2# Jejak Malaikat

110 6 0
                                    

“Mas Aryaaa, lihat tuh Mas Aji ga mau ngalah. Yas kan pengen nonton.” Yasha merajuk, mengadu pada abang tertuanya.

“Apaan sih Yas ah, ganggu aja. Berisik tau!!” Setengah sadar Arya mengomel, Yasha tuntas sudah mengganggu mimpi indahnya siang itu. Namun sedongkol apa pun dia terhadap adik perempuan satu-satunya ini, Arya tetap memaksakan diri, bangkit dari tidurnya, menuruni anak tangga. 

“Ajiiii, gantian dong.” Teriak Arya.

“Yas aduan banget sih, dikit-dikit Mas Arya.” Aji mendengus. Ia melangkahkan kaki keluar rumah, memilih untuk bermain bersama teman-temannya dibanding harus berdebat dengan Arya. 

Yasha tersenyum penuh kemenangan.

Arya berarti besar untuk Yasha. Dari ketiga kakak laki-lakinya, Arya adalah sosok pelindung, seorang kakak laki-laki yang akan berada di garda terdepan ketika adik perempuannya merengek, karena apa pun. 

Usia Yasha delapan tahun kala itu. Usia di mana ia belum memahami tentang laki-laki, yang ia tahu dan yakini laki-laki paling tampan dalam hidupnya adalah ayah dan Mas Arya. Arya berusia 24 tahun, usia yang cukup matang untuk digandrungi banyak perempuan. 

Arya mewakili sosok sempurna secara fisik seorang laki-laki. Perawakannya tinggi, rambut ikalnya hitam legam. Biasanya ia akan membiarkan rambutnya terurai saat basah. Namun jika cuaca panas, rambut ikalnya akan diikat, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Arya berkulit putih, wajahnya mulus tanpa cela. Hidungnya mancung, sorot matanya tajam. Satu kelemahannya, ia adalah petarung yang terlalu hebat. Catatan perjalanan bertarungnya mungkin sudah membuat orang bosan. Tapi sekali lagi, bagi Yasha, Arya tetaplah malaikat, tempat kedua yang akan ia cari untuk berlindung –setelah ayah.

Bagi Yasha, ayah, Mas Arya, dan kedua kakaknya yang lain –Tri dan Aji, adalah benteng-benteng kokoh yang mampu melindunginya dari serangan anak nakal. Dia akan mudah mengatakan “Awas kamu, nanti aku bilangin ayah dan abang-abangku.” Sontaklah dengan pernyataan itu, tak pernah ada anak laki-laki yang mau berurusan dengannya.

Sayangnya, peran sang malaikat pelindung harus terhenti.

#Kamis, 20 Mei 2004

Pagi ini sedikit berbeda. Ada gurat kekhawatiran yang tergambar jelas di raut wajah Ibu. Terang saja, sudah tujuh hari Arya tidak pulang ke rumah. Tanpa kabar. Ibu mengerahkan Tri dan Aji untuk menanyakan keberadaan Arya kepada teman-temannya, namun masih tak membuahkan hasil. Bagaimanapun seringnya Arya tidak pulang ke rumah, kali ini rasa khawatir Ibu lebih besar dari biasanya. Rasanya setiap Ibu memiliki naluri yang melampaui logika mana pun, tidak bisa dibantah.

Meskipun Arya menghilang, semuanya masih berusaha terlihat baik-baik saja. Ibu memasak di dapur, ayah membaca koran –tak mau terlalu ambil pusing dengan kelakuan anak laki-lakinya, sedang Tri dan Aji pergi keluar rumah sambil sesekali mencari Arya. Bagaimana dengan Yasha? Dia juga tak begitu memikirkan, kakaknya yang satu itu memang terkadang misterius. Semuanya masih terlihat baik-baik saja hingga sore itu datang. Sore yang terlihat amat kelabu. 

Rumah mendadak menjadi sangat ramai. Yasha tidak mengerti, yang ia tahu orang pertama yang sampai di rumahnya, berhasil memicu tangis histeris ibu. Yasha menghampiri ayah, masih tidak mengerti. Ayah yang termenung di dalam kamar tiba-tiba memeluknya.

“Mas Arya pergi.” Bisik Ayah tertahan. Yasha tahu, Mas Arya pergi, bukankah memang satu minggu ini ia belum pulang? Pikirannya masih meraba apa yang dimaksud ayah.

Rumah semakin ramai oleh tetangga berpakaian serba hitam. Seolah ada yang mereka tunggu –kepastian. 

Tri yang pergi untuk memastikan sesuatu, tiba di rumah satu jam kemudian. Ekspresi wajahnya menyiratkan bahwa kebenaran itu di depan mata. Ibu semakin terisak, Aji mengurung diri di kamar, mungkin teringat pertengkarannya dengan Arya tempo lalu. Hanya Yasha, yang masih mencari jawaban. 

Yas kebingungan di tengah isak tangis banyak orang. Melarikan diri. Ia berdiri di ambang pintu menyaksikan pemandangan yang tak biasa. Gunung yang terlihat indah bila disaksikan di halaman rumahnya kini penuh gemerlap lampu yang bergerak, suara sirine ambulance dan mobil polisi terdengar samar saling bersahutan. Oh, hei ternyata ada rute yang dapat dilalui kendaraan menuju puncak gunung tersebut. Tapi, Yasha harus menunda dulu pengetahuan barunya tentang itu. Ia bertanya-tanya apakah semua hal yang ia saksikan sore ini berkaitan satu sama lain dengan hilangnya Mas Arya?

Sementara ia mencoba menerka, orang-orang tengah sibuk. Menyiapkan pemakaman.

Arya ditemukan di bawah puncak Gunung Ratu dalam keadaan tak bernyawa. Orang yang pertama kali menemukannya adalah seorang kakek tua dan cucu perempuannya yang sedang mencari kayu bakar. Kondisinya mengenaskan, tidak seperti korban pendaki pada umumnya yang mungkin dehidrasi atau mengalami kecelakaan, kondisi Arya jauh dari kata normal, menimbulkan banyak kejanggalan. 

Tubuh Arya ditemukan tergantung dengan seutas tali tambang pada sebuah pohon. Terdapat tas kecil tergeletak dekat pohon itu, di dalamnya terdapat secarik kertas bertuliskan “Jaga Yasha” dan plastik makanan yang masih menyisakan isinya. Setelah polisi menyisir tempat kejadian perkara, tak jauh dari pohon di mana Arya tergantung ditemukan pohon lain, ukurannya lebih kecil. Terdapat sayatan pisau pada pohon tersebut. Rangkaian kata, “Jodo, Pati, Bagja, Cilaka” sebuah istilah dari bahasa Sunda yang berarti “Jodoh, Mati, Kebahagiaan, Kemalangan.” 

Tri yang sempat melihat TKP tak kuasa melihat tubuh kakaknya yang terbujur kaku. Tubuh Arya dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan autopsi, sedangkan para saksi mata dibawa ke kantor untuk dimintai keterangan. Setelah dilakukan autopsi, Arya dipastikan menjadi korban pembunuhan tak manusiawi. Tubuhnya penuh lebam akibat pukulan benda tumpul. Serpihan gigi dan bola mata yang ditemukan di sekitar TKP sudah dikonfirmasi merupakan bagian tubuh Arya. Arya, seorang malaikat pelindung Yasha, tuntas menunaikan tugasnya di hari itu. Tak akan ada lagi terdengar omelan Arya, tak akan ada lagi adu mulut Aji bersama Arya. Tak akan ada lagi Arya, kecuali kenangan yang membersamainya selama 24 tahun ini.

Demi melihat keranda yang melewati pekarangan rumahnya untuk mengantarkan Arya ke tempat peristirahatan terakhirnya, demi melihat barang bukti yang tak sengaja digeletakkan di dapur rumah Yasha, demi tangisan yang mulai surut dari Ibu disusul dengan raut wajah kosong penuh kehilangan, akhirnya Yasha paham bahwa Arya kini memang benar-benar pergi. Dirindukan bumi, dipeluk sang Pencipta. Arya pergi diiringi rintik hujan.

Betapa kematian memang tak mengenal usia, tak mengenal tempat, bahkan tak peduli pada perasaan orang-orang yang ditinggalkannya. Betapa kehilangan bisa dirasakan siapa saja. Di usianya yang bahkan belum memahami banyak hal, Yasha harus belajar bagaimana merelakan sesuatu yang berharga kembali pada pemiliknya. Demi melihat wajah ibu yang kembali tersenyum dan mengatakan “Tak apa, kakakmu sudah syahid, InsyaAllah,” Yasha belajar sesuatu –bahwa pembalasan paling arif adalah dengan doa, karena tak ada getar yang paling hebat selain bergetarnya langit untuk membuka pintu Arasy, pun tak ada sebaik-baik pengadilan selain pengadilan milik Allah.

LANGKAH KAKI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang