Pegang pundakku jangan pernah lepaskan
Bila kumulai lelah, lelah dan tak bersinar
Remas sayapku jangan pernah lepaskan
Bila kuingin terbang, terbang meninggalkanmu
Lagu persahabatan ini, kiranya cocok untuk kami. Kami yang selalu saling mengandalkan. Tapi tetap saja, meremas sayap tanpa melepaskan rasanya mungkin berlebihan. Pada kenyataannya kami tak bisa menahan sayap yang ingin mengepak, sayapnya bisa jadi tak berfungsi, dan itu malah akan melukainya. Terbang meninggalkan bukan berarti berniat melupakan, bukan?
Aku sedang dilanda rindu. Aaaa iya, aku lupa, aku memang si pecandu rindu. Pecandu rindu pada tiap waktu yang menjembatani temu. Sudah empat bulan, aku, Fatimah dan Sarah, tak bertemu dengan Aisyah. Ah baru empat bulan, memang masih terbilang singkat, namun bukankah rindu tak mengenal waktu?
Aisyah sudah menemukan jalan hidupnya, pun juga Fatimah dan Sarah. Hanya tersisa aku, yang masih meraba mana jalan yang harus kutempuh. Aku, Fatimah juga Sarah, belajar banyak dari sosok Aisyah. Belajar tentang mengandalkan Allah dalam setiap urusan, belajar mandiri, belajar istiqomah. Saat kekosongan memaksaku untuk menengok ke belakang, aku menyadari bahwa aku telah melewati banyak masa yang tidak akan pernah bisa diulang.
#Satu waktu pada masa SMA dulu
“Syah, langsung pulang sekarang yuk.” Ajakku kepada Aisyah.
“Salat dulu Biiiil, kamu yakin nanti masih ada umur? Gimana kalau di jalannya kenapa-kenapa dan kita belum sempat salat?” Aisyah langsung menceramahiku tanpa ampun.
“Ah iyaa, aku lupa Syah, ya udah yuk salat.” Kataku sambil menepuk jidat.
Lihatlah, dia menjadi salah satu perantara Allah. Dia adalah seorang pengingat bagiku. Apa jadinya aku tanpa Aisyah dulu? Mungkin akan ada lebih banyak waktu salat yang aku tunda.
#Satu waktu, di masa-masa pencarian jati diri
Selepas SMA, masing-masing dari kami harus mulai menata mimpi. Orang bilang, ingin menjadi apa? Ingin ke mana? Dulu, aku sudah cukup yakin ingin masuk perguruan tinggi mana, meski belum tahu akan menjadi apa. Fatimah dan Sarah juga sudah mantap dengan pilihannya mengabdi sebagai guru.
Bagaimana Aisyah? Ternyata ia salah satu yang paling gamang dengan masa depannya. Tapi satu hal, ia tak pernah melupakan Rabb nya. Bagi Aisyah, mengadu adalah satu-satunya jalan terbaik. Betapa Tuhan memang begitu dekat dan selalu mendengar doa hamba-Nya, Tuhan menunjukkan ia jalan untuk menjadi seorang perawat. Meski sempat kembali ragu dengan kemampuannya, tapi lagi-lagi ia mengandalkan petunjuk Allah. Allah itu tergantung prasangka hamba-Nya, maka yakinlah dengan kekuasaan Allah, begitu yang selalu diyakini Aisyah.
Pada akhirnya, ia bersyukur atas pilihan yang ia ambil. Menjadi seorang perawat memang tidak mudah, tapi kebahagiaannya mungkin tak hanya bisa diukur dengan tingkat kesulitan bahkan materi sekali pun. Aisyah bilang dengan menjadi perawat ia bisa membantu orang yang sakit, ia menjadi lebih banyak bersyukur atas nikmat Allah yang tak terhitung. Menjadi seorang perawat, Aisyah sering merasa diingatkan pada kejadian bahwa suatu saat kita akan kembali kepada-Nya, kepada Sang pencipta.
Aisyah membuatku belajar bahwa keputusan yang kita ambil dengan menyertakan Allah di dalamnya tak akan pernah mengecewakan kita. Allah memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan.
#Satu waktu, saat jatuh cinta terlalu sering menjatuhkan kami
Aku, Fatimah, Sarah, juga Aisyah, bukan sosok sempurna yang tanpa cacat. Bukan perempuan-perempuan di zaman nabi yang salihahnya luar biasa. Kami bukan gadis salihah yang mampu menundukkan pandangannya dengan baik. Kami hanya sedang berada pada proses menuju salihah. Kami akui, aku terutama, tak pernah lepas dari yang namanya jatuh cinta. Entah kenapa, bagiku perasaan itu selalu muncul, dengan lancangnya tak pernah bisa aku bungkam diam-diam.
Kami berempat juga sempat merasakan bagaimana suatu hubungan menjadi terlihat indah dengan yang namanya pacaran. Hingga akhirnya kami sadar, bahwa pacaran entah kenapa selalu berujung menyakitkan –mungkin ini salah satu teguran. Tapi di antara kami berempat, Aisyah lah yang paling kuat menghadapi hantaman jatuh cinta. Sudah empat tahun terakhir ini hatinya dibiarkan kosong. Bahkan jauh sebelum itu, patah hati pun tak pernah benar-benar membuatnya patah. Hanya Aisyah yang tak pernah menangis karena seorang laki-laki.
Bagaimana dengan kami bertiga? Ah, terlalu memalukan jika diceritakan, kami selalu kalah dengan yang namanya patah hati, terlalu sesak. Pada saat-saat seperti itulah Aisyah akan cerewet menasehati, tak jarang komentarnya akan pedas, tapi apa pun yang dia katakan, kami yakini bahwa itu adalah nasihat terbaik yang bisa ia berikan sebagai seorang sahabat.
Terima kasih Aisyahku, telah menjadi pengingat bagi kami untuk tidak terperosok ke dalam jurang yang bernama patah hati.
#Satu waktu pada masa-masa kami menyempatkan salat berjamaah bersama
Bertemu Aisyah, Fatimah dan Sarah adalah sebuah anugerah yang patut aku syukuri setiap waktunya. Mereka selalu menjadi jalan bagiku untuk mengingat Allah. Kami punya ritual unik, bergiliran menjadi imam saat salat berjamaah. Aisyah adalah salah satu di antara kita yang rajin melaksanakan salat sunnah rawatib, kita yang tadinya jarang melakukan salat sunnah pun ikut tergerak. Aku pernah membaca sebuah tulisan: salat fardhu yang kita lakukan tentu tidaklah sempurna, maka untuk menutupi ketidaksempurnaan itu, lakukanlah salat sunnah rawatib. Ketika aku membaca tulisan itu, ingatanku tertuju pada Aisyah, ah semakin rindu.
Dear Aisyah, Fatimah, dan Sarah, kelak jika di surga tak kalian temukan aku, tolong carilah, katanya sahabat yang salihah bisa memberikan syafaat bagi kita kelak di akhirat. Semoga kita bisa saling memberikan syafaat.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGKAH KAKI
Short StoryLangkah kakiku adalah langkah kaki yang bertelanjang, menginjak segala sesuatu yang dihamparkan tanah tanpa terkecuali. Langkah kakiku menapaki ruang yang tak berbatas, memasuki ribuan lorong waktu. Langkah kakiku menghasilkan berbagai kisah yang pa...