2nd Winston Books
●DILARANG KERAS MENCURI SECUIL PUN IDE DARI CERITA INI! PLAGIAT JAUH-JAUH!●
Lidya Diana
Gadis yang kesepian karena orangtuanya selalu berkerja, ia hobi membaca novel menyanyi dan bermain gitar. Ia tidak populer juga tidak nerd, ia...
Ketika sulit merasakan sesuatu yang tidak begitu dipedulikan itulah yang dinamakan enggak peka. -Stylly Rybell, Warm Rain
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lidya kembali ke ruang tamu dari kamar mandi setelah membasuh lukanya, ia mendapati sepasang saudara bertatapan tajam sambil melempar seringai kejam. Awalnya Lidya tidak berani masuk ke dalam atmosfer itu tapi Louis menyadari kehadirannya dan melempar senyum manis, tentu saja ia tidak bisa mematung lebih lama di sana.
"Kamu pulang lewat taksi atau ojek online saja enggak apa-apa? Aku ada urusan." Ucap Aaron santai setelah mengingat sesuatu lalu melihat jam dinding di akhir kalimat. "Banyak tugas,"
Lidya mengangguk mengerti itulah yang terlintas di dalam pikirannya di kamar mandi tadi karena ia tidak pernah pulang malam bersama pria apa lagi jika kakaknya ada di rumah, bisa-bisa ia dituduh macam-macam. "Baru saja aku mau bilang begi-"
"Oh my brother, how could you?!" Louis berdecak, ia benar-benar tidak percaya dengan perbuatan kakaknya yang membawa seorang gadis ke rumah lalu tidak memulangkannya. Mungkin Aaron memang banyak tugas tapi ke mana rasa seorang Gentleman pria itu?
"Shut your mouth!" Balas Aaron disertai tatapan tajamnya kemudian mendesah pelan. "Why are you here? Go away, asshole!" Aaron mengalihkan tatapannya dari Louis sambil bergumam, "No one want you here." Lagi pula Aaron tidak setuju dengan Louis yang selalu menyudutkannya, bukankah tadi itu perkataan tersopan yang pernah diucapkannya?
"Tapi aku enggak bisa meninggalkan Nona Cantik ini." Goda Louis.
Aaron sekali lagi dibuat merinding akibat ucapan Louis, ia tidak pernah berpikir bahwa adiknya yang terasa seperti baru tahun kemarin ia mengajari adiknya makan kini Louis berucap hal-hal dewasa yang entah kenapa menurut Aaron tidak pantas diucapkan di bibir adiknya. Tentu saja pria berusia sembilanbelas tahun itu melempar tatapan jijik.
Sementara Lidya yang dikatakan seperti itu langsung tertawa renyah karena tidak tahu harus merespon apa, ia pun mengambil ponsel untuk segera memesan taksi online tapi malah mendapati missed call dari sopirnya beberapa kali. Tentu saja ia segera menelepon balik yang dihadiahi tatapan bingung dari Aaron dan Louis.
Aaron segera mengalihkan tatapannya tidak peduli dan beranjak untuk pergi sambil memainkan kunci motornya. Louis menggeleng heran melihat begitu santainya Aaron meninggalkan Lidya yang ia rasa mereka dekat. Kemudian Louis menatap Lidya yang sibuk menelepon dengan nada yang halus, sudah pasti gadis itu berbicara pada orang yang lebih tua darinya.
Setelah Lidya selesai menelepon, ia menatap kepergian Aaron dan segera berdiri untuk menyusulnya, lebih tepatnya pergi duluan. Tentu saja, tidak mungkin ia menetap padahal orang yang mengajaknya ke sana akan keluar dan ia ingin bertanya alamat mereka ada di mana karena Lidya benar-benar buta nama jalan.
Louis ikut berdiri menghampiri mereka yang direspon decakan oleh Aaron. Louis tidak peduli, ia hanya ingin membantu Lidya dari bodohnya Aaron saja, menurutnya. "Hei Lidya, aku bisa mengantarmu."
Tawaran itu membuat Lidya merasa tidak enak. "Enggak perlu, aku akan Share Location sama sopir aku lagi pula aku bisa dikira macam-macam sama kakakku." Jujur Lidya kemudian mengutak-atik ponselnya setelah berhasil mengucapkan isi kepalanya.
"Kamu jangan samakan aku dengan manusia ini, enggak perlu sungkan minta pertolongan denganku." Louis menepuk-nepuk bahu Lidya tanpa peduli jika gadis itu lebih tua darinya meski hanya satu tahun.
Aaron memutar kedua bola matanya tidak menanggapi. Pria itu menaiki motor kemudian memakai helm, melihat ke arah Lidya dan Louis sesaat sebelum pergi. Louis menghela napas berat, ia rasa kakaknya itu benar-benar buta akan wanita atau mungkin lebih tepatnya tidak peduli? Entahlah, tapi terlalu kentara jika menunjukkan sikap seperti itu, bukan?
"Kamu tinggal di mana?" Tanya Louis datar, berbanding terbalik jika ada Aaron di sana, ia akan tersenyum manis agar pria itu cemburu karenanya. "Punya hubungan apa sama Aaron? Dia enggak pernah bawa orang ke rumah."
Mungkin karena ingin terlihat terlalu sibuk dengan ponselnya Lidya sampai tidak begitu menghiraukan Louis, bagaimana pun juga ia ingin segera pulang, malu rasanya berada di tempat yang tidak diinginkan sang pemilik rumah, menurutnya. "Aku, 'kan sudah bilang tadi."
Louis kesal, tentu saja karena pertanyaannya itu ditanggapi seadanya, ia duduk di kursi teras, bagaimana pun juga ia tidak cukup tega meninggalkan perempuan yang ia pikir teman dekat kakaknya sendirian di sana. "Duduklah!" Meski seperti memerintah tapi nada itu terdengar santai. "Enggak perlu malu, santai saja, aku enggak sekejam bibirnya Aaron."
Entah kenapa mendengar perkataan Louis sedikit membawa ketenangan di hati Lidya hingga ia ikut duduk dan menyimpan ponselnya. Ya, karena setelah ia mengirim lokasi pada sopirnya, Lidya hanya menggeser-geser menu. Gadis itu menatap jalanan malam dengan seksama tapi jauh di dalam lubuk hatinya terus bertanya-tanya ada apakah diantara Aaron dan ayahnya? Mungkin Lidya terlalu ingin tahu persoalan pribadi orang lain tapi sungguh teka-teki itu membuat Lidya beranggapan buruk tentang ayahnya Aaron.
"Louis," panggil Lidya yang dibalas dehaman singkat dari pria itu. "Apa ada masalah antara Kak Aaron sama ayah kalian?"
Louis tidak terkejut dengan pertanyaan Lidya karena itu terlihat sekali di foto-foto yang terpajang di ruang tamu mereka, sehingga ia hanya melirik sebentar saja. Ia tidak ingin menanggapi karena bagaimana pun juga Lidya masihlah orang asing.
"Enggak ada apa-apa." Balas Louis seadanya, ia tahu pernyataannya itu akan mengundang pertanyaan baru jadi ia kembali berucap, "Maaf tapi itu privasi."
Lidya membungkam rapat-rapat mulutnya, ia sangat tertohok meski sudah tahu jawaban itu yang akan ia dapat, samar-samar ia mengangguk pelan sebagai respon sekaligus tidak mampu berucap apa pun lagi. Seketika hening menyelimuti mereka, suasana canggung itu tentu saja membuat Lidya gelisah dan tidak nyaman berbeda dengan Louis yang terlihat baik-baik saja.
"Kamu enggak perlu menemaniku di sini, kalau kamu mau masuk, masuk saja." Lidya berucap dengan nada meyakinkan tapi kemudian tersadar bahwa Louis sama sekali tidak pernah mengatakan menemaninya, habislah ia akan dihadiahi ucapan pedas persis seperti kakaknya lakukan padanya.
Lidya menutup matanya untuk bersiap menahan rasa sakit di dadanya yang akan muncul tiba-tiba karena ucapan Louis tapi pria itu malah berdeham panjang membuat Lidya menoleh padanya, mungkin saja mereka berbeda?
"Enggak juga, aku suka suasana malam." Jawab Louis tanpa melirik Lidya.
Lalu keheningan muncul lagi, Lidya menatap bulan sabit menghiasi angkasa ditemani banyaknya bintang menghambur keindahan. Tiba-tiba ia teringat akan hal yang membuat ia berada di sana. Ah, bukankah ia tadi marah dengan Aaron? Lalu mengapa sekarang-
"Kenapa setiap aku melihat langit malam aku tidak pernah melihat bulan purnama, heh?" Louis bergumam datar bahwa perkataannya hanyalah obrolan ringan saja tapi tentu saja ia heran mengapa ia tidak pernah melihat langsung bulan purnama padahal umurnya sudah tujuhbelas tahun.
Perkataan Louis mengingatkan Lidya pada sebuah novel karya Jocelyn Zura, The Last Moon. Novel itu menceritakan pembunuh bayaran yang selalu bertemu dengan seorang gadis di bulan purnama dan berakhir saat bulan purnama juga bahwa sang pembunuh bayaran akan berhenti dengan profesinya karena jatuh cinta pada gadis yang terus ditemuinya.
"Sering-seringlah melihat keluar dan lihat pada ramalan bulan purnama muncul." Jawab Lidya menatap pria itu.
Louis menggeleng kembali menatap jalan, lurus ke depan. "Sebenarnya tidak begitu ingin melihatnya."