Bab 23

31 5 2
                                    

Ketakutan manusia ada di masa depan dan juga 'masa lalu'

***

Happy reading!
Click the vote buttom!

***


Batu kerikil di sana bergemeletukan, menandakan sebentar lagi, kereta akan melintas. Noah menghela napas lelah, setelah berjam-jam tak melepas kedua tangannya dari stir mobilnya. Catrina di sampingnya menatapnya prihatin. Noah memejamkan matanya menuju kereta melaju.

"Noah, lo capek? Mau gue gantiin?" tanya Catrina. Ia tampak bersalah.

Mata kiri Noah terbuka, "Nggak usah, Cat. Gue kuat kok. Lagipula tinggal bentar lagi sampai di rumah." senyum ia sunggingkan di bibirnya yang sedikit pucat. Sepertinya ia benar-benar kelelahan. Tapi dia tidak berbohong, hanya tinggal lima belas menit lagi, mereka berdua akan sampai di rumah Catrina. Noah harus mengantarkan gadisnya dulu ke rumahnya sebelum ia pulang. Ia akan melakukan apapun, untuk Catrina, gadisnya.

"Makasih, ya, No."

"Iya, apapun buat kamu, honey."

Kereta melaju cepat di relnya. Catrina melihatnya sebagai suatu kekaguman. Ia suka sensasi angin yang ditimbulkan. Juga suka suara decit dan peluit kereta. Berbeda dengan Noah yang sekarang sedang mengernyitkan dahi tanda tak suka. Ia menutupinya dengan topi. Ia menyunggingkan senyum tapi air mata meleleh di pipinya.

"Makasih Noah. Ini, indah banget."

"Iya..."

Perih

Setelah kereta benar-benar menghilang, dan batas kayu yang di jatuhkan sudah terangkat, Noah menyeka ujung matanya, mengangkat topi, dan melajukan mobil pergi dari sana. Catrina masih menikmati sisa-sisa pengalaman tadi. Ia masih saja tersenyum riang, sedangkan Noah memasang wajah senang palsunya.

Noah melajukan mobilnya hingga sampai di gang rumah Catrina. Ia menurunkan gadisnya. Tak lupa ucapan sampai jumpa dilontarkannya. Setelahnya, ia langsung pergi meninggalkan rumah Catrina. Mengemudikan mobilnya menuju suatu tempat.

Awan ternyata sehati dengan Noah. Hujan turun cukup deras, membasahi kaca mobil. Noah menajamkan matanya menembus hujan ditemani gerak bolak-balik wiper mobil untuk menyeka titik-titik air di kaca depan mobilnya. Matanya sebenarnya sudah memburam, beruntung jalan sedang sepi. Ia hanya perlu melajukan mobilnya pelan-pelan. Sampai di tempat yang ditujunya, ia meminggirkan mobilnya di bawah sebuah pohon mahagoni tua nan rimbun.

Noah mencoba menguatkan hatinya. Namun, berkali-kali ia melakukan itu, tetap saja, dadanya masih saja sesak, air mata tak mau berhenti mengalir. Padahal, kejadian itu sudah bertahun-tahun lamanya.

Noah memutuskan untuk turun dari mobilnya. Menantang air hujan untuk jatuh padanya. Ia mendongak, membiarkan air hujan itu jatuh mengalir, menembus dadanya, menyentuh hatinya yang rapuh. Berharap rongga-rongga dalam dadanya terpenuni oleh air hujan, agar tidak kosong dan menyiksanya.

Ia terduduk di bawah pohon mahagoni itu. Sejenak, ia membiarkan kesedihannya menenggelamkannya dalam penyesalan paling dibencinya. Di sini, di pohon yang walaupun sudah bertahun-tahun tumbuh tak tumbang, sama seperti rasa sesalnya yang tidak pernah mati, ia pernah bertemu seseorang yang ingin ia lindungi sepenuh hati, yang ia berani bersumpah akan melindungi orang itu sehidup semati. Tapi sumpah itu tak pernah terpenuhi. Noah bahkan hanya bisa mematung saat kepergiannya. Dan Noah, benar-benar menyesali hal itu.

Saat tubuhnya sudah benar-benar tak sanggup lagi menahan dinginnya udara dan derasnya hujan, rintik hujan yang tadi deras menimpa kepalanya, kini sirna. Padahal Noah yakin hujan masih turun. Dengan mata yang memerah, ia mendongak. Mendapati seorang gadis mungil yang tersenyum kecil padanya. Namun sedetik kemudian, gaids itu memandangnya khawatir. Sebuah payung berwarna hijau tergenggam di tangannya. Payung itulah yang melindungi kepala Noah dari guyuran air hujan.

Past, Please! (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang