Bab 32

29 4 4
                                    

Its time to leave a past, a memory and a love.
Just take time if you getting tired,
Its okay.
—Noah.

Happy Reading!
Hari ini aku double update^^

***

Tak terasa hari begitu cepat berlalu. Hari ini adalah hari terakhir mereka di Amsterdam.

Dan Faya memiliki ide fantastis untuk menikmati jam-jam terakhir mereka di negeri kincir angin ini. Mengikutsertakan Catrina yang tentu saja tak mau pergi kalau bukan dengan kekasihnya, Noah. Lalu Elena, beserta antek-anteknya, Regan, dan tentu saja, Delvan, kekasih gadis itu, mereka mangkir dari rombongan, lalu seperti sudah tahu seluk beluk amsterdam, mereka pergi sendiri, tanpa tourguide dan kemampuan bahasa belanda yang masih acak-acakkan.

Elena sudah berpikir bahwa ini adalah ide yang buruk, namun kemampuan merayu Faya sungguh tak bisa terelakkan. Elena dengan pasrah mengikuti skenario Faya yang kata gadis itu—sambil berjanji—bahwa perjalanan mereka akan begitu fantastis.

Mereka asal masuk bus, melakukan perjalanan dengan setengah tegang karena tak tahu tujuan mereka. Bergurau satu sama lain, mengikis kekhawatiran yang ada di benak salah satu dari mereka. Menciptakan euforia kebebasan dan adrenalin yang memuncak kala mereka tiba di daerah antah berantah di sudut kota Amsterdam.

Suasana segar dan sedikit hangat yang mereka dapati. Lembah hijau yang masih diselimuti salju-salju tipis, seperti donat yang ditaburi gula pemanis. Mereka terpana dan mematung ditempat alih-alih panik karena tak tahu ini daerah Amsterdam bagian mana.

Elena berjongkok lalu memetik setangkai tulip yang tumbuh di sana.

"Bagaimana bunga ini bisa tumbuh di musim salju?"

"Its a magic, right?" tutur Noah tak sadar apa yang diucapkannya. Sungguh, ia benar-benar terpana akan keindahan dihadapannya. Desa-desa penduduk yang masih sangat tradisional. Asap-asap dari cerobong yang terlihat bagai lukisan karya pelukis terkenal, hanya saja yang ini bersatu dengan ciptaan Tuhan. Alamnya begitu asri dan hangat. Bahkan dalam musim dingin sekalipun, seperti saat ini.

"Mau melihat apa saja yang ada di dalamnya?" tanya Regan.

Mereka yang ikut rombongan itu mengangguk mantap.

Mereka lalu menyusuri daerah pematang, bukan sawah, tapi rimbunan tulip yang tumbuh memanjang di sekitar jalan setapak. Membuat mereka serasa berjalan di surga.

Walaupun semilir angin membuat mereka sedikit bergidik kedinginan namun mereka tetap semangat menyusuri jalan setapak itu menuju desa yang mereka tuju.

Itu desa yang ramai. Berdasarkan pengamatan mereka, kemungkinan besar, sedang ada pesta di sana. Mungkin pesta merayakan berakhirnya musim dingin?

Kemeriahan pesta itu tampak benar-benar nyata, lampion yang di pasang bersama bendera-bendera kecil yang berwarna-warni. Lampu berkelip yang membuat suasana disana seperti di sebuah festival.

Orang-orang yang turun ke jalanan, saling mengaitkan lengan mereka, menarikan sebuah tarian yang sangat asing bagi Elena dan kawan-kawannya.

Orang-orang mulai memainkan alat musik dan terompet. Sungguh, Elena seperti sedang diputarkan film 80-an. Karena, mereka benar-benar antik. Gaun-gaun yang warga desa itu kenakan, seperti yang dilihatnya di film-film lawas. Lalu, alat musik yang Elena yakin akan jarang ditemukan di jaman milenial seperti sekarang.

Mereka berdiri dan tertegun sampai seorang pria yang wajahnya ramah menyapa mereka dengan bahasa setempat, yang kalau diterjemahkan seperti ini,

"Kalian pendatang baru?"

Past, Please! (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang