Winston

2.4K 194 12
                                    

"Masa lalu memang tidak bisa berubah tapi masa lalu bisa merombak masa depan."
-Stylly Rybell, Warm Rain

Lidya mengernyit, sahabatnya itu selalu membahas tentang ayahnya Aaron

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lidya mengernyit, sahabatnya itu selalu membahas tentang ayahnya Aaron. "Memang siapa ayahnya?"

"Apa kamu pernah mendengar pembunuh tergila di dunia yang dibebaskan, bernama Stevan Winston?" tanya Nadine dengan wajah seriusnya.

Lidya terlihat serius namun kepalanya menggeleng, ia sangat berminat dengan topik ini tapi ia juga tidak tahu-menahu. Entah karena ia baru saja membaca cerita pembunuh bayaran yang jatuh cinta di novelnya dengan judul The Last Moon atau karena ia penasaran dengan sosok tampan itu.

Nadine menggeleng tidak percaya, sahabat karibnya itu seperti keledai saja. "Astaga, kamu harus mengurangi sifat acuhmu itu! Stevan Winston adalah pembunuh buronan asal Texas yang-"

"Yang beberapa tahun selalu lolos dari pengepungan polisi? Astaga! Pembunuh legendaris itu!" Lidya terkejut bukan main, ia tidak percaya ada orang berbahaya dan banyak ditakuti tinggal di satu kota dengannya, parahnya lagi anaknya menempuh pendidikan di kampus yang sama. "Astaga, aku bahkan tidak menyadari namanya Win-"

Tanpa bisa melanjutkan kalimatnya, bibir mungilnya dibekap oleh Nadine yang terlihat pucat pasi akibat tatapan tajam mengarah pada mereka. Sang pelaku langsung mengeraskan rahang tegasnya, menatap tajam Lidya yang kini terlahap mata elangnya. Bibir tipis pria itu sedikit terbuka, Lidya sudah dapat menebak perkataan pedas bersiap meluncur dari bibir nakal yang sangat sexy di depannya. Lidya menutup kedua bola matanya berusaha kuat dengan ucapan yang sebentar lagi akan musuk telinga, mengiris hati serta atmosfer akan mencekiknya. Tubuhnya bergetar, ia tidak cukup bernyali untuk melawan senior yang mampu membuat lawan bicaranya dapat terkena serangan jantung akibat ucapan pedasnya. Bibir dan mata pria itu memang sama-sama tajam, serta aura mengerikan selalu terpancar kuat. Terlalu lama menunggu, Lidya kembali membuka kedua bola matanya, pria itu sudah pergi meninggalkan mereka.

"Astaga!" pekik Nadine yang membuat telinga Lidya terasa tertusuk. "Apa mungkin dia operasi plastik? Tampan, menawan, dan keren!"

"Nadine!" kesal Lidya sambil memegang telinganya yang terasa mendengung sekaligus kesal karena tidak merasa shock seperti dirinya, pria itu tidak berkata apa pun. "Berhenti berteriak!"

"Demi apa pun, aku ingin menjadi kekasihnya!" teriak Nadine meremas-remas lengan Lidya sebagai sasaran empuk.

Gadis cantik itu meringis, dengan cepat ia menarik tangannya dari teman sialannya itu. "Kamu enggak pernah jera rupanya." jengah Lidya dengan nada bosan. "Dia sudah meng-"

"Diamlah! Aku tidak peduli, aku ingin menjadi kekasih dari pria keren sepertinya!" Nadine tersenyum dengan wajah bodoh seperti berimajinasi terlalu tinggi.

Lidya memutar kedua bola matanya, membaca novel yang ia pegang untuk mengalihkan rasa gelisah di hatinya. Pertanyaan beruntun terus bergumam di dalam pikirannya. Mengapa pria itu tidak mengucapkan apa pun? Apa pria itu sebenarnya adalah pria yang baik? Lidya segera mengacuhkannya tapi ia tidak bisa.

"Nadine, menurutmu kenapa dia enggak bilang apa-apa?" Tanya Lidya kembali menutup novelnya.

Nadine langsung menoleh, otak cantiknya berkerja dengan wajah khas berpikir. "Betul juga, kenapa dia enggak bilang apa-apa?"

Tidak lama setelah itu, alarm Lidya berbunyi menandakan mereka harus masuk kelas. Lidya memang selalu memasang alarm di ponselnya beberapa menit sebelum pelajaran dimulai. Lidya merasa tidak tenang, perasaan ganjal menyangkut pada otaknya. Bahkan, ia tidak menyadari dosennya telah membuka pelajaran. Gadis itu menopang dagunya, sosok Aaron benar-benar misterius untuknya.

"Apa kalian dengar berita tentang Bu Gwen?" Tanya dosen cantik itu dengan mata menjelajah. "Itu pelajaran untuk kalian terutama perempuan, jangan jalan sendirian kalau malam. Meskipun aku tidak menyukai Gwen tapi aku merasa kasihan padanya."

Ah, benar, Bu Cecil sering perang dingin dengan Bu Gwen... Bagaimana jika Bu Cecil yang- hush!

Waktu bergulir begitu cepatnya sehingga mata kuliah terasa seperti kilat. Lidya mengepak barang-barangnya ke tas sambil menunggu Nadine menghampirinya. Mengabaikan setiap suasana kampus yang ricuh, membahas beragam masalah absurd. Dengan langkah santai, kedua insan berparas cantik itu berjalan beriringan, Nadine menunggu kakaknya menjemput sementara Lidya sudah masuk ke mobil pribadinya, di mana sopir sudah siap mengantar kembali pulang.

Aaron Winston... Aaron Winston... Winston...

Lidya langsung mengangkat kepalanya, gerakan tiba-tibanya membuat sopirnya melirik dari spion sekilas. Gadis itu meraih novel favoritnya dari dalam tas dengan gerakan cepat, seperti baru menyadari sesuatu.

Jocelyn Zura... Jocelyn menikah dengan Stevan Winston...

"Astaga!" Pekik Lidya tidak percaya, ia segera men-searching untuk memastikan persepsinya. Dengan napas yang memburu ia membaca berita lama, berita terakhir Stevan Winston diliput.

"Kenapa, Nona?" Tanya sang sopir yang tidak lagi bisa membendung keingintahuannya.

Sebagai respon, Lidya hanya menggeleng. Ia kembali ke dunianya, tidak habis pikir betapa dekatnya ia dengan penulis favoritnya, ia merasa beruntung. Ditambah lagi pria tampan seperti Aaron adalah anak dari penulis favoritnya, Aaron si biang onar.

Lidya pikir, Aaron hanyalah anak orang kaya yang broken home. Melampiaskan kekesalannya lewat sekitar tapi kenyataannya adalah pria itu anak dari penulis profesional dan seorang pembunuh buronan RALAT mantan pembunuh buronan, karena itu ia mengucapkan kata-kata yang dapat membabat perasaan lawan bicaranya.

Lidya memutar kembali otaknya, mengapa Nadine tidak pernah memberitahunya? Nadine adalah penggosip kelas kakap tapi ia tidak tahu? Bisa saja, apa yang tidak bisa terjadi? Bahkan Lidya tidak pernah terbayangkan akan satu kampus dengan pria es itu.

Ban mobil berhenti berputar, Lidya segera keluar dari mobil meski pikirannya terus memacu pada Aaron tanpa ia sadari. Ia sebenarnya tidak suka begitu memikirkan urusan orang lain tapi kali ini tentang penulis favoritnya, Jocelyn Zura! Lidya melempar tasnya ke sofa dan mengistirahatkan tubuhnya di atas queen size-nya. Otak dan tubuhnya terasa lelah, ia memang tidak melakukan hal-hal berat, tapi ia selalu merasa lelah pulang kuliah.

Tatapan Lidya mengarah pada gitarnya yang ada di pojok ruangan, senyum kembali mengembang di wajah cantiknya, tanpa harus berpikir berulang-ulang, ia langsung mengambilnya, memainkan sebuah lagu yang sesuai dengan mood-nya. Berjudul Two is Better Than One dari Taylor Swift feat Boys Like Girls.

Dari sepanjang lirik yang ia nyanyikan, ia sangat menyukai satu bait.

"So maybe it's true, that I can't live without you."

Dengan alunan suara gitar yang indah, ia bernyanyi penuh penghayatan, mengabaikan jika ia hanya bernyanyi sekarang yang ia pikirkan adalah arti dalam dari lirik itu.

"Woy! Mama sama papa pulang!" Teriak Juan bersamaan dengan suara pintu yang ia gebrak.

Mendengar pernyataan itu Lidya tersenyum senang, ia langsung melempar gitarnya ke atas tempat tidur, mencari sosok orangtuanya. Sebesar apa pun ia menyukai gitar, ia lebih mencintai orangtuanya. Dengan langkah tergesa-gesa ia menuju pintu utama, di mana ibunya sudah berdiri di samping koper merah. Tatapan Lidya mengikuti indra pendengarannya, suara ayahnya sedang memarkir mobil.

"Mama enggak bilang kalau pulang?" Pernyataan Lidya lebih terdengar seperti pertanyaan.

Shinta- Ibu Lidya tersenyum kecil. "Berkas mama ada yang ketinggalan, papa juga ada makan malam dengan kolega."

Lidya membulatkan bibirnya sambil mengangguk-angguk, seolah mengerti padahal ia tidak peduli alasannya, ia sudah cukup senang kedua orangtuanya kembali pulang. Tangan Lidya menarik koper bertujuan membawanya ke kamar ibunya sementara Juan mengunci pintu setelah ayahnya selesai memarkirkan mobil.

#To be Continued...

Warm Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang