2nd Winston Books
●DILARANG KERAS MENCURI SECUIL PUN IDE DARI CERITA INI! PLAGIAT JAUH-JAUH!●
Lidya Diana
Gadis yang kesepian karena orangtuanya selalu berkerja, ia hobi membaca novel menyanyi dan bermain gitar. Ia tidak populer juga tidak nerd, ia...
"Tidak masalah seberapa banyak kesalahanmu yang terpenting adalah seberapa besar keinginanmu untuk memperbaikinya." -Stylly Rybell, Warm Rain
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tiga jam sudah Aaron berada di perpustakaan, sibuk dengan beberapa buku yang ada di mejanya sambil mencatat sesuatu, ia mengerjakan tugas. Aaron memang tidak akan memedulikan orang-orang di sekitarnya ketika ia serius, termasuk tidak sadar jika ada kehadiran sosok yang membuatnya terpesona akan suara si pemilik. Tapi gadis itu hanya satu jam di sana lalu pergi karena jemputannya sudah datang.
Tanpa sadar, beberapa menit lagi kota para buku itu akan tutup segeralah ia merapikannya sebelum benar-benar meninggalkan tempat paling tenang di kampus, menurutnya. Aaron mengendarai motor silver miliknya dengan kecepatan rata-rata, ia tidak suka menciptakan suara terlalu bising terlebih lagi ketika di jalanan.
Berhenti tepat di sebuah cafe favoritnya, ia akan menyempatkan diri bersantai di sana sewaktu-waktu atau mungkin lebih tepatnya menghindari makan malam bersama ayahnya. Insiden itu membuatnya jauh dari keluarganya menciptakan jarak yang sama sekali tidak pernah ia harapkan, terlebih dengan ayahnya.
Setelah memesan, Aaron menyalakan kameranya, mengambil gambar dari berbagai sudut terbaik. Tatapan serius ke kamera menjadi teralih ketika mendengar suara, itu suara yang ia nikmati kemarin, suara gadis yang tidak ia ketahui namanya. Mengedarkan pandangannya agar menangkap sosok bayangan yang ia pikirkan.
Sekali lagi Aaron tidak tahu lagu apa yang dinyanyikan gadis itu tapi suaranya sangat enak didengar. Aaron mengambil gambarnya, tentu saja, gadis yang tidak ia ketahui namanya ini berdandan cantik sambil bernyanyi di panggung. Entah itu pertama kalinya untuk si cantik atau tidak, Aaron hanya akan menambah koleksi fotonya.
Aaron tidak pernah mengambil gambar manusia sebelumnya, gadis itu adalah yang pertama. Tentu saja gadis yang tidak Aaron ketahui namanya itu tidak menyadari kehadirannya karena jarak mereka cukup jauh. Mungkin saja ia menjadi patung saking gugupnya jika menyadari Aaron ada di sana.
Setelah selesai bernyanyi, gadis itu terlibat dengan sedikit pertanyaan-pertanyaan lalu kembali menyanyikan lagu. Kali ini Aaron tahu lagu apa yang dinyanyikannya, Alan Walker - Faded. Lagu itu adalah salah satu favoritnya. Senyum Aaron sedikit merekah tanpa sadar ia meletakkan kamera di atas meja bersamaan pesanan yang sudah datang.
Aaron melahap makanannya sambil sesekali melihat ke arah gadis yang sedikit jauh jaraknya darinya. Di saat itu pula, ponselnya berdering, adiknya menelepon. "Kenapa?" Beberapa saat setelahnya, Aaron membulatkan matanya segera pergi untuk pulang.
Dengan kecepatan tinggi ia mengendarai motor, tidak peduli akan keselamatan yang cukup menipis. Hanya satu di dalam pikirannya saat ini, ibunya. Malaikatnya satu-satunya. Seberapa jauh pun jarak dengan ibunya, itu sama sekali tidak berarti ketika ia merasa khawatir, ia akan melenyapkan jarak itu seketika.
***
"Apa kau menelepon Aaron?" Tanya Jocelyn tajam, ia tidak akan bisa tenang jika anaknya mengkhawatirkan dirinya.
Louis menatap ibunya serius, ia memang jarang terlihat serius, ia lebih suka tertawa karena hal konyol, entah itu bawaan dari gen siapa. "Aku tidak bisa diam jika mama kesakitan. Aku memang terlalu kekanak-kanakan tapi aku juga adalah seorang anak yang menyayangi ibunya, kita akan ke rumah sakit setelah Aaron sampai."
Jocelyn menghela napasnya kasar. "Aku hanya sakit perut, Louis! Kau tidak perlu melebih-lebihkannya!"
"Sakit perut pun bisa berbahaya jika tidak segera ditangani, ma." Louis menaikkan suaranya satu oktaf, merasa kesal karena ibunya merasa kuat. Louis menekan-nekan ponselnya.
"Apa yang kau lakukan? Jangan telepon ayahmu, Louis!" Bentak Jocelyn yang hendak bangun dari tempat tidur tapi tidak tercapaikan karena Louis segera merebahkannya lagi. "Bagaimana jika Aaron dan ayahmu berkelahi lagi? Apa kau menginginkan tragedi itu terulang?"
Mata Jocelyn yang berkaca-kaca membuat Louis sesak, hatinya begitu sakit, ia tidak bisa melihat ibunya seperti ini, terlebih ia penyebabnya. Louis menghela napas kesal. "Baiklah-baiklah, mama enggak perlu sampai menangis begitu."
"Mama enggak nangis!" Bantah Jocelyn buang muka, kesal rasanya dengan anaknya satu ini yang bisa membuatnya menangis dan tertawa di satu waktu.
Louis tersenyum kemudian memeluk ibunya dengan sangat erat, ia harap hubungan Aaron dan ayahnya seperti hubungan Louis dengan ibunya, semoga saja. Sudah cukup Jocelyn menderita, ia tidak boleh menambah beban ibunya. Louis memang tidak masuk sekolah karena libur sekolah, kesempatan itu ia gunakan untuk terus membantu ibunya.
***
Lidya menangkap bayangan pria yang familier untuknya, itu Aaron. Pria itu terlihat tergesa-gesa sampai meninggalkan barangnya. Lidya segera menyelesaikan nyanyiannya lalu berlari ke arah beberapa waitress yang berbincang mengenai barang Aaron.
"Dia senior saya di kampus, saya akan mengembalikannya." Tawar Lidya yang langsung disetujui para pekerja itu.
Lidya tahu tas yang ia pegang adalah tas kamera, jadi pria itu suka mengambil gambar? Lidya tersenyum, entah mengapa hal itu terasa manusiawi dan luar biasa untuk seorang Aaron. Lidya langsung terkejut, apa tadi? Ia akan mengembalikannya pada Aaron? Bagaimana jika ia salah lihat? Betapa bodohnya mulutnya berbicara tanpa kompromi dengan otaknya.
Lidya mengambil beberapa barangnya dan diberi upah sebelum benar-benar meninggalkan cafe itu, menaiki mobilnya yang dari tadi terparkir rapih. Lidya membuka tas kecil di tangannya dengan hati-hati ia memerhatikan luar kamera Aaron, jika ia sembarangan tentunya Aaron akan mengiris tipis-tipis setiap bagian tubuhnya.
Lidya kembali memasukannya dalam tas, ia tidak boleh lancang menyentuh barang orang lain tanpa persetujuan. Tapi yang paling membuatnya pusing adalah bagaimana caranya ia mengembalikannya? Apa pria itu akan mengatainya dengan suara yang nyaring atau memotong perlahan hatinya?
Lidya menaruh kamera itu di pangkuannya. Jika saja mereka bertemu nanti, apa yang harus dikatakan Lidya? Harus bilang apa ia untuk mengembalikan barang pria itu? Lidya menghela napas kasar, ia jengah memikirkan bagaimana reaksi Aaron. Seharusnya ia tetap tenang seperti yang biasa ia lakukan meski ujian sekalipun.
Mobil telah sampai pada tujuan, Lidya segera berterima kasih dan naik ke kamarnya. Ya, lagi-lagi orang tuanya tidak ada di rumah, kali ini kakaknya pun tidak ada di rumah. Lidya melempar tas kecilnya ke sofa dan menggantung kamera Aaron di dinding.
Drrt... Drrt...
Tanpa basa-basi, Lidya segera mengambil ponsel di dalam tas kecilnya mengangkat telepon yang sudah pasti dari sahabat karibnya, Nadine. "Apa?" Lidya terlihat mendengarkan sambil berbaring di atas kasurnya. "Sedikit gerogi tapi gugupku langsung hilang ketika lihat Aaron berlari keluar cafe-" merasa dipotong, Lidya menghentikan ucapannya dan mendengarkan penuturan gadis di seberang sana. "Aku baru sadar ketika dia lari keluar, saking buru-burunya, barangnya saja ketinggalan." Lagi-lagi Lidya mengiyakan perkataan Nadine kemudian membalas. "Aku bawa barangnya tapi bagaimana caranya bilang ke dia?" Lidya terlihat berpikir sebentar. "Kamu bisa antar barangnya ke Aaron?" Lidya mengangguk meski tidak ada yang bisa melihatnya. "Baiklah, night!"
#To be Continued...
If you like don't forget to vote or comment because it's mean a lot 😊😂