Bab 16

27 8 0
                                    

Selamanya, adalah selamanya jika orang yang paling mengerti kamu adalah keluarga. Mereka tempatmu pulang. Mereka yang paling bisa kamu percaya

—Satria Maheswara—

****

Esoknya tersiar kabar bahwa Delvan dan Faya berpacaran. Elena terkejut. Sangat. Jadi sekarang yang jomblo hanya dia? Oke, dia tidak masalah tentang 'status' itu, tapi entah kenapa ia merasa, bahwa semuanya akan berubah. Tidak sama lagi. Dan benar, firasatnya terbukti. Ugh, jangan ditanya rasanya bagaimana. Sekarang, hanya untuk ke kantin bersama Faya saja sudah sangat sulit dilakukan. Waktu gadis itu benar-benar tersita hanya untuk Delvan seorang saja. Alhasil, kini Elena merasa kesepian. Jika waktu istirahat tiba, Elena akan segera pergi dari kelas, terkadang membawa buku, novel atau apapun yang bisa menjadi alasannya agar tidak melamun saja, di halaman belakang sekolah. Di sana, hampir setiap hari, di bawah pohon rindang, di sebuah bangku taman yang usang, Elena menghabiskan waktu istirahatnya.

Hari ini pun sama. Masih dengan perasaan yang sama, Elena datang.

Gadis itu mendongak, mengamati daun-daun pohon mahoni tua diatasnya itu melambai-lambai. Mengamati betapa angin menikmati berlalu diantara sela-sela daun. Mengamati bahwa dunia sebenarnya sedamai ini. Namun, Elena tahu, ia masih belum bisa berdamai dengan hatinya. Ia masih tidak rela, ia masih merasa bahwa sebenarnya Faya dan Delvan tidak pernah bersatu dan meninggalkannya dalam kesendirian yang mencekiknya kini. Elena takut, Elena takut akan kesendirian, semua temannya telah berlalu meninggalkannya dalam kebisuan. Entah itu dengan alasan Elena membosankanlah, Elena nggak asik lah, Elena nggak gaul lah. Elena paham, Elena paham betul bahwa orang seperti dirinya pantas untuk mendapatkannya. Apakah pantas, gadis introvert misterius yang tidak pernah tersenyum sepertinya mendapatkan teman? Tentu tidak, siapa yang mau coba? Hanya Faya, dan itu satu-satunya. Hanya Faya, yang bisa menerimanya apa adanya. Dan kini, sahabat satu-satunya itu meninggalkannya. Mungkin juga pacaran dengan Delvan hanya alasan Faya untuk meninggalkannya tanpa rasa bersalah.

Setetes air mata jatuh di pipi Elena. Pemiliknya enggan untuk menghapusnya. Biarlah angin yang membawanya, biarlah angin yang membawa laranya. Karena tidak seorangpun tahu, bahwa Elena benar-benar terluka.

oOo

Seseorang tampak bersembunyi di balik dinding. Ia menajamkan matanya saat melihat sesuatu yang janggal.

Dia nangis?

Beberapa hari ini, ia sering tak pergi ke kantin. Alasannya hanya gadis itu, gadis yang terlihat kesepian. Yang kini, sedang ia awasi. Keraguan muncul dihatinya. Ingin sekali dia menghampiri gadis itu, menanyakan apa masalahnya dan akhirnya mau berbagi padanya. Namun, ia ragu apakah gadis itu akan menolak kehadirannya. Karena ia adalah orang yang sama sekali asing.

Dia akhirnya mendapatkan keputusannya, dia melangkah mendekati gadis itu, hingga gadis itu menoleh. Terkejut melihat kehadirannya. Mungkin ia mengira tidak ada seorangpun yang akan datang kemari. Tempat favorit gadis itu beberapa hari ini. Padahal dia sering kemari. Tempat ini juga tempat favoritnya.

"Hai," dia menggaruk kepala belakangnya pelan. Tampak tidak nyaman. Sang gadis hanya menatapnya nanar. Ah, ternyata benar, gadis itu menangis. Jejak air mata masih tercetak jelas di wajah ovalnya.

"Boleh nggak gue duduk di sini?" gadis itu mengangguk, menggeser posisi duduknya agar dia bisa dusuk di sebelahnya.

"Lo ngapain di sini Cat?" tanya gadis itu parau. Merasa namanya disebut, Catrina menoleh. Ia lalu tersenyum.

Past, Please! (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang