Pada akhirnya, aku tidak bisa benar-benar percaya Dito. Benar kata orang, LDR adalah untuk manusia-manusia kuat. Sedangkan aku? Ternyata tidak sekuat itu. Aku menginginkan kehadirannya lebih dari siapa pun. Meski tidak dalam bentuk fisik, kabar darinya adalah satu hal yang selalu aku nantikan.
Kepercayaan bagiku adalah di saat aku tidak tahu pilihanku benar atau salah, tapi aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Tidak lebih dan juga tidak kurang. Jika akhirnya aku kecewa, bukan karena aku salah pilih tapi mungkin karena aku terlalu berlebih menentukan pilihan. Berharap lebih misalnya.
Seharusnya aku belajar dari cerita-cerita yang pernah aku dengar. Awalnya, aku tak ingin terlalu ambil pusing dengan kehidupan orang lain, aku rasa hanya ada 0,5% kemungkinan kisah cinta LDR-ku akan bernasib sama dengan jajaran orang patah hati di luar sana. Aku, cukup percaya diri bahwa aku dan Dito mampu.
Dulu, jauh sebelum aku mengenal Dito, aku tahu bagaimana beratnya LDR dari sahabatku, Kia. Mulai dari yang LDR hanya beda fakultas doang sampai LDR beda daerah dia sudah khatam, hasilnya? Jangan tanya, sama-sama nihil. Aku berpikir mungkin dia yang kurang beruntung, terperangkap pada laki-laki yang salah. Atau, dia yang selalu menaruh harapan lebih. Tapi kini aku mengerti LDR memang diperuntukkan bagi pasangan yang tingkat percayanya sudah di atas rata-rata. Ingat ya, “pasangan”, bukan hanya laki-lakinya saja, bukan hanya perempuannya saja.
Aku ingin terlebih dulu memulai cerita tentang Kia. Aku rasa kamu bisa mengambil pelajaran. Kia memiliki hubungan sejak SMA dengan pacarnya. Katanya, mereka berjuang bersama. Itu yang selalu dia banggakan hingga aku kadang muak mendengarnya. Takdir menuntun mereka pada universitas yang sama meskipun di jurusan berbeda. Pada semester-semester pertama, mereka masih kelihatan jalan berdua, kemana-mana selalu bersama. Kia ini cewek manja yang tidak berani pergi jauh jika tidak ditemani. Bahagia melihat mereka. Sampai boooommm…. Negara api menyerang. Kesibukan tugas dan kegiatan masing-masing membuat mereka tidak lagi terlihat bersama. Tapi Kia ini setia, dia terlalu percaya dan terlalu penurut.
Kia hanya berkecimpung di sedikit kegiatan kampus, padahal aku tahu dia menyukai kegiatan-kegiatan itu, ia bilang “Aku ga dibolehin ikut banyak organisasi”. Ia ingin sekali mengikuti lembaga dakwah Islam di fakultasnya, tapi ia bilang “Aku minder, aku kan pacaran.”, aku nyeletuk saja bilang “Ya udah, putusin aja.” Bagaimana reaksinya? Dia hanya diam tak menggubris, seolah pikirannya sibuk mencerna saranku yang sebenarnya asal saja. Selain itu, ia juga sangat membatasi komunikasi dengan laki-laki. Dia benar-benar berusaha setia, karena dia percaya kalau laki-lakinya yang ada di fakultas lain itu amat setia, ia tidak ingin mengecewakannya.
