Bagiku, berbicara tentang anak berarti berbicara tentang masa depan. Aku, seperti ditakdirkan berada di sekitar mereka. Sedikit menarik ingatan pada beberapa waktu ke belakang, aku punya pengalaman yang mungkin dapat menginspirasi siapa pun yang sedang atau mungkin masih takut untuk bermimpi. Sejak tahun 2017 lalu, aku membulatkan tekad untuk bersentuhan langsung dengan remaja usia SMA. Tekad tersebut aku implementasikan pada skripsiku yang menjadikan anak-anak remaja sebagai objeknya.
Kenapa harus remaja? Perkembangan diri mereka sangat bergantung pada lingkungan di sekitarnya. Artinya, semua orang dewasa, termasuk aku, memiliki andil besar dalam membentuk karakter mereka. Menurutku, adalah hal penting untuk mampu mengenali perkembangan remaja baik secara fisik maupun mental karena usia mereka adalah usia pencarian jati diri yang perlu pendampingan dari role model yang baik. Saat itu aku menemukan temuan di media sosial yang sedikit banyaknya cukup mengusikku meskipun aku tidak mengenali siapa mereka. Kita mungkin sudah tidak asing dengan medial sosial facebook, Instagram, twitter dan lain sebagainya. Kita juga sudah tidak asing dengan fitur status updates di mana penggunanya bisa menumpahkan isi hati dan kepalanya langsung tanpa filter dari siapa pun kecuali dirinya sendiri.
Status updates memungkinkan penggunanya untuk berbagi pikiran, perasaan, dan kegiatan dengan teman-teman yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan like atau komentar. Adanya fitur status updates membuat remaja memperoleh pengalaman baru dalam mengekspresikan beragam perasaannya melalui dunia virtual. Semakin mereka terlibat di dalam fitur tersebut, baik membaca kiriman status updates orang lain maupun mengirim status updates pribadi, maka semakin mereka mengikuti tren aktivitas sosial serupa yang dijalankan pengguna lain di media sosial.
Skripsiku yang berjudul “Pengaruh Penggunaan Media Sosial terhadap Perilaku Status Updates Remaja di Kota Bandung” memberikan hasil yang menurutku sudah cukup menjadi acuan untuk mengevaluasi diri, entah bagi diri remaja, orang tua, atau bagi para influencer yang tindak tanduknya diperhatikan oleh khalayak ramai. Secara garis besar, hasil skripsiku menunjukan bahwa penggunaan media sosial seseorang memiliki pengaruh terhadap perilaku remaja dalam menggunakan fitur status updates. Tutur bahasa maupun konten yang mereka sampaikan di media sosial sedikit banyaknya adalah hasil meniru dari role model pilihannya.
Siapa yang seharusnya mampu menjadi role model bagi mereka? Tentu seharusnya adalah orang tua, keluarga, maupun guru. Namun bagaimana dengan kenyataannya? Di media sosial, justru remaja cukup menjaga jarak dengan keluarganya, ia lebih memilih memiliki ikatan dengan teman sebaya atau influencer yang berperan sebagai tokoh idolanya. Maka dari itu, selain perlu adanya sinergitas antara pihak sekolah dan orang tua untuk mengontrol perilaku remaja di media sosial, salah satu cara yang paling bijak untuk dapat mengenalkan konten-konten positif di media sosial adalah dengan memberikan contoh yang baik terhadap mereka terlepas kita berperan sebagai siapa.
Cukup sampai di situ. Yang ingin aku ceritakan pada bagian ini adalah proses ketika aku mencoba mengenal kembali anak-anak. Awalnya aku takut. Remaja sekarang ini cukup menakutkan. Mereka sangat aktif dan reaktif, aku takut tak bisa mengatasi mereka ketika sedang melaksanakan penelitian itu. Tapi kau tahu? Aku justru ketagihan. Terkadang, aku memang dibuat kesal, tapi bagaimanapun mereka tetaplah anak-anak yang menyenangkan. Terlihat “nakal” bukan berarti mereka buruk, mereka hanya unik, hanya ingin mendapat perhatian.
