Bab 25

32 6 0
                                    

Jika punya masalah, berbagilah. Walau dengan notes dan bukumu sekalipun. Itu akan membuatmu lebih baik. Percayalah.

**

Noah melangkah pelan menuju ruang osis. Hatinya sedang bergemuruh. Ia bahkan tak begitu memperhatikan sekitarnya. Sapaan teman-temannya terasa seperti angin lalu. Keraguan menggelembung memenuhi hatinya.

Ada apa dengannya?

Noah mendengus pelan.

Tidak penting.

Hal yang seharusnya ia pikirkan sekarang adalah hari ulang tahun sekolah mereka. Tepat satu bulan dari hari ini. Iya, semendadak itu. Noah harus memutar otak untuk mencari ide tema apa yang akan diterapkan di hari yang mempertaruhkan fleksibilitasnya menjadi ketua osis itu. Melelahkan memang, tapi itulah konsekuensi menjadi ketua osis.

Ruang osis sudah ramai. Pengurus osis telah memenuhi sebagian besar kursi yang di tata di sana. Mereka menunggunya untuk mengambil keputusan final.

"Halo, kak Noah." sapa Nindy sambil tersenyum manis. Noah membalasnya dengan senyum datar. Ia tahu gadis itu menaruh hati padanya. Dan ia tak ingin memberi harapan sekecil apapun pada adik kelasnya itu, karena hatinya telah sempurna tertaut pada sosok Catrina, mungkin.

Noah lalu berjalan mendekati kursi kebanggaannya. Duduk di sana, dan seketika atmosfer ruangan menjadi berbeda.

"Silahkan ajukan pendapat kalian masing-masing. Usul paling baik akan dijadikan keputusan final." ucapnya.

Satu orang di pojok meja mengangkat tangannya.

"Gimana kalau kaya tahun kemarin aja. Itu lumayan seru lho. Lebih gampang lagi karena masih ada berkas dan bahan dari tahun kemarin." usulnya.

"Gak kreatif! Plagiat! Kita bisa di caci maki sama osis taun kemarin." ujar cowok sangar di seberangnya.

Cewek yang tadi usul mengekeret.

"Maaf." gumamnya takut-takut. Cowok di seberangnya hanya mendengus. Noah pun mengeluh dalam hati.

"Gimana kalau prom night? Itu, sesuatu yang baru bukan?" usul Nindy berbinar-binar.

"Itu, gue rasa terlalu, emm, feminim?" tanggap Noah. Tawa meledak. Nindy memerah di tempatnya.

"Emang guru-guru bakal ngizinin?" tanggap cowok sangar itu lagi. Angkasa namanya.

"Iya juga. Saran yang lain dong."

Mereka semua terdiam. Agaknya, otak mereka sudah tak sanggup lagi digunakan untuk memikirkan hal ini.

"Kita hanya punya waktu sebulan. Apa itu cukup?" tanya Nindy. Noah meliriknya, lalu tersenyum.

"Sebenarnya tidak. Tapi cukup jika kita bawa bala bantuan." ucap Noah.

"Maksudnya?" Lauren, sekretaris osis bertanya sambil mengerutkan keningnya.

Noah tersenyum penuh arti,

"Cukup, jika kita bawa bala bantuan. Jika kita mengikutsertakan kelas sebelas untuk berpartisipasi di sini."

Semua mata di sana terbeliak. Secara tidak langsung mengakui bahwa Noah, sang ketua osis. Sangat jenius.

"Tapi konsepnya?" tanya Lauren, lagi.

"Biar gue yang pikirin. Nanti pulang sekolah kumpul lagi di sini." Noah berujar lalu bangkit dan pergi.

"Gue cabut dulu." ucapnya sebelum benar-benar hilang di balik pintu.

***

Faya menatap mangkok baksonya kurang minat. Ngomong-ngomong soal bakso, ia jadi teringat saat-saat makan bakso bersama Elena. Saat ia tak jadi makan baksonya karena Elena mengajak paksa dirinya untuk masuk kelas setelah mengantar Yupi berkeliling.

"Ya? Ayaa? Jangan kebanyakan ngelamun, sayang. Nanti kesambet kan nggak lucu." tegur Delvan.

Faya seketika tersentak. Ah, kenapa dengan dirinya sih? Ck, pikirnya dalam hati.

Ia lalu termenung kembali saat menatap bulatan kenyal berdaging di mangkoknya. Elena, entah kenapa ia rindu.

Sebuah benda kenyal tiba-tiba mendarat di pipinya. Kini Faya tersadar sepenuhnya. Ia melotot menatap Delvan di sampingnya yang memasang seringai nakal.

"WHAT THE HE—"

"Diem atau aku cium lagi." ancam Delvan membuat Faya seketika kicep dengan muka merah padam. Gadis Delvan itu akhirnya menyerah dengan mem-poutkan bibirnya kesal.

Pandangan Delvan ke Faya tiba-tiba menyendu. Ia mengelus rambut gadisnya pelan.

"Hey, aku tahu ada yang kamu pikirin. Cerita sama aku kalau kamu udah siap yah?" katanya lembut. Faya jadi baper, ia mengusap sudut matanya cepat.

"Oyy, gue pergi dulu ya bray." Delvan pamit pada teman-temannya lalu menarik tangan Faya agar ikut dengannya.

"Mau kemana, Van?" tanya Faya.

"Udahlah, ikut aja." Delvan tersenyum simpul. Dan Faya merasa tenang begitu saja. Faya ikut saja saat Delvan menariknya menuju rooftop sekolah.

Di sana sepi, karena rooftop sekolah ini memang tidak terawat, kotor, dan berdebu.

Delvan mengajak Faya duduk di tumpukan kardus di sudut rooftop.

"Gimana? Udah kondusif kan?" Delvan tertawa pelan.

"Kau memang selalu tahu apa yang aku inginkan, Delvano."

"Duh, jadi baper kan."

"Apaan sih!" Faya menjotos bahu Delvan pelan. Dia lalu tertawa. Lalu sedetik berikutnya, tawanya memelan dan lenyap sama sekali digantikan wajah sendu sepeeri beberapa menit yang lalu.

"Gue kangen sahabat gue, Van." akunya pelan.

"Elena maksud kamu?" Delvan lagi-lagi tersenyum lembut.

Faya mengangguk pelan,

"Gue nyesel udah ninggalin dia. Gue nggak mikirin gimana perasaan dia. Gue ngerasa kalau gue itu orang paling jahat di dunia, Delvan. Gue—gue pengen minta maaf, tapi nggak tahu gimana caranya. ... Gue pengen temenan lagi sama dia."

Tes

Air mata Faya berhamburan keluar. Ia tampak sangat frustasi.

"G-gue cuma nggak mau dia tergantung sama gue, Van. Gue cuma mau dia berteman sama orang lain. Tapi—tapi kenapa gue malah kaya gini? Gue nggak rela dia deket sama Catrina. Ra—rasanya sakit banget, Van." Faya memukul dadanya dengan tangan kanannya. Delvan menahan tangan itu lalu merengkuh Faya dalam pelukan hangat. Bahu gadisnya bergetar dalam pelukannya.

"Sshh. Faya nggak salah. Tujuan Faya udah bener, tapi pelaksanaannya yang salah. Faya bisa buat Elena temenan sama yang lain dengan tetap di samping Elena. Menuntun Elena pelan-pelan. Everything gonna be okay. Kamu bisa perbaikin semuanya. Percaya sama aku. Pelan-pelan kita dekatkan kalian lagi ya?"

Faya mengangguk dalam pelukan Delvan. Akhirnya batinnya kembali tenang. Akhirnya bebannya terangkat. Uh, kenapa tidak seperti ini dulu ya? Becerita dan berbagi masapah pada orang lain membuat semuanya terasa lebih mudah.

"Delvan..." ujar Faya pelan.

"Apa?" sahut Delvan cepat.

"Pengen bakso. Laper..." manjanya.

Delvan terkekeh pelan. Melepas pelukannya, lalu menoel pipi gadisnya penuh cinta.

"Kamu ya!" ia mengecup pipi gadisnya lagi, membuat Faya kelabakan dan memerah seperti tomat matang.

"DELVAN! KAMU CURI START! NGGAK ADIL!"

.

.

.

Tbc,

Tinggalkan jejak.

Past, Please! (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang