Bab 19

35 5 15
                                    

Senyumnya pedih, membangun sebendung bah air mata, tertahan. Sesak sekali.

***

Bunyi gesekan sikat dan lantai menggema di lorong toilet super kotor itu. Kerak-kerak hijau yang membandel terasa mustahil untuk dibersihkan. Padahal peluh sudah membanjiri dahi Elena. Ia menyekanya pelan. Lalu kembali melanjutkan menyiram air di hasil gosokkannya. Namun, nihil. Kerak itu masih di sana. Seolah mengejek Elena.

"Gue ragu lo benar-benar ninggalin buku lo di rumah. Seorang Elena yang sempurna, masa iya?" ejek suara di seberang sana.

Elena tersenyum tipis. Menampilkan lesung pipinya yang manis. Namun kali ini, itu adalah senyuman sinis.

"Gue sengaja."

"Ck, nggak guna juga kan? Lo malah di hukum kaya gini." meski terdengar sinis, Elena bisa mendengar nada khawatir di sana. Gadis itu masih Fayanya yang dulu.

"Gue cuma mau bicara sama lo."

"Nggak ada yang perlu dibicarain." suara itu terdengar dingin.

Tapi Elena tidak menyerah begitu saja, "Ini tentang persahabatan kita."

"Sahabat? Kita? Emang pernah?" terdengar kekeh tawa di seberang sana.

Lo jahat Ya! Kenapa lo lakuin ini ke gue?

Sesuatu seperti meremas jantung Elena. Setitik air mata menggenang di pelupuk matanya. Lalu, sebuah senyuman terluka terukir dibibirnya.

"Nggak mau tau lo mau ngakuin atau nggak. Kita masih sahabat, Ya. Lo dan gue, akan terus seperti itu. Itu yang gue tahu."

Hening melanda. Di seberang sana, Faya menelan ludah. Tampak bersalah.

Tapi ini demi lo, Elena.

"Terserah." jawab Faya, kembali dingin.

Elena diam dan menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Ia melangkah keluar melewati kamar mandi yang dibersihkan Faya, melihat gadis itu yang kelelahan. Tanpa pikir panjang, Elena jongkok di samping Faya dan menyikatkan sikat lantainya untuk membantu Faya. Faya mematung. Menatap Elena nanar.

oOo

Jam pelajaran Miss Hajar sudah selesai, Yupi menghampiri mereka dan memberitahukannya. Elena hanya mengangguk dan segera pergi. Faya menghembuskan napas lega.

"Faya? Mau ke kantin bareng aku?" tawar Yupi. Faya enggan menolak. Ia mengikuti Yupi yang menggiringnya ke kantin. Saat melewati kelasnya, ia melihat kelas kosong. Alisnya terangkat. Elena kemana?

Tapi masa bodoh bagi Faya. Toh sekarang, gadis itu bukan sahabatnya lagi. Setidaknya menurutnya. Dia benar kan?

Di muka kantin, Delvan sudah menunggunya dari tadi. Setelah mengucapkan selamat tinggal pada Yupi, gadis itu segera menghampiri kekasihnya.

"Hai, Van." sapanya dengan senyuman manis.

"Hai juga Ya. Duduk sana yuk."

Walaupun mereka berpacaran, mereka tidak pernah saling bertukar panggilan sayang seperti 'yang' 'honey' atau bahkan 'Ayah Bunda' seperti pasangan alay lainnya.  Itu permintaan Faya, dan Delvan menyetujuinya. Menurut mereka berdua, rasa sayang tidak harus diungkapkan dengan kata-kata menye-menye seperti itu.

Faya mengangguk, menuruti Delvan untuk duduk di pojok kantin bersama gengnya. Meskipun Faya adalah satu-satunya perempuan di sana. Dia tidak merasa risih sedikitpun. Keseruan dan celetukan lucu membuatnya nyaman berada diantara lelaki. Apalagi sifatnya yang tomboi. Hal itu mendorongnya untuk nyaman saja berada diantara laki-laki.

Past, Please! (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang