"Kata-kata kadang dilontarkan tanpa perasaan. Jangan pernah percaya kata-kata madu tapi tanpa perasaan.""El, mau cari buah-buahan?" ajak Catrina.
"Nggak ah, kalau nanti keracunan, gimana?." Elena menendang ranting yang ada di tanah. Mereka daritadi hanya berkeliling. Menanjak, menuruni bukit, bertemu sungai. Tapi tidak ada hal yang menarik bagi mereka.
Catrina diam, kehabisan bahan untuk dibicarakan. Sebenarnya daritadi dia sudah muak dengan kebisuan ini. Tapi, jika lawan bicaranya saja seperti ini. Mau apa lagi? Yaudah, dia diam aja. Andrea yang melijatnya pun hanya mendengus pelan. Ini benar-benar ide buruk. Dia sekarang kelelahan, taoi takut untuk berbicara. Andai saja ia tadi tidak sok-sokan mengajak teman barunya ini untuk berjalan-jalan.
"Yaudah, kita balik aja ke tenda yuk." Elena mendongak menatap Catrina saat mendengar ucapan Catrina, lantas menghembuskan napas, setengah kesal. Melelahkan saja!
"Oke." Elena ingin berbalik, tapi telinganya menangkap sesuatu. Ia berdiam di tempat. Wajahnya berseri. Berbalik, lalu segera berlari menuju ke arah yang berlawanan. Andrea dan Catrina segera menyadarinya. Mereka berseru panik, dan dengan segera menyusul Elena.
"Lo mau kemana?!" teriak Catrina, napas gadis itu mulai putus-putus. Tapi Elena tidak sekalipun mengentikan laju larinya. Tidak juga berhenti apalagi menoleh. Andrea tertinggal di belakang. Keadaan gadis itu lebih buruk. Wajahnya pucat pasi. Napasnya seperti berhenti di tenggorokan. Makan siangnya mendesak keluar dari kerongkongannya. Ia berhenti, menyandarkan tangan ke salah satu pohon. Akhirnya dia memutuskan untuk berjalan kaki. Tertatih-tatih mengikuti langkah Catrina.
Sementara itu, di depan, Elena berhenti berlari, ia sedang menatap takjub apa yang tampak di hadapannya. Catrina menyusul di sampingnya.
"Cat! Lihat di depan kita!" melihat itu, Catrina yang ingin mendamprat Elena langsung diam begitu melihat ke depan. Suara gemericik air menyapa indra pendengaran mereka berdua. Air berjatuhan dari tebing hitam dengan anggun. Di bawahnya, danau dangkal dengan air sejernih embun, menangkap ribuan air yang jatuh itu, layaknya sang ibu yang memeluk anaknya. Itu air terjun terindah yang pernah mereka lihat. Tebing itu berdiri gagah sepanjang aliran sungai, dengan tinggi sekitar lima puluh meter. Astaga, ini menakjubkan. Elena dan Catrina masih ternganga di tempat. Kesiur angin dan cicit burung membelai mereka berdua.
"Insting gue nggak pernah salah." gumam Elena. Ia terduduk, kelelahan. Sambil menikmati cipratan air terjun ke wajahnya, ia mengambil tempat di pinggir sungai. Lantas meraup setangkup air, menyapukannya ke wajahnya.
"Ini seger banget! Lo harus coba Cat!" pekik Eleba. Ia menoleh ke arah Catrina yang masih terdiam. Mencipratinya dengan sedikit air. Catrina terlonjak, "Drey! Andrea!" ia berseru panik. Baru menyadari sesuatu.
"Apa? Gue di sini." ucap sebuah suara parau di belakang. Catrina menoleh, lantas tersenyum lega. Andrea melangkah pelan ke sisinya. Lantas ambruk begitu saja ke tanah. Masih sadar, tapi dia benar-benar kelelahan. Napasnya putus-putus.
"Air... Air..." racaunya. Catrina bertindak cepat, ia dengan cepat meraih botol airnya, menyodorkannya pada Andrea yang langsung gadis itu teguk.
"Kalian cepet banget larinya. Gue ketinggalan tahu. Tega banget ninggalin temennya sendiri di hutan." keluhnya.
"Maaf. Gue tadi denger suara ini." Elena menunjuk air terjun di depannya.
"Kita harus kasih tahu teman-teman yang lain nih." ucap Catrina.
"Yaudah, ayo kita pulang."
"Bentar-bentar. Gue bawa kamera." Elena mengambil gambar air terjun itu dengan sisi yang pas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Past, Please! (COMPLETED)
Teen FictionApa yang mampu seseorang sembunyikan di masa lalu? *** Dia Elena, gadis sederhana yang mencari bahagia. Hadirnya adalah senja. Kadang datang memberi bahagia. Lalu kadang pergi membawa luka. Ada banyak yang disembunyikannya di balik lakunya yang ten...