Kau tahu tidak bagaimana akhir dari kisah cinta yang selalu Kiaku ini banggakan? Kandas, dengan amat sangat menyakitkan, -menurutku, meskipun katanya “Aku gak apa-apa”. Hoo terlihat sangat bullshit bukan? Laki-lakinya ini menemukan perempuan lain, yang lebih baik- versinya. Entah, aku tak bisa berkomentar apa-apa. Aku tahu, perempuan yang lebih baik itu sepenuhnya tak salah apa-apa. Perasaan jatuh cintanya tentu tidak salah, cinta adalah fitrah, Siapa Kia dan siapa aku berani menghakimi perasaan cinta seseorang? Laki-lakinya juga tidak salah, siapa Kia sampai berani menyalahkan perasaan yang berubah? Hemm Kia pacarnya sih, tapi hanya sebatas pacar, laki-laki itu bukan milik Kia. Tak ada yang bisa disalahkan, mungkin hanya momentum mereka jatuh cinta, bersamaan dengan menghancurkan harapan dan dongeng yang ingin dirangkai oleh Kia.
Setelah satu tahun lebih Kia berusaha untuk move on, ia bertemu laki-laki lain. Mereka dipisah jarak. Seperti biasa, Kia dengan polosnya, amat percaya bahwa “sepertinya ini akan menjadi laki-laki terakhirku.” Ia yakin karena laki-laki ini memberi harapan lebih besar, seolah sudah punya rencana untuk masa depannya bersama, menempuh pendidikan pascasarjana bersama. Ahh terlihat indah. Namun, lagi-lagi kandas. Karena?? Tidak setragis masa lalunya, mereka berpisah lebih karena prinsip. Tapi, yang ingin aku tekankan pada cerita Kia kali ini adalah, LDR itu harus berani berkorban hati lebih besar karena tidak bisa bertemu setiap saat diinginkan, belum lagi dengan janji-janji yang seringkali batal karena kesibukan. Pasangan yang LDR harus siap berkali-kali dikecewakan.
Saat melihat temanku seperti itu, aku tak terpikir akan bertemu Dito dan harus menjalankan LDR pula. Ahh sial aku pada akhirnya merasakan apa yang Kia rasakan. Awalnya baik-baik saja. Yaaa barangkali setiap permulaan akan selalu baik-baik saja. Kita bertukar kabar, chat, telepon, bertemu sebentar kalau sempat, bahkan sampai hari akhir yang tak pernah kuharapkan pun aku masih merasa kami baik-baik saja. Apa hanya aku yang merasa? Saat itu, dua kehidupan berakhir dalam hitungan jam pada hari yang sama. Hari itu aku sedang amat bersedih karena pekerjaan, dan seharusnya aku menumpahkan isi hatiku pada Dito. Tapi ternyata di saat yang sama ia malah mengundurkan diri sebagai sandaranku lagi.
Seharusnya memang aku tak berharap lebih, mungkin ini sedikit peringatan Allah bahwa aku terlalu berharap pada ciptaan-Nya. Lagi-lagi pada akhirnya aku melakukan hal yang sama seperti Kia, mengatakan aku baik-baik saja meski sebenarnya hanya berusaha baik-baik saja.
Cerita Kia dan aku adalah tentang perempuan yang amat percaya, yang amat menaruh harapan terlalu dalam pada laki-laki yang mereka cintai. Sayangnya, laki-laki itu tak memiliki kepercayaan, juga merusak kepercayaan. Ah aku percaya ini hanya kisah kami yang kebetulan sama. Kalian yang LDR jangan sampai merasakannya, jika kalian sudah sejauh ini, maka pertahankanlah semampu kalian. Namun, saranku, tak ada yang lebih indah dibanding berharap pada sang maha membolak-balikan hati. LDR akan lebih mantap dijalani hanya jika ada ikatan suci yang menyertakan pemilik hati –Akad. Badai dan ombaknya mungkin sama, tapi mana yang akan kamu pilih perahu dengan sampan, atau bahtera lengkap dengan nahkoda?
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGKAH KAKI
Short StoryLangkah kakiku adalah langkah kaki yang bertelanjang, menginjak segala sesuatu yang dihamparkan tanah tanpa terkecuali. Langkah kakiku menapaki ruang yang tak berbatas, memasuki ribuan lorong waktu. Langkah kakiku menghasilkan berbagai kisah yang pa...