Bab 4

39 12 0
                                        

Ia, sang elang angkasa. Sang penyesal, merenggut nyawa kekasihnya demi sebuah ambisi. Sang pengharap, karena sampai detik ini, ia tak mampu mengelak.

*

Angin malam membuat Elena bergidik, ia merapatkan jakdt yang tadi dipinjamnya dari Faya, mencoba menghangatkan diri. Sementara Faya dan Regan asyik bercanda di bangku sebelah, ia malah asyik memandangi langit. Bintang-bintang malam ini memenuhi langit. Bulan juga sedang purnama. Riak danau semakin memperindah pemandangan. Elena merasa tenang. Mereka bertiga baru saja menghabiskan puluhan potongan ikan beserta nasi. Pantas sana kalau mereka mengantuk. Tapi, pemandangan yang indah ini terasa sayang untuk dilewatkan. Sebagai gantinya, Elena kini sedang memangku Helen, kucing persia milik Faya, kucing itu menggelung manja dipangkuan Elena. Lucunya, nama mereka hampir mirip. Bukan ketidaksengajaan sih, karena memang Faya mengambil nama Helen dari nama Elena. Elena mengusap tengkuk kucing itu pelan, hingga membuat sang kucing itu nyaman dan nyaris tertidur.

"Helen, hidup sebagai kucing itu... Apakah enak?" Elena bergumam pelan, menambah frekuensi elusannya pada Helen. Meski tidak mendapat jawaban, Elena melanjutkan pertanyaannya.

"Kalian kan tinggal makan, tidur, berak. Nggak ngapa-ngapain. Oh, ya. Gimana rasanya berharga di mata manusia? Kalian tinggi hati kah? Andai aku bisa ngerti bahasa kamu." Helen mengeong pelan.

"Kamu ngerti bahasa aku?" Elena menatap Helen yang sekarang balik menatapnya. Seolah kucing itu adalah manusia. Bisa mendengar dan mengerti ucapannya.

"Helen..." Elena merangkul kucing itu. Menenggelamkan kucing betina itu dalam pelukannya.

"Untung kamu gendut." Elena tertawa.

"Manis. Kenapa kalau di sekolah, lo jarang tertawa? Oh, nggak-nggak, di sini juga. Baru kali ini juga gue ngelihat lo tertawa." Elena mematung. Sejak kapan Regan duduk di sampingnya? Dan dimana Faya? Gadis itu sudah tidak terlihat di sini.

"Faya ngantuk, dia pamit duluan. Gue disuruh ngasih tahu lo. Dia nggak mau ganggu. Lagian kayaknya lo lebih senang bicara sama hewan daripada bicara sama manusia."

"Oh, yaudah. Gue masuk aja sekalian." Elena ingin beranjak, tapi, Regan menahannya.

"Mau denger cerita?" Elena urung bangkit. Sebagai gantinya, ia melepaskan Helen untuk masuk ke rumah. Tinggal dia dan Regan yang berada di sini. Gorden dari kamar Faya pun tertutup. Hanya lampu redup yang terlihat dari sana. Kesimpulannya, sepi.

"Apa?" Elena belum mengantuk, jadi dongeng sebelum tidur sepertinya baik untuknya. Regan tersenyum dan memandang langit.

"Gue punya kenalan. Namanya Bintang. Dia sering dateng ke rumah gue. Cerita, kalau dia sedang suka sama seseorang. Namanya Bulan, orangnya manis. Dia cerita kalau dia suka sama Bulan karena sering bertemu. Awalnya sih biasa saja, tapi karena sapaan Bulan padanya setiap hati. Bintang jatuh hati. Sayangnya, tiba-tiba bintang lain datang, namanya Saturnus. Ceweknya berani, suka menantang maut. Dan indah. Bintang, langsung jatuh hati begitu melihatnya. Benar-benar jatuh hati, karena setiap di dekat Saturnus, Bintang selalu ingin meledak. Jantungnya bekerja di ambang normal." Regan menatap Elena yang kini menatapnya dengan kerut di keningnya.

"Terus?" tanyanya.

"Kalau kamu jadi Bintang. Kamu pilih yang mana? Bulan atau Saturnus?" Elena tampak berpikir sejenak.

"Bulan. Karena Bulan selalu ada buat Bintang."

"Good choice. Tapi pilihan Bintang bukan Bulan, Bintang lebih memilih Saturnus. Ia terlena karena keindahannya. Lama-kelamaan Bintang sadar, bahwa Saturnus tak pernah melihatnya. Saat Bintang ingin kembali ke Bulan, Bulan ternyata sudah berubah padanya. Bintang sangat menyesal, sangat." Regan mengakhiri ceritanya dengan seulas senyuman.

Past, Please! (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang