2nd Winston Books
●DILARANG KERAS MENCURI SECUIL PUN IDE DARI CERITA INI! PLAGIAT JAUH-JAUH!●
Lidya Diana
Gadis yang kesepian karena orangtuanya selalu berkerja, ia hobi membaca novel menyanyi dan bermain gitar. Ia tidak populer juga tidak nerd, ia...
"Perasaan kesal jika terlalu menumpuk maka akan meledakkan kemarahan." -Stylly Rybell, Warm Rain
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Suasana rumah sakit cukup ramai ada yang menikmati indahnya taman di waktu senja, bercerita dengan kenalan, dan banyak lagi. Tentunya aroma khas rumah sakit terpancar di mana-mana kecuali di bagian taman, bagian paling ramai.
Lidya terus memandangi Aaron saat dokter mengombatinya, ia rasa kakinya bisa saja diobati ke klinik tapi mengapa Aaron justru mengantarnya ke rumah sakit besar? Ditambah sifat aneh pria itu sesekali tersenyum tipis entah apa yang dipikirkannya. Untungnya saja Aaron tampan jadi hal itu terlihat menanangkan juga menggemaskan.
"Apa?!" Bentak Aaron tidak suka saat Lidya terus-terusan menatapinya.
Lidya memutar kedua bola matanya kesal, baru saja ia hendak melunak pada Aaron tapi pria itu malah dengan santainya menunjukkan sikap ketusnya bahkan di depan dokter dan perawat yang sibuk mengurusi kakinya. Lidya mengamati bagaimana cara dokter dan suster itu mengobati salah satu bagian tubuhnya.
"Lihat dengan benar! Jadi tidak perlu merepotkan orang lain kalau terluka." Aaron berucap santai tapi nadanya terdengar sedikit membentak.
Dokter bernama Suhendra Hartono itu menatap Aaron sebentar kemudian Lidya yang menggeram kesal, ia menggeleng pelan sambil melanjutkan aktivitasnya. Padahal Suhendra ingin mengajak Lidya berbicara sebagai bentuk rileksasi tapi ia tidak memahami 'pasangan' di hadapannya sehingga memilih tutup mulut dan bicara seperlunya.
"Gara-gara siapa aku begini?" Kesal Lidya menjaga intonasi suaranya agar tidak mengganggu dokter di sampingnya.
Ingin sekali rasanya Lidya memuntahi segala jenis umpatan dan omelan tapi ia memilih diam karena ia tahu itu mempermalukan dirinya sendiri di hadapan orang lain. Lagi-lagi Lidya memutar kedua bola matanya jengah, napasnya memburu setiap kali berbicara dengan manusia bernama Aaron Winston.
Setelah Dokter Suhendra selesai mengobati Lidya, Aaron membopongnya ke motor tanpa lupa membayarnya. Lidya tidak tahu mengapa Aaron sesekali tersenyum tadi sebelum ia ketahuan menatapi pria itu tapi entah mengapa Lidya ingin menjaga mood Aaron tetap naik agar seniornya itu tidak selalu mengutarakan hal pedas setiap kali buka mulut.
"Mau kucongkel matamu keluar?" Tawaran Aaron terdengar mengerikan di telinga Lidya bahkan ia sampai merinding dibuatnya.
Lidya mengalihkan tatapannya dan diam saja, ia tidak tahu sejak kapan ia merasa sedikit berani dengan Aaron, ia cukup senang karena Aaron bisa tersenyum atau tertawa tapi tetap saja menyebalkan kakinya yang terkena imbasnya. Kini gantian, Aaron menatap Lidya, perempuan itu tidak banyak berbicara sudah pasti ia kesal dengan Aaron.
"Mau kucongkel matamu keluar?" Lidya menirukan gaya dan nada bicara Aaron, keberanian yang patut dipuji.
Aaron memutar kedua bola matanya jengah dapat ia dengar Lidya tertawa kecil. Tapi Aaron terlanjur kesal jadi ia dorong saja gadis itu ke motor hingga Lidya setengah terjatuh di atas motor sport-nya. Tentu saja gadis di hadapannya ini mengaduh kesakitan karenanya sambil menghadiahi tatapan tajam darinya meski tidak berpengaruh sedikit pun untuk seorang Aaron Winston.