Berjuang

1.6K 144 23
                                    

"Keberhasilan adalah puncak dari perjuangan, tidak ada perjuangan tidak ada keberhasilan."
-Stylly Rybell, Warm Rain

Sudah lima menit mereka diam-diaman, sibuk mengutak-atik ponsel mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah lima menit mereka diam-diaman, sibuk mengutak-atik ponsel mereka. Lidya heran, mengapa Aaron tidak juga pergi dari sana? Ia senang dijenguk oleh Aaron tapi bingung rasanya jika seorang Aaron Winston melakukan itu. Atau mungkin saja Aaron tertarik padanya? Ah, pikiran Lidya mulai kacau sekarang.

Lidya terus mengabaikan pikirannya yang aneh itu dan berusaha agar isi kepalanya tidak terbaca Aaron, bisa habis ia dimutilasi dengan bibir tajamnya jika sampai ketahuan. Beberapa saat setelahnya datanglah Nadine dengan membawa tiga cangkir teh dan camilan ringan.

"Lidya," panggil Aaron tiba-tiba, Lidya tidak tahu sejak kapan pria itu menyimpan ponselnya tentu saja gadis yang dipanggil mendongak menatapnya dengan tanda tanya. "Orang tua dan saudara kamu mana?"

Sejak Aaron ke sana, ia tidak pernah melihat sosok keluarga Lidya di sana tapi ia tidak ingat jika ia pernah menanyakan itu sebelumnya pada Lidya karena sekedar basa-basi. Berbeda dengan saat ini, ia ingin tahu.

"Mama sama papa kerja, Kak Juan menginap di rumah temannya." Jawab Lidya berusaha meraih cangkir teh di atas nakas dan dibantu Aaron.

Setelah Lidya berucap, Aaron hanya menatapnya beberapa saat lalu kembali duduk di sofa. "Kamu kenapa di sini?" Pertanyaan Aaron kini mengarah pada Nadine yang dari tadi hanya mengamati di samping Lidya sambil memakan camilannya.

"Menginap, aku sering menginap di rumah Lidya." Nadine mencoba untuk tidak gugup tapi tetap saja ia kesulitan mengendalikan diri ketika berbicara dengan pria tertampan yang pernah dijumpai matanya.

Lidya merasakan di sisi kirinya terasa lembab pun menoleh dan melihat kasurnya basah, ia tidak menyadari jika pakaian juga rambut Nadine setengah basah. Ah, ia melupakan hujan, Nadine pasti kehujanan di gerbang.

"Nadine!" Kesal Lidya melotot. "Ganti baju kamu! Lihat kasurku jadi basah!"

Nadine tidak menyadarinya, tentu saja karena sibuk menatapi indahnya ciptaan Tuhan tengah duduk di sofa. Nadine segera tersadar dan pergi membawa handuk juga baju ganti ke kamar mandi. "Enggak boleh melakukan apa pun sebelum menikah!"

Teriakan Nadine terdengar ketika gadis itu sudah keluar ruangan yang dibalas decakan Lidya. Aaron hanya terkekeh melihat kedua sahabat itu. Sementara Lidya segera bangkit untuk mengganti bed cover-nya. Tentu saja Aaron tidak tinggal diam, ia menghentikan aktivitas Lidya karena takut kaki Lidya semakin parah, akhirnya ia yang menggantinya sendirian.

Meski Aaron juga basah tapi hanya di beberapa bagian saja, Lidya yakin Aaron memakai jaket atau mantel yang ditinggal di luar. Entah karena apa, Lidya menjadi tersipu karena perlakuan Aaron padanya dan pikiran aneh itu semakin menghantui Lidya.

"Kamu demam?" Lidya terkejut bukan main saat tiba-tiba wajah Aaron tepat ada di depan wajahnya ditambah lagi tangan pria itu menyentuh keningnya.

Tanpa basa-basi ia langsung memundurkan wajahnya untuk menciptakan jarak. "E-enggak!"

Aaron menaikkan salah satu alisnya bingung kemudian duduk di samping Lidya, menyentuh pipi dan lehernya, tentu saja jantung Lidya berdebar tidak karuan karena hal itu tapi ia hanya bisa berdiam kaku. "Ayo ke rumah sa-"

"A-aku enggak apa-apa!" Jujur Lidya menepis tangan Aaron agar terlepas darinya.

Aaron mengerutkan kening, padahal baru saja ia memberikan empatinya tapi gadis itu malah menepis kasar tangannya. Aaron berdiri sambil memasukan tangan yang ditepis Lidya ke dalam sakunya. "Aku pulang."

Lidya tahu seharusnya ia tidak menepis tangan Aaron tapi ia begitu panik hingga bertindak tanpa pikir panjang dan ia ikut terluka atas tindakannya sendiri. "K-kak bukan itu maksud ak-"

"Seharusnya aku enggak perlu datang karena keberadaanku memang enggak pernah diinginkan." Jawab Aaron enteng tanpa menghentikan langkahnya.

Lidya berusaha menyusul meski kesulitan karena kondisi kakinya, mendengar penuturan Aaron membuat matanya memanas, Lidya tidak pernah berpikir seperti itu, Lidya tidak sama seperti orang-orang yang mengucilkan Aaron. "Enggak, Kak! Aku cuma-"

Aaron membalikkan tubuhnya dan menatap Lidya dingin. "Enggak sudi disentuh anak dari pembunuh buronan?!"

Tatapan itu adalah tatapan di mana ia tidak mengenal Aaron, tatapan benci yang entah sejak kapan tidak pernah ditunjukkan lagi padanya dan itu sangat melukai Lidya. Air mata Lidya berlinang menyusuri pipinya, perkataan Aaron memang ditunjukkan untuk dirinya sendiri tapi mengapa Lidya yang merasakan sakitnya?

"Kenapa kamu yang menangis? Karena ketahuan dan kamu takut padaku?" Aaron terus saja melempar tuduhan yang menyakitkan Lidya bahkan Lidya tidak pernah berpikiran seperti itu sekali pun ketika disentuh Aaron.

Aaron langsung mengendarai motornya di tengah hujan mengguyur kota, kecepatannya di atas rata-rata membuat Lidya semakin khawatir juga bersalah, harusnya ia berpikir sebelum bertindak. Lidya tidak peduli kedinginan rintikan hujan membasahi tubuhnya, ia sakit hati dengan tuduhan Aaron.

Setelah sekitar beberapa belas detik Nadine menepuk pundaknya sambil memayungi tubuh mereka berdua. Nadine tersenyum miris melihatnya lalu menuntun Lidya untuk masuk. Meski Nadine konyol, ia bisa baca situasi, ia tidak akan bercanda di saat temannya kesulitan.

Keesokan harinya Lidya dan Nadine berangkat pagi-pagi, Lidya ingin melihat Aaron, ingin tahu bagaimana reaksi pria itu, ingin tahu bagaimana Aaron bersikap padanya. Lidya tidak tahu jam kuliah sosok yang dicarinya tapi ia hanya berharap semoga mereka bertemu pagi ini. Tentu saja Lidya tidak mengatakan niatnya, ia punya rasa gengsi yang tinggi apa lagi di depan Nadine.

Waktu terus bergilir, tidak juga Lidya mendapati sosok Aaron berbagai macam pertanyaan terus saja bermunculan di benaknya. Bahkan Lidya terus mencari keberadaan Aaron di saat jam makan siang tadi. Gadis itu masih menopang dagu, mengamati dosennya berbicara tapi tidak mendengarkannya, pikirannya kalut.

Nadine paham betul Lidya memikirkan Aaron, terlihat sekali sahabatnya banyak diam setelah pertengkarannya dengan senior mereka. Nadine sudah menyarankan untuk menghubungi Aaron tapi ternyata Lidya tidak memiliki kontaknya lalu Nadine menyarankan untuk pergi ke rumah pria temperamen itu tapi justru Lidya menanggapinya dengan gengsi yang tinggi.

Dosen mereka akhirnya keluar ruangan artinya usai sudah kuliah mereka hari ini. Di saat Nadine bahagia karena dosennya pergi Lidya malah melamun seperti pikirannya terbang entah ke mana. Dapat Nadine pastikan Lidya tidak tahu jika dosen mereka telah keluar, mungkin saja Lidya menaruh rasa pada Aaron, itu yang dipikirkan Nadine.

"Hobi melamun!" Celetuk Nadine mengejutkan sahabatnya.

Lidya segera terhampas ke dunia nyata dan memukul temannya lantaran kesal. "Kamu menginap di rumahku lagi?"

Nadine tahu Lidya berusaha menahannya untuk tetap menemani sahabatnya itu tapi Nadine bisa dipastikan diomeli oleh orang rumah karena terus-terusan menginap di rumah temannya. "Orang tuaku pasti marah."

Lidya mengangguk mengerti sambil mengepak barang-barangnya agar mereka bersiap menunggu jemputan. Lidya menjelajahi matanya beberapa kali mendapat lirikan tajam juga bisikan di beberapa mahasiswi meski lebih banyak senyuman yang didapatinya. Ya, ia menjadi gosipan setelah insiden betapa kejamnya Aaron mempermalukannya dan mengantarnya pulang.

Mata Lidya berbinar ketika mendapati Aaron dengan motornya menuju perpustakaan. Lidya buru-buru menyusulnya dan berpamitan pada Nadine. Langkah Lidya memang belum sepenuhnya kembali seperti semula tapi ia memaksakannya agar bisa berbicara dengan Aaron sebelum pria itu pergi.


#To be Continued...

Warm Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang