Bukan Siapa-Siapa

1.1K 136 35
                                    

"Bukan siapa-siapa dan tidak tahu apa-apa tapi mengapa hati ini terus berharap?"
-Stylly Rybell, Warm Rain

"Bukan siapa-siapa dan tidak tahu apa-apa tapi mengapa hati ini terus berharap?"-Stylly Rybell, Warm Rain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pahatan sempurna bentuk wajah pria itu membuatnya terlihat seperti makhluk sempurna. Siapa saja yang melihatnya akan bertanya-tanya, apa memang ada manusia setampan dia? Itulah yang dipikirkan Lidya. Gadis itu menatapi pria yang tertidur pulas di atas lantai ruang tamu rumahnya. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari tapi pria itu belum juga pulang. Mereka membuat hadiah untuk ibunya Aaron tapi karena kelelahan Aaron tertidur, Lidya tidak enak menyuruhnya pulang sebab tangan seniornya itu benar-benar sakit karena mengendarai motor jenis ninja mengelilingi kota meski Aaron terus-terusan menutupinya.

Lidya bangkit dari duduknya, ia mengambil bantal dan selimut yang ada di dalam kamar tamu. Dengan hati-hati Lidya mengangkat kepala Aaron untuk meletakkan bantal di bawahnya tapi pria itu langsung membuka matanya dan membalikkan posisi sehingga Aaron berada di atasnya.

Jantung Lidya berdegup kencang, kedua bola matanya membulat sempurna jarak wajah mereka hanya beberapa sentimeter sehingga Lidya dapat merasakan napas pria itu. Kedua tangan Lidya pun dikunci, ia tidak dapat berkutik. Keduanya terkunci akan keindahan bola mata satu sama lain, Aaron yang tadinya menatapnya tajam menjadi melembut dan intens.

Aaron segera tersadar akan posisi mereka langsung menjauh sambil memijat keningnya. "Kamu mengejutkanku!" Kesal Aaron kemudian menatap Lidya lagi. "Kepalamu terbentur?"

Lidya segera duduk dan menggeleng cepat. "Kakak waktu dorong aku, kan sambil pegang kepalaku jadi tangan kakak yang sakit, kan?"

Aaron kembali memijat kepalanya sebentar kemudian beranjak. "Aku pulang!"

"Tapi tangan kakak sakit, kan? Kakak istirahat saja dulu di kamar tamu!" Lidya menariknya.

Aaron menatapnya tajam seolah-olah kesal karena ketahuan kelemahannya terlihat. "Enggak usah sok tahu! Aku belum bilang sama mama pasti mama khawatir."

"Bilang saja kakak menginap di rumahku karena tangan kakak sakit, mama kakak pasti ngerti." Lidya mencoba meyakinkan karena ia cukup khawatir jika Aaron memaksakan diri dan bagaimana jika tiba-tiba tangannya kram di jalan?

Aaron mengusap wajahnya frustrasi, perkataan Lidya membuatnya berpikiran aneh-aneh ditambah dengan bagaimana Lidya berada di bawahnya tadi. Aaron menghela napas pelan kemudian meyakinkan. "Aku baik-baik saja." Aaron mengambil tasnya. "Hadiahnya aku titip di rumahmu, besok aku jemput. Mamaku mau ketemu kamu. Aku pulang."

Lidya tersenyum senang, ia tidak percaya akan bertemu dengan keluarga Aaron sekaligus penulis favoritnya dan seorang Stevan Winston. Ah, Lidya hampir lupa dengan permintaan Louis. Lidya menatap Aaron sudah menaiki motornya langsung menyusul.

"Kak, aku cuma mau kasih saran... Menurutku hadiah terindah itu dari Tuhan dan Tuhan bisa memberikan hadiah untuk mamanya kakak." Lidya berucap hati-hati.

Warm Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang