Rembulan malam tampak kalah terang dengan gemerlapnya kota, lampu-lampu jalan, lampu-lampu pada gedung-gedung tinggi, serta rumah-rumah.
Berbeda dengan ruang inap yang sudah minim akan pencahayaan.
Hanya ada dua orang di dalamnya.
Jennie terlihat duduk menemani di sebelah kakaknya yang masih terpejam. Sudah dua bulan Jisoo masih saja tidak sadarkan diri. Luka yang ada diperutnya sudah hampir sembuh, berbeda dengan luka yang ada diotaknya yang memang memakan waktu cukup lama.
Dokter spesialis yang sudah menangani Jisoo selama setahun akhir ini tidak bisa memberi keputusan apa-apa. Ia hanya berharap keajaiban Tuhan yang mengantarkan Jisoo pada kesembuhan.
Hidup Jisoo masih diambang antara hidup dan mati.
Malam itu waktu sudah menunjuk pukul dua belas, Jennie yang baru saja pulang dari kerjanya selalu datang untuk menemani kakaknya.
Ia tak pernah lelah menunggu Jisoo untuk bangun. Meskipun kehidupannya yang baru ini terbilang melelahkan baginya.
"Kak," Panggil Jennie, "Ternyata jadi Kak Jisoo susah juga ya,"
Perempuan itu mengenggam jemari kakaknya.
"Selama ini aku terlalu ngeremehin pekerjaan kakak, menggampangkan segalanya, bahkan nggak menghargai apa yang udah Kak Jisoo usahain buat aku," Jennie menitikkan air matanya, "Padahal semua itu butuh perjuangan, butuh kerja keras, tapi aku segampang itu menganggap semuanya sampah,"
"Sekarang aku ngerasain gimana susahnya cari uang, gimana susahnya nahan emosi, bahkan selalu sabar sama semua kondisi,"
"Jujur aku pingin nyerah kak," Katanya, "Tapi bahkan semua yang aku lakuin masih nggak ada apa-apanya sama yang Kak Jisoo lakukan buat aku, buat keluarga kita, dan dengan kondisi kesehatan kakak yang kaya gini,"
Jennie menelungkupkan wajahnya.
Menangis dihadapan kakaknya yang masih terpejam. Ia sangat berharap dikeadaan seperti ini kakaknya ada untuknya, mengusap lembut rambutnya dan mengatakan semua akan baik-baik saja.
Namun nyatanya semua itu hanya ada diangannya. Kakaknya itu masih tidak bisa merespon apa-apa.
"Kak," Panggil Jennie dengan mata sembabnya, "Bangun dong, aku kangen,"
"Kita pulang, kita perbaikin semuanya dari awal," Suaranya bergetar, "Kita kumpul lagi sama-sama, kita bikin keluarga kita bahagia kaya mama dulu bilang,"
"Kak, bangun lah kak,"
"Aku janji aku bakal nurutin semua omongan kakak,"
"Kak Jis, buka mata kakak, lihat ada Jennie disini, adik Kak Jisoo, orang yang pingin kakak peluk,"
Suaranya perlahan menghilang, terganti oleh suara tangisnya yang memecah keheningan malam.
Apapun yang dilontarkan Jennie malam itu benar-benar dari hatinya.
Ia benar-benar rindu kakaknya.
Penyesalan terbesar dalam hidupnya sudah menyia-nyiakan kebaikan kakaknya, sudah mengabaikan kasih sayang yang selama ini tak pernah dilihat oleh Jennie.
Apalah arti nasi sudah menjadi bubur. Semuanya sudah terjadi. Hanya akan ada tangisan dan sesal yang menemani hari-harinya, membuat sesak ruang didadanya.
Jisoo. Bangunlah. Banyak yang rindu akan kehadiranmu.
Senyum dan tawamu adalah energi bagi orang lain, terutama orang disekelilingmu, orang-orang tersayangmu.
Akan banyak orang yang menyambut bahagia ketika kamu bangun.
Drrrttttt drrrtttt.
Ponsel disakunya bergetar.
"Hallo?"
"Gue kesana sekarang," Perempuan itu segera mengambil ranselnya dan pergi keluar.
🖤🖤🖤🖤
Hehehe penasaran kan lu?
KAMU SEDANG MEMBACA
RESET [BLACKPINK]
FanfictionSibling Season 2 - Titik terendah bukanlah akhir segalanya. ©️2020 Souliteee