"Nilailah setelah kau mengenalnya bukan setelah kau dilukainya."
-Stylly Rybell, Warm RainBisikan-bisikan kecil terdengar di setiap sudut, deretan kertas berjilid terhias rapi di badan rak, beberapa orang sibuk membaca buku yang mereka pilih untuk menemani waktu luang dan beberapa juga tidur mengistirahatkan otak. Begitu juga dengan Lidya, ia sibuk membaca novel karya penulis favoritnya tapi sebenarnya ia memiliki dua tujuan ke perpustakaan, bertemu dengan Aaron adalah alasan keduanya.
Tatapan Lidya terus menjelajah sesekali, entah mengapa ia ingin sekali bertemu anak dari penulis profesional itu. Perasaan penasaran bergejolak dalam dirinya, memangkas fokus yang ia berikan pada novel di depannya. Kesekian kalinya Lidya menelusuri tatapannya akhirnya pria itu memasuki ruangan, duduk di depan Lidya tanpa menganggap gadis itu ada ia sibuk memakai earphone sambil membaca. Mungkin sangat beruntung bagi Lidya saat ini dapat begitu dekat dengan sosok tidak tersentuh itu.
Betapa indahnya hidung berbentuk sempurna yang ada di depannya disertai tatapan serius nan tajam membidik buku yang ia pegang, jika saja tatapan seperti pisau Lidya yakin buku itu akan robek dengan indah. Lidya bersumpah ini kali pertamanya melihat lelaki setampan yang ada di depannya, semenarik dirinya, semisterius dirinya, sekeren dirinya.
Bugh!
"Aw!" Lidya meringis saat penghapus pensil mendarat di keningnya.
"Aku sudah pernah memperingati kamu, jangan menatap orang lain, itu enggak sopan!" Aaron berucap dengan kening mengkerut.
"M-maaf kak," Lidya menunduk lesu.
"Cepat ambilkan penghapusnya!" Dengan nada memerintah yang tajam mampu membuat Lidya bergerak tanpa pikir panjang.
Gadis itu langsung memberikannya, terlalu takut untuk melawan Lidya hanya menunduk berpura-pura membaca bukunya. Jantung Lidya berdegup kencang, ia terkejut sekaligus ngeri dengan seniornya itu. Lidya sama sekali tidak membaca novelnya satu huruf pun, meski tatapannya lurus pada tumpukan kertas yang dijilid tapi samar-samar ia dapat melihat pergerakan seniornya.
"Enggak usah pura-pura baca!" Bentak Aaron mampu membuat jantung Lidya hampir lompat keluar. "Bahkan anjing pun tahu sebego apa kamu."
Lidya menggigit bibirnya, hatinya rasanya jatuh hingga ke dasar bahkan ia merasa kepalanya seperti ditimpa batu raksasa. Lidya tidak habis pikir sekejam apa manusia yang terus menatapinya itu yang pasti ia tidak memiliki hati. Jika Lidya dalam posisi orang itu ia tidak akan berkata blak-blakan seperti itu.
"Enggak usah mengumpat dalam hati! Kalau mau marah ya langsung marah!"
Lidya tidak mampu lagi mengutuk manusia laknat di depannya, enggan rasanya medumel dalam hati jika isi kepalanya dapat terbaca dengan jelas. Gadis itu hanya diam menahan diri hingga sosok yang terus mengganggunya pergi dengan sendirinya. Lidya mengikuti pergerakannya tapi saat pria itu berbalik Lidya langsung menatap novelnya berakting bahwa ia tidak lagi menatap Aaron.
Benar-benar manusia iblis! Dasar gila! Stres! Psycho!
Tanpa jeda Lidya terus mengumpat dalam hati, berusaha meluapkan emosi pada dirinya sendiri, bodoh memang. Gadis itu meremas-remas bajunya, betapa memalukannya menjadi pusat perhatian sekaligus dikatai blak-blakan seperti itu.
Kalau saja aku punya kekuatan super pasti kubuat dia menghilang! Menyebalkan!
Tersadar akan sudah cukup lama di sana, ia melihat jam dan benar saja sepuluh menit lagi mata kuliahnya akan dimulai. Lidya dengan cepat mengepak barang-barangnya agar tidak terlambat dan ya, Lidya masih mengumpat. Di dalam pikiran terus ia menjelek-jelekan Aaron karena hanya dalam pikiran ia bisa bebas melakukan sesuatu.
Argh, aku menyesal ingin bertemu pria sepertinya!
Tatapan Lidya terus menelusuri dan tiba-tiba ia bertemu Wulan, musuh Adelia. Yang pernah dikatakan Nadine, Wulan dan Adelia selalu bertengkar soal siapa yang paling pintar. Bahkan Lidya lupa jika Adelia hilang, Aaron dapat mengubah-ubah mood-nya. Wulan terlihat tengah gelisah, duduk sendirian padahal ia punya banyak teman, terlihat mencurigakan memang.
"Lidya, kamu dari mana? Perpustakaan lagi? Kenapa enggak minta temanin aku, sih?!" Kesal Nadine dengan wajah cemberut dibuat-buat.
"Biasanya kamu enggak mau, 'kan?" Jawab Lidya terus melangkah tanpa memedulikan Nadine tertinggal di belakangnya.
"Tapi sekarang beda! Aku mau ikut!" Nadine berucap sambil menyusul. "Katanya Kak Aaron keren banget waktu baca buku, serius yang buat para gadis meleleh."
Lidya memutar kedua bola matanya jengah, mendengar nama itu membuat mood-nya rusak, memang salah jika ia menatap? Dia, 'kan punya mata! Tanpa menggubris perkataan Nadine Lidya terus melangkah dengan perasaan dongkol, menulikan telinganya sebentar untuk persoalan Aaron.
"Eh, soal Adelia gimana?" Tanya Lidya menyela pujian beruntun dari Nadine untuk Aaron.
Nadine semakin melebarkan senyumnya, tidak biasanya Lidya bertanya gosip yang ia punya. "Masih diselidiki sih, tapi terakhir dia pergi ke kampus persis kayak Bu Gwen."
"Terus masih belum ada tersangkanya?"
"Aku juga belum tahu," jawab Nadine sambil tersenyum polos.
"Gosipmu enggak lengkap!"
Lidya langsung meninggalkannya ke dalam sementara Nadine mengekor sambil menghela napas kesal. Memang salah Nadine jika ia hanya tahu sedikit? Bukankah Lidya lebih parah karena tidak tahu sama sekali?
"Huh, bukannya berterima kasih!"
Lidya menatapnya tajam kemudian mengeluarkan barang-barang di dalam tas bersiap memulai catatan. Lidya tidak bisa fokus karena ia terus mengaitkan tragedi dengan Aaron, jika benar Aaron sangat berbahaya, apa Lidya harus menjauhinya? Dia bahkan sama sekali tidak dekat. Entahlah Lidya pusing ia lebih memilih untuk mendengarkan dosen menjelaskan yang baru saja datang.
Waktu berlangsung cepat, matahari mulai berada di tengah-tengah tepat di atas, cuaca semakin terik, beberapa mahasiswa pulang ada juga yang mengumpul untuk makan bersama. Lidya pun seperti itu, ia beranjak untuk pulang ditemani Nadine di sampingnya, menunggu jemputan masing-masing.
Saat Lidya sibuk membicarakan soal tugas dengan Nadine tatapannya tanpa sengaja berjumpa pria sinis yang tajam perkataannya tapi Aaron tidak melihatnya, ia sibuk berbicara dengan dosen yang ada di depannya. Dosen itu terlihat mengerutkan kening, mereka pasti membicarakan hal penting.
"Kenapa kamu baru mengumpul tugasnya sekarang? Bukankah Bu Gwen sudah mengajar sangat jauh?"
Aaron hanya diam memilih bungkam sambil menjelajahi matanya, cepat-cepat Lidya mengalihkan tatapannya pada gadis pengoceh yang tak lain adalah sahabatnya. Setelah memastikan pria itu tidak melihatnya, Lidya kembali menetapkan tatapannya pada Aaron lagi.
"Lidya!" Panggilan melengking Nadine membuat Lidya tersadar. "Kamu enggak mendengarkanku!"
Habis topikmu enggak menarik, sih!
Tatapan Lidya menangkap mobilnya sudah semakin mendekatinya, ia segera melambaikan tangan pada Nadine sebagai kode, masuk ke dalam tanpa mengucapkan kata-kata lagi seperti tidak bersalah sama sekali atas perbuatannya. Terkadang Nadine berharap bisa membenci sahabatnya itu tapi entah kenapa ia tidak bisa.
Lidya menjatuhkan tatapannya pria yang masih menatap datar sosok dosen di depannya, tanpa emosi, benar-benar dingin. Lidya menopang dagu ia tidak habis pikir dengan Aaron yang memiliki nyali cukup tinggi.
Tiba-tiba saja tatapan mereka bertemu, Aaron menatapnya tajam. Lidya terkejut setengah mati ia sontak memundurkan tubuhnya, padahal ia berada dalam mobil dan kaca jendelanya tidak dapat dilihat dari luar. Jantung Lidya berdegup kencang, napasnya tercekat.
Apa mungkin dia memang memiliki ilmu hitam?
#To be Continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Warm Rain
Mystery / Thriller2nd Winston Books ●DILARANG KERAS MENCURI SECUIL PUN IDE DARI CERITA INI! PLAGIAT JAUH-JAUH!● Lidya Diana Gadis yang kesepian karena orangtuanya selalu berkerja, ia hobi membaca novel menyanyi dan bermain gitar. Ia tidak populer juga tidak nerd, ia...