Mereka di Ganghwa, villa ini terlalu sepi hingga Yebin mulai memutar vinyl pada turntable. Penghangat ruangan mulai menampakkan kerjanya. Mereka melepas coat dan menggantungkan syal di belakang pintu masuk.
"Mau memilih wine denganku?" senyum kecil diwajah Yebin membuat Minkyung tersenyum.
Minkyung mengikuti langkah santai Yebin sambil menggulung kemeja biru tuanya. Ia terus memperhatikan kedua kaki Yebin.
"Lain kali jangan pakai rok lagi, ini musim dingin." Mendengar protes Minkyung, Yebin menghentikan langkahnya sambil tertawa kecil. Ia bersandar di dinding lorong dan memasang wajah geli tidak percaya melipat kedua tangannya di dada.
"Ini dibawah lutut..." Ia tertawa kecil dan menaikkan satu alisnya. Minkyung mendekat, ia menatap mata Yebin, menelusurinya.
"Tapi aku nggak suka." Ucapnya hampir berbisik tepat didepan wajah Yebin. Ia merasakan godaan itu, datang perlahan menghancurkan pertahanannya. Sejenak ia tergoda, menelusuri mata Minkyung yang selalu menjadi kesukaan Yebin. Hembusan nafas Minkyung menerpa bibirnya. Ia menelan ludah.
Dan,
Gyuri.
"Kim Minkyung, nggak." Yebin mendorong pelan tubuh Minkyung dan kembali berjalan. Minkyung menyeringai melihat sikap Yebin.
Terus, Kang Yebin. Terus lakukan itu.
Mereka menuruni anak tangga, dan sampai Yebin membuka pintu kayu di depan mereka. Ratusan botol wine tersusun di rak-rak. Dibawah cahaya lampu yang redup, dua perempuan itu sibuk memilih wine mana untuk hari ini.
Minkyung mengambil salah satu botol, "Chardonay, Yeb?" lalu Yebin menengok ke belakang dan tersenyum.
"Boleh" dan mengangguk.
"Siapa yang akan menghabiskan semua ini?" Minkyung menelusuri rak-rak Wine di ikuti Yebin di belakangnya.
"Kami sering melakukan party di sini, teman-teman kantor, teman bisnis." Terasa kalau Yebin menjaga jarak dengan Minkyung. Langkahnya lebih lambat dan santai.
Party. Sekarang ia sudah bisa berparty.
"Kami?" Minkyung berhenti dan menghadap Yebin yang berada 1 meter dibelakangnya.
"Iya, kami. Aku dan Gyuri." Jawaban Yebin membuat Minkyung menyeringai kecil. Langkahnya pasti, ia mendekati Yebin. Menyudutkannya ke rak wine yang sedikit bergoyang dan itu mengagetkannya. Minkyung mendongakkan dagu Yebin, mata mereka bertemu.
Yebin mengenali tatapan Minkyung.
Tatapan posesif itu.
"Kau sedang denganku. Menyebut namanya sekali lagi.., lihat apa yang akan ku lakukan." Suaranya dalam. Yebin bisa merasakan tangan Minkyung yang mulai membelai pipinya. Lalu turun ke leher. Nafas Yebin memburu. Dan Minkyung memegang pergelangan tangan kiri Yebin,
"Sudah waktunya mengganti perbanmu." Lalu Minkyung pergi meninggalkan Yebin.
Dibawah cahaya redup itu, Minkyung meninggalkan Yebin yang jantungnya berdebar. Ia membuatnya gelisah sekaligus senang. Ya, itu yang bisa Minkyung lakukan pada Yebin. Dan itu membuat Yebin tersiksa. Tapi sekarang Yebin tau kalau Minkyung juga merasakannya.
Rasa tersiksa.
Kembali dari ruang wine, Yebin mendapati Minkyung yang sudah menemukan dimana ia menyimpan gelas-gelas. Dua gelas wine sudah siap diatas meja pantry.
"Aku tadi mengambil ini dari tasmu." sambil menunjukkan sekantung obat dan perban.
Harusnya ia marah, seseorang yang sudah 6 tahun tidak ia temui telah menyentuh tasnya tanpa izin. Tapi tidak, Yebin merasa biasa saja, terasa seperti yang lalu-lalu, seolah kemarin tak terjadi apapun. Ia seperti sudah selalu di sana, di kesehariannya.
Minkyung memberikan gestur pada Yebin untuk duduk di sofa. Lalu gadis itu berlutut di depannya, memegang tangan kiri Yebin yang tertutup perban. Pelan, ia membuka perban itu. Membubuhkan obat, Yebin sedikit tersentak memejamkan mata, lukanya masih terasa sakit. Dengan lembut Minkyung membelai tangan Yebin, lalu meniup lukanya.
"Tahan ya.." ujarnya lembut. Yebin mengangguk lemah. Tak lama, Minkyung mulai melilitkan perban ke tangan kiri Yebin.
"Sudah selesai." Ia memandang wajah Yebin dengan senyum. Yebin tersenyum melihat ekspresi wajahnya yang begitu menenangkan.
Namun,
Tatapan matanya mulai sayu. Ia menatap mata Yebin dengan penuh kesedihan. Senyumnya memudar.
Ia menunduk dan menjatuhkan kepalanya ke pangkuan Yebin. Lalu, menangis.
Yebin hanya terdiam. Perempuan itu menangis. Di pangkuannya. Perlahan tangannya menyentuh punggung Minkyung, pelan, ia menepuk-nepuk punggungnya.
Di tengah tangisnya, Minkyung mencoba berbicara,"A-aku m.. minta.. ma..maaf."
"K..ka.kalau saja aku.. l..lebih berani..."
Ucapannya menyakiti Yebin, perempuan didepannya itu ternyata menjalani sisa hidup dengan penyesalan. Dengan kekecawaan pada dirinya sendiri.
Luka itu tidak hanya ada didalam diri Yebin. Jelas, Minkyung juga terluka.
Wajah merah, mata sembab, Minkyung mendongakkan kepalanya dan menatap Yebin.
"Setiap kali kau menyebut nama Gyuri. Aku merasa seperti pecundang. " matanya berkaca. Yebin menatap Minkyung dengan penuh arti.
Minkyung masih mencoba meneruskan ucapannya, " Gyuri. Ia seseorang yang punya situasi yang sama denganku. Dan itu membuatku marah." Minkyung kembali menangis.
"Kenapa bukan aku yang ada diposisinya?! Kenapa aku tidak punya keberanian sepertinya?! Kenapa aku harus bersembunyi?!" Dan.. Yebin menangis mendengar ucapan Minkyung. Ia tak menyangka selama ini Minkyung hidup dalam siksaan seperti itu.
"A.. Aku.." Ujarnya terbata.
"A..Aku tidak pernah ingin meninggalkanmu."
"Seharusnya aku bisa lebih berani.."
Yebin meminta Minkyung untuk berdiri dan mereka berpelukan. Sama-sama menangis dan menyesali masa lalu. Minkyung benar-benar memeluk Yebin erat. Dan Yebin, ia menangis karena terpukul.
Minkyung yang ia kenal bukanlah seseorang yang akan menangis didepan Yebin. Sekalipun ia ingin menangis, Minkyung pasti mencoba untuk tetap tegar dan menahannya.
Semalam, ia masih menjadi Kim RoA Tapi pertahanannya runtuh, ia telah terlalu lama memendam semuanya sendiri. Lalu Yebin bisa melihat warnanya.
"Pasti semuanya berat, iya kan? Kim Minkyung, kau telah melakukan yang terbaik." Ucapan Yebin membuat Minkyung semakin tersentuh.
Yebin menyudahi pelukan mereka. Medongakkan wajah untuk menatap Minkyung yang lebih tinggi.
Entah setan mana yang merasukinya,
"Jangan takut lagi, aku sudah di sini Kim Minkyung. "
Dan bibir mereka bertemu, air mata Minkyung masih mengalir dan Yebin bisa merasakannya diantara ciuman mereka.
Minkyung menarik wajah Yebin agar ia bisa menciumnya lebih dalam. Mereka melepas rindu. Rindu yang tidak tersampaikan 6 tahun lamanya. Rindu yang selalu ingin mereka teriakkan tapi dipaksa bungkam.
Mereka memejamkan mata, merasakan setiap detik, setiap gerakan bibir satu sama lain. Seolah tak mau dipisahkan kembali.
"Jangan.. jangan pergi lagi.." bisik Yebin ditengah ciuman mereka. Minkyung membalasnya dengan panggutan hangat. Memeluk Yebin sekali lagi hingga waktu yang sangat lama.
"Aku sangat merindukanmu.." Bibir Minkyung bergetar mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang 6 tahun lamanya tertahan. Ia memeluk tubuh Yebin, mengistirahatkan dagunya di pundak Yebin. Yebin merasakan hembusan nafas Minkyung tepat di lehernya.
"Aku..." ia membubuhkan kecupan dileher Yebin.
"Sangat...." ia membubuhkan kecupan lagi dileher Yebin..
"Merindukanmu.." lagi.. bibirnya tak pernah berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
A | Rore • Minkyebin
FanfictionHarta, Tahta, RoA - Sequel dari Superior You Baca: https://my.w.tt/vcFoJ7G3BS
