Spontan

1.6K 146 31
                                    

"Cinta adalah anugerah terbesar dari Tuhan."
-Stylly Rybell, Warm Rain

"-Stylly Rybell, Warm Rain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kenapa ya?"

"Apa mereka berkelahi?"

"Ya ampun, sayang sekali wajah tampannya terluka!"

"Meski pun begitu tampannya tetap bertahan!"

Berbagai bisikan terus terdengar di beberapa sudut, Ian yang menjadi topik pembicaraan menatap mereka tajam kemudian berjalan seolah-olah tidak ada yang salah. Ian terus berjalan menuju motor sport-nya sambil menenteng sebelah tasnya, ia memang terlihat berandalan dari dulu, tindik di salah satu telinganya menunjukkan hal itu.

Sesaat Ian berhenti melangkah ketika mendapati sosok Lidya membaca novel bersama sahabat karibnya tapi cepat-cepat Ian melengos melewatinya. Tentu saja Lidya terkejut, Ian biasanya menyapanya, Ian juga biasanya bersama Aaron, dan luka lebam di wajahnya mengundang seribu pertanyaan di benak Lidya.

"Kak Ian!" Panggilan Lidya tidak dibalas oleh Ian, bahkan pria itu sama sekali tidak membalikkan tubuhnya hanya saja kakinya berhenti melangkah. Lidya semakin heran dengan sikap Ian hari ini. "Kakak kenapa?"

Untungnya saja Lidya tidak menanyakan Aaron atau kepala Ian bisa meledak saat itu juga, bagaimana tidak? Seseorang tengah terluka yang ditanya orang lain. Ian berbalik menatap Lidya sambil melempar tatapan dinginnya. "Tanya aja sama pacar lo!"

Lidya mengerutkan kening, ada yang salah saat ini ia bisa menebak hal itu. "Kakak bicara apa? Aku enggak punya pacar lagi pula kakak biasanya sama Kak Aaron. Apa kalian berkelahi?"

Ian memutar kedua bola matanya jengah, ia malas rasanya menjawab pertanyaan Lidya sebab karena pembicaraan Ian dan Aaron tentang Lidya-lah yang membuat ia bentrok dengan Aaron. Ian mengusap wajahnya mencoba merangkai kata untuk menjelaskan tapi ia kembali mengurungkan niatnya. "Ah, males gue."

Nadine yang dari tadi hanya menonton pun ambil peran. "Seenggaknya beritahu kami, kak!" Nadine juga prihatin melihat sahabatnya kebingungan juga khawatir.

Ian menghela napas gusar. "Intinya, gue sama dia bertengkar gara-gara bahas lo!" Ian menunjuk Lidya kemudian kembali melanjutkan langkahnya.

Hati Lidya mencelos mendengarnya, apa kesalahan yang ia perbuat? Apa Lidya membuat Aaron membencinya? Gadis cantik itu terdiam mengundang rasa iba dari Nadine, jika tahu jawaban Ian seperti itu Nadine tidak akan bertanya.

Nadine segera mencoba menenangkan Lidya dengan perkataannya. "Kak Ian enggak jelas!"

Di saat itu juga Nadine mendapati Aaron menuju parkiran tapi terlihat memikirkan sesuatu, pria itu menatap Lidya kemudian Ian dengan tatapan elangnya. Meski wajah Aaron terdapat lebam di salah satu sudut bibirnya, ia tetap terlihat tampan. Tatapan Aaron mengundang atmosfer mencekam hingga sesaat Nadine terkunci di dalam ketakutan tapi segera ia membisiki Lidya bahwa Aaron berada lima meter di belakang Lidya.

Lidya segera berbalik di saat itu pula Aaron menatapnya kemudian melanjutkan langkah kakinya yang sempat tertunda tapi langkahnya itu mendekat pada Lidya disertai tatapan tajamnya layaknya ingin menguliti Lidya hidup-hidup.

"Dia bicara apa sama kamu?" Pertanyaan Aaron membuat Lidya tersentak.

"K-kakak kenapa?" Lidya bertanya takut-takut, Aaron berkali-kali lipat mengerikan saat ini, apa yang Ian katakan padanya?

"Jawab!" Bentak Aaron dengan nada tinggi.

Bentakan Aaron itu membuat Ian yang tadinya ingin memakai helm kini berbalik memerhatikannya dari kejauhan.

Napas Lidya memburu, ia malu menjadi pusat perhatian saat ini airmata menggenang di pelupuk matanya. "K-kak Ian cuma bilang kalau kalian bertengkar karena bahas aku."

Kerutan di kening Aaron mengendur, ia mengusap wajahnya, terlihat menyesal telah membentak gadis di hadapannya.

Airmata Lidya tumpah tapi segera ia menundukkan wajahnya, ia malu. "Maaf."

Aaron menghela napas gusar entah mengapa ia ingin memeluk gadis di hadapannya karena merasa iba sebab gadis itu sama sekali tidak bersalah tapi Aaron tidak bisa, itu akan membuat Ian merasa bahwa dirinya menang.

Aku tidak menyukainya...

Aaron membisiki batinnya sendiri. Entah apa yang membuatnya membentengi bahkan bersikeras bahwa ia tidak menyukai seseorang, tidak butuh seseorang, tidak menginginkan seseorang. Hanya ibunyalah yang dapat mengisi posisi itu semua, menurutnya.

Aaron merutuki hatinya, perasaannya berkata lain sehingga ia memeluk Lidya untuk menenangkan gadis itu. Ia tidak lagi peduli bahwa setelah ini Ian akan mengejeknya atau apa pun, ia harus menenangkan gadis yang ia sukai. Debaran jantungnya terasa keras mengundang rasa gugup yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Apakah ini cinta?

Lidya tentu saja terkejut dengan tindakan spontan pria di hadapannya, tangisnya berhenti seketika, jutaan pertanyaan menghantuinya. Mengapa Aaron memeluknya? Mengapa Aaron peduli padanya? Mengapa Aaron nekat melakukan hal itu di depan umum? Tangis yang kini meredup digantikan oleh rona merah padam di wajahnya.

"Enggak usah cengeng!" Suara Aaron yang sangat dekat membuat debaran jantung Lidya semakin keras tidak terkontrol. "Umurmu berapa sih?!"

Lidya mendengus tapi ia tidak bisa mengeluarkan suara apa pun, rasa malu berkolaborasi dengan rasa bahagia membuatnya tidak dapat membalas ejekan menyebalkan Aaron lagi pula otaknya sibuk meladeni jutaan pertanyaan di benaknya, bolehkah ia berharap? Bolehkah ia menaruh rasa pada Aaron? Atau ia memang sudah melakukannya sebelum ia menyadari hal itu?

"Sudah! Ingusmu menempel di bajuku!" Lagi-lagi Aaron membuatnya malu, perlahan Lidya menjauh.

Aaron mengedarkan pandangannya, bukan hanya Lidya yang malu akan hal itu Aaron pun merasakan hal yang sama sehingga mau tidak mau mereka harus berjauhan. "Tuh, kamu sudah dijemput! Jangan mau nempel-nempel aku terus."

Lidya mendongak dengan rasa kesal tidak tertahankan, ada apa dengan Aaron? Mengapa pria itu menjadi konyol dan menyebalkan di saat yang sama? Lidya mendengus kemudian melangkah ke mobil. "Yang nempelin aku kan kakak!" Kesal Lidya berteriak sebelum ia benar-benar masuk di dalam mobil.

Aaron terkekeh kecil kemudian tanpa sengaja ia melihat Nadine yang tersenyum-senyum seperti orang bodoh. "Apa? Mau juga? Peluk tuh pohon!"

Aaron kembali melangkah menuju parkiran motornya di mana Ian masih memerhatikannya sambil menyeringai dengan arti, 'tuh kan, gue udah bilang.' Aaron memutar kedua bola matanya lalu mengambil helm untuk dipakainya.

Ian terkekeh. "Udahlah santai aja, itu hal normal kok."

"Shut up!" Balas Aaron memakai helmnya. Kemudian ia teringat sesuatu lalu menatap Ian. "Jangan beritahu Louis!"

Ian kembali terkekeh sambil mengangguk kecil. "Siap bos!"









#To be Continued...

Warm Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang