Happy reading readers:")
Don't forget to vote
Dan jika sempat tinggalkanlah komentar seadanyaYour vote and coment means a lot.
Thanks you ヽ(´∀`)ノ
Ada 3 alasan kenapa aku jatuh malam ini,
Satu, karena dirimu
Dua, karena dirimu
Tiga, karena dirimu
Bahkan jika kau menanyaiku sampai seratus kali, maka jawabanku tidak akan berubah. Tetap. Kamu.***
"Hati-hati. Kawah ini beracun, pastikan masker kalian pas di wajah." ujar Faya. Setelah memastikan kedua temannya itu selesai memasang masker, dia melangkah mendahului, disusul Elena dan terakhir Noah. Mereka bertiga mencari jalan yang pas untuk dilewati. Saat mencapai sudut yang pas, mereka turun menuruni kawah. Asap dari kawah itu mengaburkan pandangan, namun Faya sudah dengan pasti menghafalkan koordinat gubug itu.
Kaki Elena tak sengaja menginjak lumpur, membuat kakinya kotor terkena lumpur. Namun, Elena tisak mengindahkannya, ia tetap melangkah mengikuti Faya, walaupun beberapa kali berhenti karena merasa tidak nyaman. Noah yang berada di belakangnya berdecak pelan, mengambil sapu tangan di ranselnya, memegang kaki Elena tiba-tiba hingga gadis itu hampir terjungkal ke depan kalau tidak ada punggung Faya yang menahan tubuhnya. Elena siap memarahi Noah mengira cowok itu sedang menjahilinya, sebelum dia terdiam saat melijat Noah berjongkok untuk mengusap kakinya yang penuh dengan lumpur, membersihkannya hingga kaki Elena bersih seperti sebelumnya. Noah bangkit dan membuang sapu tangan berwarna biru bergambar beruang yang tercoreng warna cokelat itu ke sembarang arah.
"Barangkali ga ada semenit, perhatiin juga kaki lo, El. Dia udah ngebantu lo selama ini. Rawat dia." Elena tidak tahu Noah bisa sesentimentil ini, tapi dia tetap menggumamkan kata terimakasih pada Noah.
"Ck, elah lumpur doang." cibir Faya. Noah hanya mendengus. Percuma ngomong sama cewek herkules ini.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuruni kawah. Kini, Elena lebih berhati-hati dan lebih jeli untuk melihat kontur tanah yang akan dia pijak. Faya tetap siaga di depan, sementara Noah terkantuk-kantuk di belakang. Dan setelah bermenit-menit berjalan akhirnya mereka sampai.
Panjang gubug itu berkisar setengah sampai satu meter. Kecil sekali. Seolah sengaja dibuat untuk menyembunyikan sesuatu. Warnanya sudah kusam karena efek usia dan belerang di sini. Beberapa bagian sudah lapuk kayunya. Faya mengintip ke dalam. Tidak ada apapun selain sebuah papan yang tertancap ti tanah.
"Ada apaan Ya?" tanya Noah. Faya menarik diri dari pintu gubug itu, mempersilahkan Noah untuk memeriksa sendiri. Noah melongokkan kepalanya ke dalam, sama seperti Faya, di dalam hanya ada sepotong papan yang tertancap di tanah. "Itu apaan?" gumamnya. Dia memajukan tubuhnya lagi, lalu membaca baris kalimat yang ternyata ada dan tertulis di papan itu.
"Gabriel Montana, 14 April 2007." saat menyadari apa yang dibacanya, Noah tersentak mundur, tampangnya pucat dan tangannya bergetar.
"Ini kuburan, Ya!" serunya. Seketika Faya dan Elena melotot.
"Jangan becanda deh, Pan! Ini bukan waktu yang pas tahu!" ucap Elena.
"Sumpah! Namanya Gabriel Montana, meninggal tanggal 14 April 2007." jelas Noah, mukanya masih pucat pasi. Faya tersentak, sangat mengenal nama itu.
Regan.
Ayah Regan.
"Itu nama almarhum ayahnya Regan, Pan." bibir Faya gemetar. Noah dan Elena tercengang, "APA?!"
***
Catrina sampai di tenda saat melihat matahari terbit dari arah timur. Ah, sudah pagi. Hari baru dan masalah baru, sekaligus semangat baru baginya. Ia menunda keinginannya untuk segera tidur di dalam tenda untuk hanya sekadar duduk di sebuah batu kali yang besar. Ditemani cericit burung, gemericik sungai, dan matahari yang muncul malu-malu, Catrina merasa sempurna. Perlahan, bola pejal jingga itu naik dan menghangatkan tubuh Catrina yang semalaman ini kedinginan. Ia menghembuskan nafas berkali-kali. Ingin melupakan semua kejadian malam ini. Catrina ingin pulang.
Catrina lalu melangkah masuk ke tenda, merebahkan diri sebelum rasa tak nyaman menggelayuti tubuhnya. Lengket dan bau. Ugh, Catrina sungguh tidak menyukainya. Ia kembali bangkit, mengambil peralatan mandinya, dan pakaian ganti. Ia keluar, melangkah ke arah sungai yang lebih tertutup, mengacuhkan Regan dan Andrea yang sedang berbincang.
Matanya awas memandangi sekitar, setelah memastikan tidak ada yang mengintipnya, ia membuka bajunya, menyisakan baju dalamnya, lalu mengikatkan kain sebatas dadanya. Ia melangkah pelan ke pinggir sungai yang jernih itu. Seperti dugaannya, air sungai itu dingin dan segar. Tapi itulah tujuannya. Ia menginginkan sesuatu yang bisa menyadarkannya. Saat tubuhnya sempurna tercelup di sungai, Catrina merasa bebas, aliran sungai meliuk-liuk menerpa tubuhnya untuk goyah. Namun, Catrina bergeming. Catrina berendam di sana sampai beberapa menit untuk kemudian benar-benar 'mandi', menggosok gigi, menyabuni tubuhnya, mengkeramasi rambutnya yang lepek. Melihat tangannya berkerut, ia menghentikan mandinya. Melepaskan kedinginan air sungai, beranjak ke pinggir sungai untuk berganti baju. Ia melakukannya dengan cepat dan tangkas.
Lalu, ia kembali ke tenda dengan perasaan yang lebih tenang dari sebelumnya. Di tenda, Tim Noah telah pulang. Mereka duduk di depan tenda dengan raut muka lelah, pucat, dan senang.
"Hey! Dapet harta karunnya?" sapanya ramah, ia memasukkan peralatan mandinya ke dalam tasnya, membungkus baju kotornya ke tas kresek. "Kok pada diam? Noah?" Catrina melangkah mendekati Noah, Noah menoleh ke arah Faya, Faya menggeleng.
"Nggak dapet. Kita nggak bisa mecahin teka-tekinya. Cuma muter-muter nggak jelas sampe capek dan kita memutuskan untuk pulang." jelas Noah. Matanya ia larikan ke arah lain, menhindari kontak mata dengan Catrina. Catrina tersenyum, menyadari raut bersalah di sana. Dia tidak menyadari kalau Noah berbohong.
"Yaudah, nggak pa-pa. Tim gue malah balik bahkan sebelum petunjuk pertama ditemukan." Catrina melirik sinis pada Regan dam Andrea yang sedang duduk di tenda lain, jauh dari tenda milik Catrina. Sedang asyik bercanda.
"Mandi gih sana! Bau kamu kayak bau ikan busuk." Catrina tertawa sambil menoel pipi Noah, "Iya, yang wangi mah beda," balasnya sambil mengacak rambut Catrina hingga gadis itu memerah malu. Faya dan Elena hanya berpandangan sekilas. Merasa sedikit iri. Sedikit.
***
Faya dan Elena kembali ke tenda dengan keadaan yang jauh lebih fresh daripada tadi. Kalau tadi bau mereka seperti ikan busuk, sekarang mereka berdua wangi sabun. Hasil mandi sungai mereka. Elena menyimpan sesuatu di saku tas khususnya. Gerakannya tampak terburu-buru, hingga membuat Faya curiga.
"Itu apa, El?" Faya melongok dari balik bahu Elena, namun gadis itu menampik wajah Faya dengan tangannya, "Bukan apa-apa." sangkalnya. Lalu, untuk menghindar, Elena memutuskan untuk keluar dari tenda, "Gue mau makan dulu ya. Nanti nyusul loh." Elena langsung berlari kecil menjauhi Faya. Faya menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal. Ia merasa tingkah Elena sangat aneh. Dan karena rasa penasarannya yang meluap-luap, ia memberanikan dirinya untuk mengusik kedamaian tas ransel Elena. Mencari saku khusus yang tersembunyi di dalam ransel itu, setelah menemukan apa yang dicarinya, dibukanya resleting saku khusus itu. Sebuah benda menggumpal mencuat dari sana. Lembut dan sedikit basah. Tangan Faya menarik benda itu.
Sebuah sapu tangan biru bersulam boneka beruang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Past, Please! (COMPLETED)
Teen FictionApa yang mampu seseorang sembunyikan di masa lalu? *** Dia Elena, gadis sederhana yang mencari bahagia. Hadirnya adalah senja. Kadang datang memberi bahagia. Lalu kadang pergi membawa luka. Ada banyak yang disembunyikannya di balik lakunya yang ten...