Dunia itu, sempit ya? Kenapa, orang di masa lalu tiba-tiba datang ke masa depan?
***
Semilir angin menubruk ujung jaketnya hingga berkibar. Tudung yang tadi menutupi kepalanya sempurna, kini menyingkap. Menampakkan rambut coklat keemasan yang berkilau karena cahaya matahari. Matanya berkedip pelan, terlalu lama melamun hingga dikagetkan oleh suara cuitan burung. Di bawah kakinya, air beriak tenang. Kecipak ikan tampak ramai namun tak mengurangi ketenangan danau. Bola emas itu turun perlahan, menembus cakrawala hingga hilang ditelan ufuk barat. Kegelapan merayap, perlahan seolah tak mau senja terlewati begitu singkat.
Ia masih mematung. Tampak bimbang dan ragu. Kegelisahannya hari ini begitu menumpuk, tak berkesudahan. Apa yang kurang? Tanyanya dalam hati. Tidakkan gadis yang selama ini ia dambakan telah jatuh kepelukannya? Iya, benar. Memang benar. Seolah semuanya sudah sempurna. Seolah semua potongan hidupnya sudah lengkap. Tapi, rasa apa ini? Kenapa kekosongan masih begitu melingkupi hatinya? Seolah kegembiraan hari ini adalah semu semata. Seolah apa yang ia dapatkan hanyalah bayang-bayang. Kosong, seperti potongan puzzle yang salah diterapkan. Semua tampak ganjil dan mengganjal di benaknya.
Ia menunduk, menatap air danau yang kian menggelap, tak lagi menampakkan ikan-ikan kecil. Apakah ini karena ayahnya? Namun, benarkah keikhlasan bisa hilang karena waktu? Ia sudah mengikhlaskan kepergian ayahnya bertahun-tahun lalu. Dan kini, tidak ada hal tentang itu yang mengganggunya. Lantas, apa? Apakah masih ada puzzle tersembunyi yang masih hilang? Belum lengkap?
oOo
Pasar malam hari itu ramai. Seolah-olah ada yang menyingkirkan semua duka dalam jangkauanmya. Dan memberikan semua kebahagiaan yang ada padanya. Pedagang-pedagang permen kapas tidak pernah melepas tarikan bibir mereka karena pembeli yang banyak. Anak-anak berlarian, seolah dunia tidak pernah kacau, seolah dunia hanya berisi permen kapas dan permainan seru. Elena melamuni itu, masa kecilnya pun tak kalah seru. Bahkan lebih seru karena kehadiran kakaknya yang senantiasa menjaganya. Mengajaknya bermain, selalu mengalah padanya.
Permen kapas ditangannya sesekali ia comot sampai habis setengah, ia masih betah melamun sambil sesekali mengukir senyum. Mengingat masa kecil adalah kesukaannya. Kenangan-kenangan yang seolah tidak pernah direkayasa. Tidak ada kebohongan dan ketinggian hati. Hanya kepolosan dan ketulusan semata.Satria yang memerhatikannya ikut tersenyum. Seolah mengerti dan tidak pernah menganggu adiknya yang sedang menyelami masa lalu. Ia tidak mau adiknya kembali sedih. Ia benci air mata seorang perempuan, apalagi air mata adiknya. Seolah kesakitan tidak pantas berada di sana. Ia berjanji akan mempertaruhkan apapun agar senyum itu terus tersungging di bibir adiknya. Apakah ia berlebihan? Menurutnya tidak. Ia sudah dididik dari kecil untuk tidak pernah menyakiti seorang wanita. Baik hati maupun raganya. Ia dituntut untuk selalu melindungi wanita, walau dengan mempertaruhkan tubuhnya sendiri.
"Nah, gitu dong. Dibanyakin senyumnya. Jangan dibanyakin nangisnya." kata Satria.
Elena membalasnya dengan senyuman lebar yang membuat Satria ikut tersenyum.
"Pas banget ada pasar malam di sini. Pas aku lagi sedih." gumam Elena.
"Karena Tuhan itu adil. Dia selalu menyelipkan, walau sedikit kebahagiaan diantara kita di tengah-tengah kesusahan kita."
Elena mengangguk, menyetujui ucapan kakaknya. Dalam hati ia bersyukur bisa mempunyai kakak seperti Satria. Jika begini, walau seribu orang mengecewakannya, seperrinya tidak akan ada masalah kalau ada Satria. Kakaknya itu akan melindunginya dan mendukungnya sekuat tenaga. Elena yakin akan hal itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Past, Please! (COMPLETED)
Teen FictionApa yang mampu seseorang sembunyikan di masa lalu? *** Dia Elena, gadis sederhana yang mencari bahagia. Hadirnya adalah senja. Kadang datang memberi bahagia. Lalu kadang pergi membawa luka. Ada banyak yang disembunyikannya di balik lakunya yang ten...