Bab 22

29 7 2
                                    

Masa lalu itu bukan hanya tentang masa kecil yang gembira.

***

Begitupun saat pulang, Regan mengantarnya sampai depan rumah. Bahkan, cowok itu melemparinya senyum 'sampai jumpa' di akhir pertemuan mereka. Elena menghela napas pelan, lalu tersenyum lagi. Ah, sudah berapa kali ia tersenyum hari ini? Masa bodoh dengan anggapan teman-temannya yang mengatakan padanya bahwa Regan hanya main-main dan membuatnya menjadi pelampiasan belaka. Elena tidak peduli. Bahkan meskipun ia dianggap sebagai pelampiasan, ia akan tetap di dekat Regan. Karena memang bukan hati Regan yang ditujunya. Tapi agar Regan tak sedih lagi, agar cowok itu tak rapuh lagi. Walaupun nanti, hati Elena sendiri yang akan hancur. Elena tidak akan peduli.

Ia menghela napas, membuka pintu dan mendapati kakaknya duduk di sofa memandanginya. Seolah memang sedang menunggunya pulang. Ia tersenyum menyambut Elena.

"Dek," kakaknya memasang wajah penuh keingintahuan.

"Iya, Nana tahu kak. Tunggu dulu, Nana mau ganti baju dulu." Elena langsung naik ke lantai atas, mengganti bajunya dan langsung turun menemui kakaknya. Ia duduk di samping kakaknya yang sedang memegang konsol game.

"Mau main?" Kakaknya menawarinya.

Elena mengangguk. Ia mengambil konsol lain di laci bawah tv. Kakaknya menyalakan tv lalu menyambungkannya dengan perangkat game-nya lalu duduk di samping Elena.

Mereka berdua bermain dengan seru. Sesekali Elena terpekik saat mobil kakaknya menyenggol mobilnya hingga mobilnya menabrak tiang jalan. Kakaknya tertawa menyemangati. Saat game selesai mereka terkulai lemas di sofa. Kelelahan tertawa.

"Hebat juga kamu, dek."

"Iyalah, adeknya siapa dulu?" Elena membanggakan dirinya. Kakaknya terkekeh lalu mengacak rambut adiknya gemas.

"Dek?"

"Hm?"

"Itu tadi Regan yang kamu bicarain dulu kan? Kamu pelet pakai apa kok bisa kaya gitu ke kamu?"

"Pelet apaan sih kak?" Elena menabok kepala kakaknya.

"Aduh, sakit dek! Kualat lho."

"Biarin." Elena memeletkan lidahnya.

"Cerita dong"

"Dia baru putus sama pacarnya yang ditembak waktu di depan kita dulu."

"Cieee 'kita'"

"Dasar baperan."

"Biarin, daripada berharap terus-terusan?"

Elena mendengus, "Kan sekarang udah jelas?" Elena memeletkan lidahnya.

"Jelas apanya?" kakaknya tergelak.

Sejenak, Elena merenung. Iya, jelas apanya?

"Yang penting ada respon!"

"Dih, pinter banget ya kalau di suruh ngejek kakaknya!" Satria menoel hidung mancung adiknya.

"Kita cuma temenan kak. Aku cuma sebatas menghibur dia."

"Lah kok dulu ditangisin?"

"Ish." Elena tak lagi membalas. Ia memilih memejamkan matanya.

"Eh, dek. Itu juga cowok yang dulu nolongin kamu di pasar malam tahu." ucap kakaknya.

"..."

"Na?"

"..."

"Nana?" Satria membalik tubuh adiknya menghadap ke arahnya. Adiknya sudah tertidur dengan pulas.

Past, Please! (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang