Ego

1.7K 173 11
                                    

"Ego merupakan sifat terkeras manusia."
-Stylly Rybell, Warm Rain

Bising di sisi kiri-kanan, canda dan obrolan tidak terkontrol di dunia luar membuat para insan bebas berucap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bising di sisi kiri-kanan, canda dan obrolan tidak terkontrol di dunia luar membuat para insan bebas berucap. Jam menunjukkan waktu sore, matahari perlahan menyeret diri ditelan cahaya orange senja. Kelas siang telah selesai, mereka bebas pergi atau pun pulang sesuka mereka.

Di sanalah Lidya bersama Nadine berdiri di atas trotoar menunggu jemputan masing-masing. Keduanya sibuk membicarakan pelajaran yang tidak mereka mengerti, mencoba untuk membagi opini keduanya. Lidya tanpa sengaja menetapkan tatapannya pada pria yang sangat mereka kenali. Tentu saja, pria itulah yang mengajar di kelasnya. Itu dosen yang dikenal sebagai Jokoaruddin atau biasa disapa Pak Joko.

Lidya tanpa ba-bi-bu menyenggol-nyenggol bahu sahabat karibnya bertujuan agar Nadine paham maksud tersembunyinya di saat Pak Joko melintas di depan mereka. Mata Lidya melotot-lotot kemudian melirikannya ke Nadine dan Pak Joko bergantian seolah-olah tengah memberi kode.

Bukannya menghentikan dosen itu, Nadine malah bingung dengan teman di sampingnya yang terlihat seperti orang stroke. Lidya menghela napas berat lalu memanggil dosen bernama Pak Joko di hadapannya. Sontak, pria berumur 34 tahun itu menoleh karena merasa dipanggil, melempar senyum ramah seperti biasa agar lawan bicaranya dapat nyaman mengobrol dengannya.

"Ah, Pak Joko mau ke parkiran, ya?" Ya, Lidya memang tidak bisa basa-basi tapi ia harus berusaha dibanding terus-terusan menyenggol temannya. "Hati-hati, pak, kampus kita semakin aneh." Lidya memancing agar pria itu memberikan sedikit petunjuk.

"Aneh karena kasus Gwen dan mahasiswi itu?" Dosen itu menghentikan langkahnya menatap Lidya dan Nadine bergantian. "Entahlah,"

Lidya merasa heran dengan kepergiannya, terasa begitu aneh jika membicarakan orang yang disuka malah terlihat cuek seperti itu. Lidya menatap Nadine menggaruk-garuk kepalanya, temannya juga bingung dengan respon janggal dosen mereka. Akhirnya Lidya mendelikkan bahu acuh.

Lidya lebih bingung bagaimana ia harus menyampaikan pada Aaron tentang perihal tampil. Entah ia harus langsung berbicara atau basa-basi, ia tidak tahu dan tentu saja ia bingung mengapa ia begitu pusing menghadapinya?

Drrt... Drrt...

Lidya dan Nadine langsung mengecek ponsel mereka tapi yang bergetar ternyata ponsel Lidya, Nadine pikir kakaknya sudah menjemput betapa malangnya. Lidya terkekeh pelan sambil menjawab panggilan dari sopir pribadinya, sesekali mengolok Nadine seolah-olah ia memamerkan bahwa ia dijemput lebih dulu.

"Halo? ... Lidya masih di kampus, ... ah, begitu ya? Enggak apa-apa, ... Iya, Lidya mengerti, ..." Tanpa percakapan panjang Lidya mengakhiri sambungan.

"Biar kutebak, pasti dijemput terlambat, ya?" Goda Nadine tertawa jahat, siapa pun bisa menebak karena raut dan percakapan Lidya terlihat begitu kentara kecewanya.

Lidya hanya memutar kedua bola matanya malas. Tentu saja diejek seperti itu menambah kesalnya. Lidya memilih untuk mengabaikan ejekan Nadine dengan membuka novel di tangannya tanpa lupa memakai kacamata. Gadis itu dapat menebak setelah ini sahabat karibnya pasti mengganggunya, Nadine memang benar-benar tidak suka membaca.

Beberapa detik berlalu, dapat Lidya rasakan bahunya ditepuk berkali-kali karena ia tidak juga mengalihkan tatapan, ia sudah bisa menebaknya. Tapi semakin lama tepukan itu semakin keras membuat Lidya mengalihkan tatapannya semakin tajam, ingin rasanya ia menguliti manusia di sampingnya.

"Itu Della," Nadine tidak menatap Lidya, ia sibuk memerhatikan sosok yang ia tunjuk. "Kudengar dia sering bertengkar dengan Vina,"

Lidya memutar kedua bola matanya malas, tanpa merespon ia kembali menatap novel yang ia pegang. Tidak lama setelah itu, Nadine terdengar mengucapkan kalimat perpisahan disertai ejekan sambil melenggang menuju motor kakaknya. Lidya melirik sambil menghela napas kasar, mereka memang selalu olok-mengolok perihal jemputan, kekanakan memang.

Bruk!

"Aw!" Ringis Lidya terjatuh ke depan, untungnya tangan dan lututnya yang mendarat lebih dulu jadi rasa malunya tidak berlipat-lipat. Lagi pula siapa yang menabraknya? Apa ia sebegitu kecilnya?

Dengan tatapan tajam Lidya membidik sosok di hadapannya, Aaron. Dapat Lidya tebak pria itu sengaja menabraknya, tentu saja tapi apa Aaron tidak punya hati? Bahkan telapak tangan dan lutut Lidya terluka karenanya, entah seberapa kuat ia menabrak Lidya.

"Kamu menghalangi jalanku," hanya itu yang berucap di bibir tipisnya kemudian melenggang pergi dengan tatapan datarnya seolah-olah bukan ia yang salah.

Sialan!

Tiga langkah baru Aaron menapakan kakinya, ia kembali berhenti, tanpa berbalik ia berucap. "Enggak usah mengumpat dalam hati, jadi orang kok pengecut!"

Astaga, di sini siapa yang salah? Dasar- argh!

Lidya menutup rapat-rapat bibirnya, berusaha memendam amarahnya yang nyaris meledak. Tanpa pikir panjang, ia berusaha berdiri sambil membersihkan pasir dan kerikil di tangan serta kakinya. Lidya bahkan baru ingat kalau novelnya terlempar entah ke mana.

Lidya mengambil kacamata di samping kakinya, memakainya lalu mencari ke mana novel berharganya. Betapa berengseknya pria itu membuat lecet dan noda di novel berharganya. Lidya mengacak pinggang, ia mencari ke mana-mana tapi tidak juga mendapatinya, akhirnya ia terjun ke semak-semak berharap menemukan jilidan kertas kesayangannya.

"Enggak biasanya kamu pulang jam segini," pria itu kembali berucap sambil melipat kedua tangan di depan dada, entah sejak kapan ia menghadap Lidya. "Kamu cari apa?"

"Novel," ketus Lidya dengan nada tinggi, sulit rasanya tidak meledak pada orang yang menghancurkan barang kesayangannya.

Lidya benar-benar frustrasi, ke sisi mana pun ia tidak mendapati novelnya padahal novel itu baru ia beli beberapa hari yang lalu, entah karena ia cengeng atau sangat menyayanginya, ia hampir menangis, bahkan Lidya terus-terusan menarik napas karena cairan di hidungnya.

"Cengeng," maki Aaron tanpa iba sedikit pun.

Saat itu juga Lidya terisak tapi mencoba untuk tetap bungkam tidak mengeluarkan suara. Airmatanya jatuh tapi ia berusaha agar rambutnya menutupi wajahnya, ia benar-benar malu jika menangis di depan orang lain apa lagi manusia tidak berperasaan seperti Aaron.

Aaron nyaris tertawa lalu membalikkan tubuh agar tidak terlihat bahwa ia kesulitan mengendalikan tawanya, ia memang tidak pernah tertawa di kampus, ia hanya tertawa di dalam kamarnya. Entah kenapa melihat gadis itu semakin terisak karena ucapannya membuat Aaron sangat tergelak bahkan tertawa tanpa mengeluarkan suara.

"Siapa nama pengarang dan judul bukunya? Nanti aku ganti," Aaron berucap sambil melangkah pelan tanpa membalikan wajahnya, tentu saja, tidak mungkin ia bisa menunjukkan tawanya pada orang lain kecuali pada ibu dan saudaranya. Tidak mendengar jawaban, Aaron menolehkan wajahnya bingung, gadis itu masih mencari bukunya. "Aku kasih penawaran cuma sekali,"

"Enggak usah!" Tolak Lidya masih mencari barang kesayangannya sambil mengusap airmatanya.

Aaron memutar kedua bola matanya malas, ia kembali melangkahkan kaki menuju motornya. Padahal ia hanya basa-basi bertanya karena sebelum menabrak Lidya, ia mengamati gadis itu lebih dulu. Lagi pula ia tidak suka memberikan penawaran seperti tadi.



#To be Continued...

Warm Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang