Hilang

2.2K 190 12
                                    


"Seseorang tidak akan dikatakan hilang jika tidak ada yang merasa kehilangan."
-Stylly Rybell, Warm Rain

Langit gelap sebab matahari digusur rembulan dalam pergantian posisi, bintang bertabur di angkasa menyisakan keindahan, kebisingan diganti ketenangan penuh rasa damai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Langit gelap sebab matahari digusur rembulan dalam pergantian posisi, bintang bertabur di angkasa menyisakan keindahan, kebisingan diganti ketenangan penuh rasa damai.

Lidya menatapi pemandangan di angkasa, di mana bulan purnama menebarkan cahaya di tubuhnya yang indah. Gadis itu tersenyum, seberkas memori terputar di kepalanya, memori ia bersama ayahnya menatapi rembulan persis seperti posisinya saat ini. Lidya tidak mendatangi orangtuanya karena ia merasa Shinta dan Bima sibuk mengurus pekerjaan, lagipula duduk sendiri menatap bulan sangat menyenangkan.

"Kamu enggak masuk?"

Suara itu mengejutkan Lidya, ia menoleh mendapati Bima ikut duduk di sampingnya. Pria itu tersenyum sambil mengelus kepala putrinya, bagaimana pun juga ia sangat merindukan anaknya. Lidya ikut berpartisipasi, ia menyandarkan kepala pada pundak ayahnya, gadis berusia delapan belas tahun itu memang manja.

"Kamu sudah punya cita-cita?" Tanya Bima menatap indahnya bintang.

"Lidya mau jadi musisi, papa maunya aku jadi apa?" Lidya balas bertanya.

"Apa pun asalkan kamu senang dan enggak kesusahan."

Lidya tertawa kecil, ayahnya sangat menyayanginya meski pria itu salah mengartikannya. Salah karena hanya memberinya materi, bukannya penuh cinta. Tapi Lidya tidak protes, hal itu tetap dianggap Lidya sebagai kasih sayang karena memang begitu faktanya.

Tidak lama setelahnya datanglah Juan beserta Shinta, kedua insan itu mencari ayah dan putrinya. Shinta tersenyum mengetahui suaminya sangat perhatian dengan anak mereka. Juan mencari Lidya hanya untuk meminjam novel yang ia urungkan niatnya, ia lebih memilih berkumpul bersama keluarganya daripada mengerjakan tugas terlebih dahulu.

Perbincangan berlangsung menyenangkan, saling melempar candaan dan saling bertukar cerita setelah sekian lama, terasa bernostalgia. Momen berharga itu terganggu saat ponsel Lidya bergetar di sakunya, ia pikir pesan operator yang penuh dengan promosi tapi ia salah, Nadine mengirim sebuah link di sosial media.

Adelia hilang?

Lidya dikejutkan dengan kakaknya yang mengintip ponselnya tapi dengan cepat ia menutupi. Gadis cantik itu menyimpannya dalam saku, tatapannya menjelajah, ia harus ke kamar sekarang, ia benar-benar penasaran. Tapi sialnya Juan malah menggodanya.

"Pasti kamu punya pacar, ya?" Juan menaikkan dan menurunkan alisnya dengan cepat. "Mama, papa, Lidya punya pacar!"

"Enggak! Ini teman aku yang kirim pesan! Kakak jangan sembarangan!" Elak Lidya dengan wajah kesal.

Bima hanya tertawa mendengarnya lalu mengajak, "Sudahlah, ayo kita makan malam! Papa sudah lapar."

Shinta tersenyum. "Untuk sekarang mama yang masak selama di rumah, pasti kalian kangen masakan mama, kan?"

Lidya ikut menaikkan sudut bibir, senyuman Shinta bagaikan moodboaster-nya. Bahkan ia lupa perihal Adelia hilang, seperti tersadar akan sesuatu, ia segera naik ke kamar dengan alasan menyimpun kamar. Tapi Lidya tidak berbohong, ia segera merapikan kamarnya lalu bertanya pada temannya lewat telepon.

"Nadine, link yang kamu kirim itu serius?" Tanya Lidya tidak bisa.membendung rasa penasarannya. "Aku enggak habis pikir kenapa kampus kita bisa ada tragedi begini." Lidya mendengarkan Nadine membalas kemudian berucap lagi, "Bisa jadi, ayahnya Aaron, kan pembunuh buronan enggak menutup kemungkinan."

Malam berlangsung panjang dengan perbincangan mereka, Lidya bahkan dipanggil ibunya dua kali, ia tidak bisa ditunggu terus akhirnya ia menutup sambungan dan langsung makan malam bersama keluarganya. Makan malam yang terasa hangat, Lidya merindukan atmosfer saat keluarganya berkumpul. Bertukar cerita juga lelucon mengundang canda tawa setiap insan yang ada.

Waktu terasa begitu cepat tanpa mereka sadari sudah lewat waktu tidur, Lidya kembali ke kamarnya berusaha mengirim pesan pada Nadine tapi gadis itu tidak membalasnya, mungkin saja sahabatnya sudah tidur. Lidya menaruh ponselnya ke bawah bantal, bersiap untuk beralih ke dunia peristirahatan.

***

Dentingan alat makan dipadu candaan insan dengan ketenangan malam terasa nyaman, ketiga insan itu sibuk bercakap-cakap tentang hari mereka, sang ibu tidak lupa bahwa anak pertamanya ada di sana, diam tanpa menggubris sedikit pun perkataan mereka. Wanita itu terlihat tersenyum getir, ia tidak cukup kuat untuk terus-terusan seperti ini.

"Dan Aaron bagaimana harimu?" Tanya Jocelyn sedikit lembut membuat Steve merasa iri dengan anaknya sendiri sebab Jocelyn tidak pernah selembut itu padanya, kasih sayang seorang ibu memang tidak ada batasnya.

"Buruk seperti biasa," Jawab Aaron ketus yang langsung dibalas bidikan tajam dari Steve.

"Jawab yang benar jika ditanya ibumu!" Steve membentak dengan suara meninggi dari nada bicara sebelumnya.

Aaron membanting alat makannya, mood-nya kembali rusak. "Lalu aku harus menjawab bagaimana? Memang hariku selalu buruk jika terus bertemu denganmu!"

"Bajingan tengik, jaga bicaramu!" Steve melempar pisau dagingnya tepat di samping kepala Aaron tapi Aaron sama sekali tidak terkejut.

Jocelyn ikut membanting alat makannya dan langsung masuk ke dalam kamar, ia tidak bisa membendung perasaan sakit di hatinya, ia tidak akan kuat terus berada di sana, menyaksikan orang-orang yang ia cintai bertengkar.

Louis menggeram kesal ia ikut membanting alat makannya kemudian berdiri. "Tidak bisakah kalian jaga perasaan ibu sehari saja?!"

Aaron hanya menatap kepergian adiknya sementara ayahnya terus menusuknya dengan tatapan mematikan. Napas keduanya naik turun menahan amarah yang sangat sulit dibendung. Rahang Aaron mengeras sambil terus memandangi ayahnya.

"Aku tidak pernah berharap bahwa ayahku adalah kau dan mempunyai ayah sepertimu adalah kutukan untukku!"

"Dan kau tahu apa kesalahan terbesarku?! Membiarkanmu lahir di dunia ini! Seharusnya kau tidak dilahirkan! Aku tidak pernah berharap kau menjadi anakku!"

Kedua insan itu tidak peduli perkataan pedas mereka yang saling menusuk satu sama lain, mengabaikan perasaan sesak di hati mereka terus beradu argumen sambil mengambil pisau. Mereka memang sudah biasa mengancam dengan pisau tapi tidak pernah melukai satu sama lain, jika itu terjadi maka Jocelyn mencoba bunuh diri seperti beberapa tahun yang lalu.

Aaron menaruh pisaunya di atas meja, ia merasa jengah untuk berdebat ayahnya, ia pun naik ke atas pergi ke kamar untuk menenangkan diri. Jika ia tidak mengalah maka tidak akan selesai, ayahnya memiliki otak yang sama sepertinya. Tubuh kekarnya mendarat sempurna di king size maskulin berwarna putih dipadu hitam bercorak. Lengan kekarnya meraih ponsel untuk mengecek akun sosial media, senyuman miring menghiasi bibir peach-nya, entah apa yang ia pikirkan.


#To be Continued...

Warm Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang