2nd Winston Books
●DILARANG KERAS MENCURI SECUIL PUN IDE DARI CERITA INI! PLAGIAT JAUH-JAUH!●
Lidya Diana
Gadis yang kesepian karena orangtuanya selalu berkerja, ia hobi membaca novel menyanyi dan bermain gitar. Ia tidak populer juga tidak nerd, ia...
"Cinta yang tumbuh layaknya bunga mawar yang hendak mekar, indah namun berduri. Jika tidak berhati-hati akan terluka, jika tidak mampu menjaga dengan baik ia akan layu." -Stylly Rybell, Warm Rain-
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tawa menggelegar dengan gema di seluruh penujuru ruangan pada rumah itu, tawa yang tidak tertahankan disertai ejekan menyebalkan membuat salah satu insan menatapnya tajam. Tentu saja orang itu Aaron sementara yang menertawakannya adalah adiknya, Louis.
Ian yang ada di sana merasa was-was. Tidak, Ian tidak memberitahu Louis apa pun! Tapi pria tampan itu sendiri yang mengetahuinya karena bermain bersama teman-temannya di sekitaran kampus Aaron tanpa berniat menguntit kakaknya. Louis memeragakan adegan pelukan Aaron dengan Lidya memakai bantal sofa.
"Jangan cengeng! Umurmu berapa sih, sayang?!" Ejek Louis sambil mengelus-elus bantal layaknya kepala Lidya kemudian membantingnya ke sisi sofa lantaran tertawa keras. Nada bicara dan perbuatannya yang menggelikan semakin membuat Aaron naik pitam.
Aaron kembali memainkan laptopnya berusaha mengabaikan adiknya yang terlewat batas menyebalkannya. Sudah sekian menit Louis mengejek tapi kedua insan itu sama sekali tidak meladeninya, Aaron lantaran kesal sementara Ian takut Aaron kembali meledak padanya.
Bukan karena tidak ada alasan kedua insan itu menetap di sana melainkan mereka tengah mengerjakan tugas menggunakan Wi-Fi di rumah Aaron jika tidak, sudah jelas sekali Aaron akan buru-buru keluar karena jengah mendengar celotehan adiknya.
"Yang nempelin aku kan kakak!" Ejek Louis lagi kemudian tawanya pecah.
Ian nyaris tertawa tapi ia telan tawanya dalam-dalam, bisa habis ia jika Aaron kehabisan kapasitas kesabaran. Ian melirik temannya yang wajahnya merah meredam amarah.
Brak!
Sofa yang diduduki Louis terjungkal ke belakang dalam hitungan detik padahal sofa itu sangat berat ditambah Aaron menargetkan untuk menendang perut Louis bukan berniat merebahkan sofa.
"Sialan!" Maki Louis memegangi perutnya.
"Sekali lagi kau buka mulutmu, aku bersumpah akan membuat hidupmu seperti neraka!" Peringatan intimidasi itu membawa efek pada Ian, rasa kegeliannya berganti menjadi tegang.
Louis yang masih dalam keadaan berbaring tertawa rasa sakitnya tidak membuatnya kapok, ia masih menertawakan Aaron ditambah kakaknya mengancam seperti itu membuatnya semakin tergelak meski tangannya masih memegangi perutnya yang nyeri. Beberapa saat ruangan hanya dipenuhi tawa Louis tanpa ada suara lain, sepertinya pria berparas tampan itu masih mencoba mentolerir rasa sakit di perutnya.
"Dasar budak cinta!" Ejek Louis lagi tanpa memikirkan dampak buruk pada dirinya.
Aaron langsung berdiri dari sofa tapi bertepatan saat itu juga Jocelyn memasuki ruang tamu diikuti Steve di belakangnya. Pria berumur sembilanbelas tahun itu kini kembali duduk untuk mengerjakan tugasnya, ia dapat menebak ibunya pasti mengomel karena dirinya memukul adiknya.