Tragedi

1.2K 137 28
                                    

"Mencintaimu membuatku merasa seperti seorang iblis yang tanpa malu menculik bidadari di surga."
-Stylly Rybell, Warm Rain

"Aku mengulitinya hidup-hidup, menjahit lidah dan bibirnya, memutilasinya dan membuang mayatnya ke sungai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku mengulitinya hidup-hidup, menjahit lidah dan bibirnya, memutilasinya dan membuang mayatnya ke sungai."

Perkataan Aaron kala itu terngiang-ngiang di kepala Lidya. Lidya tidak dapat membayangkan bagaimana Aaron bisa melakukan hal keji seperti itu, ia pun tidak pernah mengharapkan untuk melihatnya. Bahkan dosen mengajar pun tidak Lidya dengarkan seolah-olah perkataan Aaron di ingatan Lidya lebih mencolok dari pada dosen di hadapannya.

"Lidya!"

Panggilan Nadine disertai gebrakan meja yang cukup nyaring membuat Lidya terkejut dan sontak mendongak, kelas sudah kosong. Jika saja Lidya gadis yang kasar dapat dipastikan Nadine dihajarnya habis-habisan tapi Lidya malah menghela napas kesal sambil mengepak barang-barangnya.

"Semakin lama kamu semakin hobi melamun!" Jengah Nadine dengan nada mengejeknya. Tentu saja Nadine kesal, ia berbicara pun jarang didengarkan.

Lidya hanya menarik sudut bibirnya singkat sebelum meninggalkan kelas, ia tidak mood meladeni Nadine saat ini, ia jauh lebih pusing dengan apa yang telah dilakukan Aaron pada Adelia. Pertanyaan-pertanyaan menghantui pikiran Lidya, bagaimana cara menyadarkannya? Mendengarkan orang lain saja Aaron sulit tapi Aaron selalu menurut pada ibunya, bukan? Apa lebih baik Lidya beritahukan pada Jocelyn? Tapi Aaron sudah pasti marah, ibunya adalah sosok yang paling disayanginya.

"Kamu kenapa, sih?!" Kesal Nadine menyamakan langkah kakinya dengan Lidya. "Bertengkar lagi sama Kak-" perkataan Nadine terpotong tepat di saat matanya mendapati sosok Aaron dan Ian melangkah mendekati mereka. "Ada Kak Aaron sama Kak Ian!"

Lidya yang tadinya menunduk kini mendongak dan tatapannya membulat sempurna sebab Aaron langsung merangkulnya tanpa peduli lirikan di sekitarnya. Lidya bukannya tidak mau dirangkul oleh seniornya itu tapi menjadi pusat perhatian membuat Lidya malu. Lidya melirik Ian yang di sampingnya terkekeh pelan diikuti oleh Nadine. Sementara Aaron terlihat tenang-tenang saja seperti tidak ada hal aneh, entah mengapa pria itu semakin nekad saja.

Mereka terus melangkah menuju parkiran sementara Nadine sudah dijemput oleh kakaknya jadi tersisa mereka bertiga. Aaron terlihat tidak berniat dengan percakapan langsung memakai helmnya sama seperti Ian sementara Lidya menunggu disuruh naik. Lidya sebenarnya takut Aaron melakukan hal seperti kemarin tapi ia juga harus percaya bahwa Aaron tidak seburuk itu.

"Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?" Jengah Aaron menaikkan kaca helmnya agar dapat menatap gadis yang baru saja terhempas ke dunia nyata dari lamunannya.

Lidya pun menaiki motor Aaron tanpa basa-basi. Gadis itu memerhatikan Aaron dari kaca spion. Andai saja Lidya tidak menemukan kalung Adelia mungkin ia tidak akan ketakutan sekarang, Aaron membawanya ke mana pun ia terus memerhatikan jalan, bagaimana tidak? Aaron bisa saja membawanya ke hutan seperti kemarin.

Warm Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang