langsung memutar kembali memori buruk yang ditimpanya, jika ia ketahuan menatap terus-terusan ia akan mendapatkan nasib sial lagi.

Lidya berusaha menolak tarikan magnet dari tatapan manik cokelat terang itu ke arah sahabatnya yang- Lidya ingin sekali menghajar sahabatnya yang sekarang tengah terpesona bukan main pada sosok pria bermata tajam itu. Nadine tersenyum-senyum terlihat seperti tengah bahagia hanya dengan menatap keindahan yang Tuhan berikan pada mata mereka saat ini.

Dasar sialan!

Lidya tidak dapat mengeluarkan suaranya, ia hanya bisa mengumpat dalam hati karena jika sosok itu tahu bahwa Lidya ada di sana, ia tidak akan tahu mayat mana yang akan mirip dengannya sore ini. Gadis itu kembali menatap pria berahang tegas beranjak pergi tepat di samping meja mereka membuat Lidya gelisah karenanya. Dua detik pria itu berjalan santai di sampingnya, bagaikan dua jam lamanya menurut Lidya yang degupuan jantungnya semakin cepat.

"Enggak perlu menatap hingga seperti itu dasar gampangan!" maki Aaron tajam yang langsung membuat hati Nadine tertohok dalam satu tusukan dahsyat.

Lidya terlonjak akibat suara tajam itu namun detik selanjutnya ia tertawa terbahak-bahak tidak kuasa menahan geli untuk menertawakan sahabatnya yang tengah memasang wajah shock. Untung saja Aaron berucap dengan suara yang kecil sehingga hanya Lidya yang menertawai gadis penggosip itu.

***

"Dasar anak bermasalah! Jarang mengerjakan tugas, players, dan ayahnya mantan pidana!" gerutu gadis berambut gelombang pada boneka yang ia pegang, melampiaskan kekesalan lewat benda mati di sekelilingnya.

Tadinya Lidya sibuk mengerjakan tugas namun ia tertawa mendengar sahabatnya yang sibuk mengomel. Gadis itu menaruh pulpennya, agar dapat lebih fokus untuk menertawai Nadine, ia memang suka mengerjai sahabatnya itu. "Jangan asal bicara, memangnya kamu tahu dari mana kalau dia seburuk itu? Kamu hanya mendengar gosipan."

Nadine melempar boneka yang ia pegang ke atas ranjang, menatap tajam lawan bicaranya lantaran tidak setuju. "Dari sikapnya saja sudah terlihat!"

Lidya menggelengkan kepala pelan, ia kembali mengerjakan tugasnya. "Tapi aku rasa dia tidak seburuk itu entah kenapa. Kau tahu, itu terlihat seperti topeng untuk menyembunyikan sifat aslinya."

Nadine memutar kedua bola matanya jengah, tidak suka dengan respon sahabatnya. "Ya, sifat aslinya mungkin lebih buruk lagi."

Nadine mengambil ponselnya untuk mengecek sosial medianya, ia jengah dengan percakapan yang membuatnya terpojok. Gadis itu membulatkan matanya saat mendapati berita tentang kota mereka. Matanya dengan teliti membaca setiap huruf yang bisa saja mengecoh.

"Astaga, Lidya! Coba kau lihat ini! Cepat!" jerit Nadine menunjuk ponselnya.

Lidya menghela napas kesal, ia menebak bahwa sahabatnya mendapatkan gosipan receh. Dengan langkah malas Lidya mendekati gadis itu, tapi kedua bola matanya membulat sempurna saat mendapati tulisan seorang dosen yang mereka kenali dibunuh tepat di kampus mereka.

"Gila!" jerit Nadine menggeleng tidak percaya lalu pemikiran negatifnya mulai menggerogotinya. "Pasti Aaron pelakunya!"

Lidya mengernyit mendengar penuturan Nadine yang tiba-tiba menuduh orang sembarangan. Beginilah Nadine jika emosi, melampiaskannya pada orang yang telah mengganggunya.

"Terlihat sekali dari sikapnya!"

Lidya memutar kedua bola matanya jengah, gadis itu kembali sibuk menatap ponsel sahabatnya. Darah menghiasi kepala Dosen yang mereka kenal sebagai Gwen Winarti. Lidya tidak mengambil keputusan apa pun, ia memutuskan untuk mencari tahu mengapa salah satu dosen terkenal akan kecantikannya dibunuh? Siapa yang tidak menyukainya?

"Eh tapi aku curiga sama Pak Joko, soalnya Dosen Joko sering mengejar Bu Gwen." celoteh Nadine yang langsung mendapat tatapan penasaran dari Lidya, ia melanjutkan, "Mungkin karena ditolak berkali-kali Pak Joko-"

"Hush! Asal bicara kamu! Kita enggak tahu apa-apa!" kesal Lidya sambil melempar bonekanya ke arah sahabatnya.

Nadine melindungi wajahnya yang hampir didarati oleh boneka dengan salah satu tangannya. "Tunggu dulu, aku juga pernah lihat Dosen Cecil ribut entah karena apa."

Lidya mengangkat salah satu alisnya bingung. "Kapan?"

"Lima hari lalu," jawab Nadine terlihat sedikit berpikir di otak penuh gosipannya. Mencari sedikit saja gosipan bermanfaat untuk di saat seperti ini, saat ia merasa ingin tahu urusan orang lain. "Tapi gosipan yang aku dengar Aaron selalu menolak perempuan dengan kata kasar, apa mungkin Dosen Gwen tidak terima ditolak Aaron lalu sakit hati dengan perkataan Aaron jadi memukulnya tapi tidak sebanding dengan kekuatan Aaron?"

Lidya lagi-lagi memutar kedua bola matanya jengah. "Mengapa kamu selalu menuduhnya?"

"Dosen Gwen selalu mengejar Aaron!" kesal Nadine tidak terima jika penuturannya dianggap menjelekkan seseorang. "Atau mungkin Dosen Gwen yang terlalu memaksa akhirnya dibunuh Aaron?"

"Imajinasimu luar biasa, tidak mungkin Dosen cantik sepertinya mau mati demi Aaron. Ya, meski ketampanannya tanpa batas." ucapan Lidya mengecil di bagian akhir.

#To be Continued...

Warm Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang