7# Dia

37 4 0
                                    

Selesaikan apa yang harus diselesaikan, karena jika tak selesai, kau tak akan pernah paham.

Kali ini ceritaku adalah tentang dia. Dia yang sudah kupilih, tapi masih membuatku ragu. Apa aku bisa bertahan? Apa aku bisa sabar? Sampai mana batas sabarku? Aku bukan manusia sesabar itu untuk menunggu.

Ini semua berawal dari pilihan. Sial, kupikir. Aku sudah bilang aku benci pilihan, tapi mengapa hidup seolah selalu menawarkan itu. Membuat aku terjerumus pada jurang resiko yang tidak akan aku tahu sebelum aku benar-benar memilihnya.

“Aku dihadapkan pilihan antara benar dan salah, begitu rumitnya dunia hanya karena sebuah rasa… cinta…”

Bahkan saat menulis ini, muncul lagu Agnes Mo yang seolah sedang menyindirku, tentang benar atau salahkah keputusan yang aku ambil. Bisakah aku melanjutkannya sampai akhir? Tentang dia dan segala rasa cinta yang harus tercurah untuknya.

Dia yang satu. Mengenalkan aku bahwa hidup harus penuh dengan perhitungan, sedikit saja aku keliru, maka aku gagal. Bersamanya, setidaknya membuat aku paham bagaimana untuk lebih terstruktur, untuk dapat memanajemen pikiranku, berpikir seobjektif mungkin, tidak boleh berprasangka. Tapi bersamanya bagiku terlalu kaku. Seperti ada batas di antara kita. Batas yang terlalu jauh, hingga aku selalu berpikir dapatkah aku sampai pada batas itu? Atau justru batas kesabaranku yang akan habis?

Orang bilang, bersamanya aku beruntung. Dia bisa membuat orang bekerja lebih keras. Katanya aku harus percaya, akhir bersamanya adalah bahagia. Tapi adakah yang bisa meramal itu? Siapa yang bisa menjamin kebahagiaan seseorang? Bahkan rasa bahagia itu relatif. Dia kerap membuat aku menangis, apa itu bisa dikatakan bahagia? Iya aku tahu ini baru awal, tapi sampai kapan? Entah. Bersamanya membuatku bertemu banyak orang. Ada yang aku suka, ada yang tidak, bahkan ada yang membuatku cemburu. Seterkenal itukah dia hingga aku bisa bertemu dengan ratusan orang hanya karena aku bertahan di sisinya? Bisakah kemudian dia mempertahankan kesetiaannya? Itu pertanyaan besar. Pengalaman mengajarkan aku untuk selektif.

Dia yang lain. Bersamanya aku bisa lebih bebas, tidak ada batasan, tidak mengekang. Seperti sesuatu yang kurasa kita akan sangat cocok. Tapi, tetap saja ada tapinya. Dia tidak akan pernah berbicara, tidak akan pernah jujur, jika bukan aku yang harus memulai untuk menggalinya. Aku bukan orang yang bisa mencari tahu dengan detail, aku bukan tipe orang yang kepo.

*masa?

Ya setidaknya aku bukan seseorang yang menghalalkan segala cara hanya untuk memuaskan kognisiku tentang dia. Lantas bagaimana aku bisa merasa nyaman? Aku tidak tahu apa pun tentang dia, aku canggung untuk bertanya lebih padanya. Orang bilang untuk dapat bersamanya mungkin butuh waktu. Lebih lama, mungkin sangat lama. Apalagi jika aku ingin memahami dia. Bertahan menunggunya pun bahkan bisa menyakitkan. Tak menutup kemungkinan dia bisa tiba-tiba berubah, berbalik meninggalkanku mungkin. Iya aku tahu, bersamanya aku hanya akan bertemu sedikit orang. Dia lebih tertutup, hanya bertemu dengan segelintir orang saja. Tak perlu membuatku risau. Tapi tetap saja, siapa yang bisa menjamin kesetiaan? Hati manusia itu dibolak-balikan pemiliknya. Tahu film Surga yang Tak Dirindukan? Semacam tokoh dalam film itu, bahkan saking  baik hatinya dia, kesetiaan hancur pada saat itu juga. Pertanyaan semula pun terulang, bisakah aku sabar?

Kali ini bukan tentang sabar yang menjadi poin pentingnya, karena keduanya membutuhkan itu. Ini hanya soal pilihan. Bagaimana aku berani untuk mengambil resiko atas apa pun yang aku pilih. Pada akhirnya aku pilih siapa? Saat ini aku memilih dia yang satu. Aku akan setia? Jangan bertanya. Hatiku bukan milikku, hatiku milik-Nya, kepada siapa aku akan setia, aku pun belum punya jawabannya. Tapi di sini aku berusaha setia. Bertahan dengan apa yang telah aku pilih. Sesulit apa pun itu, sebesar apa pun mungkin yang kelak harus aku korbankan, entah waktu, entah pikiran, entah rindu. Entahlah, aku hanya bisa mencoba melakukan yang terbaik, untuk cerita tentang masa depan yang lebih baik.
.
.
.
.
.
.
Dia (read : skripsi)

Dia yang satu (read : kuantitatif)

Dia yang lain (read : kualitatif)

LANGKAH KAKI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang