Merana oh merana. Ranting-ranting turut menundukkan kepalanya. Menggugurkan daun-daun kering tanda bela sungkawa. Dalam diam, burung-burung hinggap dan turut merayakan kesedihannya.
****
Aroma khas hutan segera menerpa indra penciuman mereka. Lumayan gelap, kanopi-kanopi pohon menghalangi cahaya matahari untuk masuk. Tenang, tidak ada berbicara, awalnya memang begitu. Tapi semakin dalam mereka memasuki hutan, Faya tidak bisa memendam lagi hasratnya untuk bicara.
"Kita mau bangun tenda dimana?" tanyanya, tentunya semuanya mengacuhkannya. Mereka semua fokus pada jalan. Faya berdecak pelan.
"Aish, kalian nggak seru!" serunya kesal. Dia menyilangkan tangannya di depan dada, menggelembungkan pipinya.
Karena kasihan, Elena menjawabnya. "Kita cari mata air dulu, Ya. Biar gampang kalau mau masak dan mandi." tapi sepertinya terlambat, Faya sudah kesal dan tidak bisa dibujuk lagi. Ia berjalan paling depan, seolah paling tahu jalan mana yang hendak dituju. Saat ada dua percabangan jalan, ia dengan sok tahunya memilih jalur kiri, padahal sebenarnya yang mereka tuju adalah jalur kanan. Sudah jelas ada papan penunjuk jalan, "Bumi Pekemahan" di sana, tapi mungkin, Faya terlalu malu untuk mengakuinya. Ia menghentakkan kaki kesal lantaran diacuhkan kembali. Kini, ia memilih berjalan di belakang, di samping Elena.
"Lo kenapa sih? Jangan kayak anak kecil deh." tegur Elena. Mendengar itu hanya membuat wajah Faya tambah tertekuk.
"Lo nggak lihat? Daritadi kita jadi obat nyamuk di sini. Tuh, lihat. Mereka asyik gandengan tangan sama pasangannya masing-masing. Lah, kita?" Faya mendengus geram. Padahal bukan seperti ini hiking yang ia idam-idamkan. Harusnya antar sahabat, tanpa perlu ada diskriminasi tak kasat mata antara yang jomblo dan sudah punya pasangan ini. Kini, ia terkucil bersama Elena, cewek paling cuek kalau masalah begituan. Setidaknya itu yang diketahui Faya.
"Lah terus mau lo gimana?" Elena membalas tanpa menoleh. Ia begitu fokus memperhatikan jalan dan keadaan di sekitarnya. Sepertinya. Karena sedari tadi ada rasa tidak nyaman yang menggelitik sudut hatinya saat melihat Andrea dan Regan bergandengan tangan.
"Lo mau gandengan sama itu? Boleh aja sih. Kalian cocok juga. Sama-sama lambat." Elena menunjuk seekor koala yang sedang tidur. Langka sekali! Tapi tak heran juga sih, hutan di sini memang terjaga. Elena berhenti sejenak, mengambil foto sang koala dengan kamera yang dia bawa--ini juga pinjam Faya. Mengacuhkan Faya yang kini kian cemberut.
"Wah! Koala ya! Keren banget! Jarang banget bisa jumpa!" dari depan seseorang memekik. Andrea berbalik untuk mendekat. Hal itu mengundang Noah dan Catrina juga untuk mendekat, dan juga Regan tentunya.
"Lo ketiban hoki ya, El? Lo selalu duluan kalau dapet sesuatu." celetuk Regan, Elena hanya menyeringai pongah.
"Jangan-jangan lo jelmaan hewan ya? Punya radar gitu buat manggil hewan."
"Ngaco lo Re. Mana ada kayak gituan." Noah menjitak kepala Regan. Regan mengaduh, balas menjitak kepala Noah. Kedua remaja itu bertengkar. Catrina langsung menyeret Noah menjauh. Cewek itu bener-bener legend. Kok bisa-bisanya bersavar menghadapi cowok gila game kayak Noah.
Akhirnya mereka sampai juga di tepi sungai. Aliran airnya tenang dan tidak dalam. Bersih dan tidak tercemar. Di sekitarnya juga hanya beberapa tumbuhan yang tumbuh liar dan alami, sama sekali tidak tersentuh manusia. Juga tidak ada hewan liar dalam pengamatan mereka. Sempurna.
"Kita bisa bangun tenda di sini." ucap Regan, "Tanahnya juga solid kok. Kalau hujan, nggak akan becek. Kecuali hujannya deres banget sampai sungainya meluap."
KAMU SEDANG MEMBACA
Past, Please! (COMPLETED)
Roman pour AdolescentsApa yang mampu seseorang sembunyikan di masa lalu? *** Dia Elena, gadis sederhana yang mencari bahagia. Hadirnya adalah senja. Kadang datang memberi bahagia. Lalu kadang pergi membawa luka. Ada banyak yang disembunyikannya di balik lakunya yang ten...