Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat.
Kini waktu sudah menunjuk hampir satu malam. Dua orang perempuan dengan rambut terurai terlihat sedang terduduk di sebuah lantai. Suasana sepi dan hening itu tak berpenghuni orang, kecuali security yang memang bertugas menjaga.
Rumah duka.
Jisoo dan Jennie sedang berada di depan rak penyimpanan abu milik ibundanya. Sudah hampir tiga jam mereka ada disana.
Dihabiskannya waktu itu untuk bercerita ke ibu mereka, memohon meminta ampun atas semua pertengkaran di keluarga mereka, tumpah seluruh tangis mereka disaksikan mendiang ibunya dari atas sana.
"Gue beneran merasa bersalah kak,"
"Sama,"
Keduanya hanya menatap lurus ke depan, saling mengungkap perasaan masing-masing tanpa memandang.
"Kasian mama selama ini, liat kita bertengkar terus dari atas sana,"
"Gue emang paling nggak bisa diandalkan,"
"Sama, gue juga,"
"Padahal gue sempet ketemu sama mama,"
Jennie seketika menoleh.
"Gue mau ikut mama, tapi nggak dibolehin," Kata Jisoo, "Gue disuruh pulang ke rumah,"
Jennie paham. Yang dimaksud Jisoo adalah semasa ia koma dulu.
"Gue sempet cerita banyak waktu itu ke mama," Jisoo melanjutkan, "Lo tau sepanjang apapun gue cerita, cuma satu jawaban mama,"
"Apa?"
"Lupain semuanya,"
Jennie hampir tidak percaya. Namun itu kenyataannya. Ketika Jisoo kembali, ia benar-benar lupa akan segalanya. Tapi satu yang tidak pernah ia lupakan, mamanya.
"Gue pingin banget sebenernya ikut mama,"
"Kak,"
Jisoo menoleh, lantas tersenyum.
"Gue bener-bener hopeless waktu itu, gue uda nggak sanggup buat ketemu kalian,"
"Kenapa?"
"Ya ngerasa bersalah aja,"
"Tapi kan semua ini bukan salah lo,"
"Janji gue ke mama dulu nggak bisa gue tepatin,"
"Ya tapi kan tetep bukan salah Kak Jisoo,"
"Trus salah siapa? Salah lo," Ucap Jisoo.
Jennie menunduk, merasa benar apa yang diucapkan kakaknya itu.
"Dasar," Jisoo tertawa kecil melihat adiknya itu mendadak murung.
"Maaf kak,"
"Lama-lama kaya Rosie, minta maaf mulu,"
Jennie masih menunduk diam memandangi jemarinya. Sementara Jisoo disebelahnya justru memandangi adiknya.
"Jen," Panggil Jisoo, "Udah ah nggak usah berlarut-larut,"
Jennie menoleh, ia melihat kakaknya itu tersenyum padanya.
"Yang lalu biarin berlalu, kita mulai lembaran baru," Kata Jisoo, "Ada yang bilang gitu ke gue tadi, tapi sih kayanya hoax,"
Jennie mendadak tersenyum. Ia merasa tersendir.
"Lagian kalo emang udah mau buka lembaran baru ya buang jauh-jauh masa lalu," Kata Jisoo, "Hapus rasa penyesalan yang berlebihan, biar nggak ngeganggu, hidup kita harus tetap berjalan Jen,"
Senyum Jennie semakin melebar, ia semakin yakin dengan tujuan hidupnya kali ini, beban yang ada pada dirinya kini seakan sudah pergi melayang. Sudah tidak ada lagi kesedihan yang merundung dirinya.
Jennie mengangguk.
"Jennie Jennie, lo tuh emang nggak pernah bisa boong," Ucap Jisoo kembali bersandar pada rak kaca tempat guci-guci abu disimpan.
Jennie mengernyit, ia tidak paham.
"Jiwa lo sama Rose tuh sebenernya sama," Lanjutnya, "Sama-sama mellow, orangnya sensitif, trus cengeng,"
"Cuma bedanya kalo lo tuh lebih bisa tegar daripada Rosie," Jisoo tersenyum, ia menjelaskan apa yang ia pahami tentang keluarganya, "Lo paling bisa pura-pura nutupin luka dan kesedihan lo,"
"Sama dong," Sahut Jennie.
Jisoo menoleh.
"Kan Kak Jisoo gitu juga," Kata Jennie
"Eh berarti lo tuh gambaran dari gue sama Rosie, iya nggak sih?"
"Justru Kak Jisoo tuh yang paling pinter boong, semuanya aja diboongin, padahal yang rugi juga diri sendiri,"
"Itulah sebuah pengorbanan," Jisoo berlagak sebagai pahlawan.
"Ck, tapi gue nggak suka,"
"Bukan gitu Jen, sebenernya gue juga gedeg, tapi mau gimana lagi, kaya udah naluri gue aja jadi semuanya gue rasain,"
"Apa sih kak susahnya bilang capek, bilang gue juga butuh bahagia, bilang kalo kita semua itu ngerepotin, bilang kalo kita itu nyusahin," Tiba-tiba Jennie sedikit emosional, "Kalo kaya gitu kan kita jadi ngerti, kita jadi paham kondisi kakak gimana,"
Lagi-lagi Jisoo hanya meringis kecil, "Nggak semudah itu Jen,"
Jennie terlihat manyun. Ia tidak lagi menanggapi jawaban kakaknya itu.
"Ngeliat lo kaya gini tuh bener-bener flashback jaman dulu Jen," Kata Jisoo, "Serius deh mirip banget lo tuh kalo lagi ngambek pasti manyun kaya gini, lo nggak bakal banyak suara kaya Rose, tapi tiba-tiba manyun, tiba-tiba mojok trus nangis,"
"Yang penting nggak tiba-tiba ngilang dari rumah aja, trus pulang-pulang matanya sembab,"
"Eh emang siapa?"
"Halah sosoan nggak ngerti,"
"Itu kena debu Jen, kelilipan,"
"Debu seneng banget masuk mata lo kak, sampe-sampe setiap pulang ke rumah mata lo kelilipan mulu,"
"Ck, dasar," Jisoo menyiku pelan lengan adiknya.
Sudah berjam-jam mereka menghabiskan waktu berdua di depan abu mendiang ibundanya. Mereka bagaikan sedang bercerita kepada ibunya tentang apa yang sudah mereka lalui selama ini, bercerita masa kecil, masa-masa kelam, masa-masa bahagia, semuanya mereka ceritakan.
Tawa dan haru berhasil menyelimuti perasaan keduanya.
Kini tak ada lagi kebohongan serta rasa sakit yang dipendam keduanya, semuanya sudah menjadi bagian kisah di masa lalu mereka. Bagaikan goncangan gempa bumi yang memporak porandakan sebuah bangunan, namun bangunan itu kini sudah kembali berpondasi kokoh, sudah kembali dibangun dan siap untuk kembali didekorasi dengan gambar-gambar indah. Sama seperti kehidupan mereka yang akan mereka ukir dengan indah.
Tak akan ada lagi tangis.
🖤🖤🖤🖤
Wahhh akhirnya gesss
KAMU SEDANG MEMBACA
RESET [BLACKPINK]
FanfictionSibling Season 2 - Titik terendah bukanlah akhir segalanya. ©️2020 Souliteee