Satu waktu, di salah satu sekolah swasta yang menurutku fasilitasnya belum memadai, aku menemukan satu anak laki-laki. Dia, cerewetnya bukan main. Satu jam pelajaran, ia habiskan untuk dirinya sendiri. Ia bercerita ingin melanjutkan kuliah namun terkendala masalah ekonomi. Ia saat itu bahkan bertanya bagaimana caranya bisa yakin dan tidak takut gagal. Dia bertanya padaku, pada seseorang yang tidak tahu skripsinya akan berhasil atau tidak, pada seseorang yang memiliki banyak ketakutan dalam hidupnya. Lantas, bagaimana aku bisa menjawab?
Aku terdiam cukup lama. Memainkan bolpoin yang ada di genggamanku. Dua puluh anak di kelas itu bergeming, mungkin pertanyaan mereka sama, dan mereka menantikan jawaban. Aku memberanikan diri.
“Jangan pernah kalah sama yang namanya rasa takut. Dicoba aja dulu, gimana mungkin kamu tahu akan gagal kalau mencoba aja kamu gak berani. Kita tidak pernah tahu batas mungkin dan ketidakmungkinan tentang sebuah mimpi, berdoa saja dulu, ikhtiarkan saja dulu, bukankah Allah akan memberi yang terbaik? Aku, ada di sini, juga sedang merasa takut, takut mungkin saja kalian isi pertanyaanku dengan asal-asalan dan kemudian aku harus mengulang, mungkin aja skripsiku akan gagal. Tapi, aku di sini karena mau mencoba.”
Mereka mengulum senyum, membolak-balikan secarik kertas yang ada di hadapannya. Mungkin mencari pertanyaan yang sebelumnya mereka jawab asal. Entahlah, jawabanku itu akan berdampak seperti apa pada mereka. Aku, hanya berusaha untuk tidak membuat mereka patah, toh Tuhan memang penuh keajaiban. Segala yang terlihat tidak mungkin akan selalu menjadi mungkin. Semoga sedikit jawabanku, mampu menumbuhkan api semangat bagi mereka.
~
Seiring waktu berjalan, usai skripsiku tuntas, aku kembali ditakdirkan bertemu anak-anak. Pekerjaanku membuatku harus semakin mengenal mereka –remaja usia SMP dan SMA. Aku dan seorang temanku, mengunjungi banyak sekolah mulai dari sekolah elit hingga sekolah yang terletak di gang-gang sempit. Kami bertugas sebagai education consultant, mengenalkan aplikasi belajar kepada pihak sekolah dan siswa-siswinya. Lebih dari itu, kami juga dituntut untuk mampu membangun narasi dan menyampaikannya kepada anak-anak agar mereka berani memiliki mimpi bahkan jika mimpinya terlihat tidak mungkin.Perjalananku mengunjungi banyak sekolah membuatku banyak belajar dan mendengar. Betapa banyak anak manusia yang memiliki mimpi-mimpi hebat, bahkan di antaranya sempat membuatku menangis. Kamila, satu dari sekian banyak siswa yang aku ingat, mengatakan “Jangan bermimpi untuk menjadi orang sukses, bermimpilah menjadi orang yang bernilai”, dan seketika aku malu. Selama ini semata-mata aku masih mengejar materi, bukan kebermanfaatan untuk banyak orang. Selama ini, bahkan untuk pekerjaan ini aku masih banyak mengeluh tentang rasa lelah yang padahal mungkin justru pekerjaanku mampu menggerakan hati mereka untuk berani bermimpi.
Mereka membuatku sadar, aku mungkin bukan tenaga pendidik yang bisa membuat mereka cerdas, tapi aku mungkin bisa membangunkan sedikit harapan pada mereka, layaknya nasehat dari seorang guru yang pernah kutemui bahwa “Setiap orang adalah guru, setiap ruang adalah kelas, dan setiap nasehat kecil adalah ilmu”. Sejak saat aku mengenal pekerjaan ini, aku belajar untuk tidak mengkerdilkan sekecil apa pun mimpi seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGKAH KAKI
Short StoryLangkah kakiku adalah langkah kaki yang bertelanjang, menginjak segala sesuatu yang dihamparkan tanah tanpa terkecuali. Langkah kakiku menapaki ruang yang tak berbatas, memasuki ribuan lorong waktu. Langkah kakiku menghasilkan berbagai kisah yang pa...