Hangat

2.2K 184 14
                                    

"Ketika hujan terasa dingin,  rindu datang menghampiri."
-Stylly Rybell, Warm Rain

Bulan sabit menampakkan diri membencarkan keindahannya pada sisi malam, berlomba dengan para bintang untuk siapa yang terindah pada malam ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bulan sabit menampakkan diri membencarkan keindahannya pada sisi malam, berlomba dengan para bintang untuk siapa yang terindah pada malam ini. Namun menurut Lidya tidak ada yang menang sebab mereka terlihat sama cantiknya. Otaknya kembali memutar ingatan bagaimana Aaron menatap tajam dirinya. Tubuh Lidya menggigil, angin malam pada saat ini menyapu permukaan kulitnya dengan sangat baik dan tidak lama setelah itu, hujan turun. Cuaca yang menenangkan meski dinginnya suhu menusuk pori-pori.

Apa mungkin Aaron memiliki masalah dengan keluarganya sehingga sikapnya menjadi seperti itu?

Lidya menggeleng pelan, ia tidak boleh sembarangan berpikir yang tidak-tidak lagipula itu bukan urusannya, tapi entah mengapa Lidya merasa penasaran, ia semakin ingin tahu. Apa tidak apa-apa ia mencaritahu hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengannya?

"Kenapa kamu di sini? Ayo, cepat masuk! Hujan-hujan begini." Ucap Juan tiba-tiba menepuk pundak Lidya.

"Mama sama Papa belum pulang?" Pernyataan Lidya lebih terdengar dengan nada pertanyaan, ia mencoba mengalihkan perasaan gundah di hatinya.

Juan ikut menatap pemandangan teras rumah. "Iya, mama bilang sekitaran jam dua baru pulang."

Lidya mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. "Kakak kenapa enggak satu kampus sama aku?" Tanya Lidya menatap Juan dengan raut penuh tanya, sebenarnya ia sudah dapat menduga jawaban Juan sama seperti sebelumnya tapi siapa yang tahu jika jawaban kakaknya itu berbeda lagi, bukan?

"Karena aku mau yang beda, universitasmu, 'kan universitas yang paling diminati di sini." Kata Juan sambil mengusap-usap lengannya merasa kedinginan dengan suhu pada malam itu.

"Kakak tahu Aaron?" Tanya Lidya sambil menopang dagu.

"Siapa dia?" Tanya Juan ikut duduk di samping Lidya, ia memilih untuk mengobrol dengan adiknya dan menunda bermain game di ponselnya.

"Enggak, dia mahasiswa yang satu universitas sama aku, kukira dia terkenal." Jawab Lidya dengan nada datar seperti obroloan mereka hanyalah basa-basi. "Dia anak dari penulis profesional favoritku."

"Oh, anak itu, aku tahu. Dia anak dari pembunuh buronan juga, 'kan? Aku pernah lihat dia makan di restoran cepat saji dan temanku bercerita. Apa dia pernah mengganggumu?" Juan bercerita dan diakhiri dengan pertanyaan sambil terkekeh pelan.

"Dia melemparku dengan penghapus tadi siang karena enggak sengaja mataku melihatnya." Lidya menggunakan kalimat tidak lengkap yang ia maksudkan matanya tanpa sadar melirik Aaron karena terpesona tapi Lidya tahu Juan tidak sepandai itu untuk mengerti perkataannya dan ia sengaja.

Benar saja dugaan Lidya, Juan tertawa seperti tidak terlalu menanggapi. "Temanku bahkan dipukulnya karena berbisik-bisk tentang dia dan ya, aku hampir dipukulinya. Dia temperamen."

Sekali lagi Lidya menggigil namun detik ini napasnya tercekat, pandangannya gelap, jantungnya sakit, sontak ia memegangi dadanya. Ingin sekali Lidya minta tolong pada kakaknya tapi entah mengapa tidak bisa, ada yang aneh dengan tubuhnya saat ini.

"Hei, Lidya!" Juan menepuk pundaknya, ia terlihat khawatir.

Untungnya saja hal itu terjadi sekejap sehingga Lidya perlahan-lahan menegakkan tubuhnya agar terlihat tidak ada masalah namun sialnya saat ia berbicara ia tergagap. "A-aku mau masuk,"

Sampainya Lidya di kamarnya, ia merasa bingung, tidak biasanya ia seperti itu. Gadis cantik itu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, memegangi dadanya seperti tengah mencari di mana sumber itu berasal, ia yakin sekali jika jantungnya yang terasa sesak tadi.

Lidya menjelajahi matanya, ia tidak boleh terlalu paranoid, bisa-bisa ia kena penyakit mental, mungkin saja itu efek sedikit kelelahan tadi siang. Tatapan Lidya berhenti mendapati gitarnya, tanpa basa-basi ia mengambil untuk memulai sebuah lagu. Mungkin karena terlalu banyak lagu yang pernah ia mainkan, ia jadi tidak tahu lagu apa yang belum ia pelajari.

Drrt... Drrt...

Lidya menghela napas kesal, tentu saja, siapa yang tidak merasa terganggu jika tengah melakukan hobi paling menyenangkan untuknya diusik karena telepon.

Awas saja si sialan ini meneleponku karena ingin bergosip!

"Halo?" Jawab Lidya ketus, ia memang mudah marah ketika hal yang ia sukai diganggu tapi detik selanjutnya perubahan ekspresinya drastis. "Jangan bercanda!" Lidya mendengarkan perkataan Nadine dengan seksama kemudian ekspresinya kembali datar, ia terlihat kesal. "Enggak usah menuduh orang sembarangan! Mana mungkin Vina yang culik Adelia, semaniak-maniaknya Vina sama si Aaron dia juga masih waras." Lidya memutar kedua bola matanya malas. "Sudahlah! Jangan bergosip! Aku mau main gitar!" Dengan gerakan cepat Lidya mematikan telepon.

Kesal rasanya jika diganggu hanya karena sebuah gosipan yang mengatakan Vina mungkin menculik Adelia karena Vina sangat menyukai Aaron sedangkan Adelia terlihat tidak suka dengan Aaron. Entah mungkin karena mood-nya hancur, Lidya tidak lagi memainkan gitarnya, ia menatapi hujan yang terasa sejuk untuknya.

Andai saja hujan terasa hangat... Apa mungkin aku tidak merindukan kehangatan orangtuaku?

Lidya menyentuh jendelanya, terdapat embun tipis yang menghalanginya untuk menatap indahnya hujan dengan sempurna. Gadis berumur delapan belas tahun itu menyandarkan keningnya ke jendela, membiarkan indera pendengarannya terhibur dengan ketenangan hujan malam.

You deserve to be happy, if this world says that you have no chance, prove that you deserve to, i don't care who you are and what happened your past, i do care who you are now and what you're gonna be.
                -The Last Moon, Jocelyn Zura

Lidya tersenyum menurutnya, novel itu sangat manis hingga membuat benaknya terngiang-ngiang, bagaimana alur dikemas sangat rapi dan sukses mendorong Lidya untuk memiliki hubungan seperti novel favoritnya. Penuh konflik, penuh kasih, penuh kesedihan dan sangat berwarna. Entah karena Jocelyn yang betul-betul hebat atau karena Lidya memiliki selera persis seperti di novel itu yang pasti ia menginginkannya.

Jika kau ingin mengubah nasibmu, maka ubahlah dulu pola pikirmu.
                 -He is Different, Jocelyn Zura

Ah, Jocelyn memang membuat pengaruh besar pada Lidya, begitu banyak serpihan-serpihan kalimat yang dengan mudah mencuri perhatiannya. Meski Lidya sangat menginginkan kehidupan seperti di novel-novel, ia tetap mensyukuri hidupnya yang berjalan damai meski ia sedikit bosan karenanya.

Lidya kembali tersenyum kemudian melangkah ke tempat tidurnya, ia harus mengistirahatkan otak yang terus menyapa tulisan Jocelyn itu. Tentu saja bulan berada di ujung saat ini, bagi Lidya mengingat Jocelyn bagaikan menunggu senyuman terukir di anak kecil yang sedang menangis, sungguh lama.

Apa mungkin takdirku berubah ketika bertemu orang yang aku cintai?

Pertanyaan itu begitu saja terlintas tanpa izin di gelapnya pandangan Lidya meski merasa heran dengan otaknya, ia tetap menutup mata agar jatuh ke dalam dunia mimpi, seperti bodoh saja ia menanggapi diri sendiri.





#To be Continued...

Warm Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang