Gimana, kamu di sana sehat?”
“ Udah makan?”
“ Kuliahnya gimana lancar?”
“Uangnya habis ga?”
“ Ya udah lanjut lagi belajarnya yaaa.”
Ada tiga menit yang dulu selalu aku rutuki.
Ada tiga menit yang dulu tak pernah kusyukuri.
Dulu, aku selalu iri ketika melihat teman-temanku selalu bermanja dengan ayah ibunya, berlama-lama lewat telepon. Mereka bercerita banyak hal. Sedang aku, tak pernah lebih dari tiga menit dalam seminggu. Hanya empat pertanyaan kunci dengan satu pernyataan penutup. Aku merutuk, terlebih lagi selalu merasa sedih. Aku ingin bercerita, aku ingin ditanya banyak hal. Bagaimana temanku, apa yang aku lakukan, berapa uang yang aku habiskan, apa yang aku makan, apa pun. Tapi nyatanya tidak pernah. Sudah menjadi pola bahwa hanya akan ada empat pertanyaan kunci.Saat aku pulang ke rumah aku memang bercerita, tapi rasanya bagiku cerita-cerita itu sudah usang. Tak seasyik teman-temanku. Ya, saat itu aku selalu melihat apa yang ada pada orang lain. Saat teman-temanku bertanya “Ko jarang yaa liat kamu telponan?” Aku cukup membalasnya dengan senyum. Aku tak tahu apa yang seharusnya aku katakan.
Aku pernah mengutarakan perasaanku secara implisit, berharap ayah dan ibu sadar. “Kalo mau telfon, telfon aja, ga ganggu koo…” Tapi nyatanya tak ada yang berubah, sampai akhir. Aku tahu mungkin letak salahnya pun ada padaku. Aku tak pernah memulai menelepon lebih dulu. Aku punya alasan. Ah sudahlah tak perlu pembelaan diri. Ini mungkin salahku. Memang aku saja yang selama ini selalu gagal berkomunikasi dengan keluargaku sendiri. Aku tak pernah benar-benar mengutarakan apa yang aku inginkan dengan jelas, aku hanya ingin dimengerti tanpa membuat mereka mengerti.
Sejak saat hari-hariku mulai jauh dari orang tua, sejak saat hari-hariku pun tak tahu harus kuceritakan pada siapa, sejak saat itu aku mulai menyimpan segalanya sendiri. Bahagiaku, sakitku, perihku, segalanya. Sendirian. Dan itu adalah jurang paling dalam yang ada pada diriku. Membuatku menjadi orang paling kaku. Menjadikan diam adalah pilihan terbaik dalam segala situasi –menulis adalah satu-satunya upaya pelepasanku. Aku tak tahu cara menghibur orang lain, aku tak tahu cara berkomunikasi lewat telepon selain hanya menjawab seperlunya. Dan jadilah aku, dingin, yang sulit menjadi hangat.
Sudah cukup lama ya, Yah? Aku rindu.
Aku rindu tiga menitmu. Tak apa bahkan jika hanya satu menit.
Aku rindu pada suara berat di ujung sana yang selalu terdengar khawatir.Aku rindu pada bagaimana kau dan Ibu berbagi pertanyaan si empat kunci itu. Tiga menit yang bahkan kalian bagi dua, sungguh jahat. Tapi aku rindu.
Tak apa bahkan jika 30 detik hanya untuk memanggil namaku. Sungguh , aku rindu.
Tahukah Ayah, sekarang dering teleponku hampa. Biasanya di sana akan tertera namamu setidaknya satu kali dalam seminggu, setidaknya akan ada namamu di riwayat panggilanku dengan durasi tiga menit yang selalu aku keluhkan.
Aku tahu pasti Ayah, Ibu, tiga menit yang kalian berikan adalah untuk menjadikanku dewasa. Aku tahu pasti kalian tak ingin membuatku jadi gadis manja. Aku tahu pasti bahwa kalian ingin aku fokus pada studi dan kegiatanku. Aku tahu pasti, pertanyaan tentang kesehatan dan memastikan aku makan dengan baik sudah mewakili segalanya, karena bagi kalian cukup aku baik-baik saja. Aku tahu pasti ketika kalian bertanya uangku habis atau tidak adalah karena kalian ingin memastikan bahwa aku tak merasa kesusahan.
Tapi percayalah Ayah, sesungguhnya uang bukan segalanya yang aku butuhkan, tapi lebih dari itu adalah keberadaaan kalian. Aku ingat saat kau dan Ibu berdebat tentang uang yang harus diberikan padaku, Ibu bilang perempuan itu kebutuhannya banyak, aku tertawa saat itu. Iya, Aku tahu pasti ayah, ibu, segalanya yang kalian lakukan adalah untuk menjadikanku kuat. Hanya saja aku terlalu naïf mengakuinya. Sisi manjaku hanya meyakini bahwa kalian seolah tak lagi peduli.Ayah, saat kau pergi, Ibu meyakinkan aku bahwa kau sudah tenang. Katanya, kau sudah lega karena bisa melihatku masuk perguruan tinggi, melihatku belajar dengan baik. Saat itu kau menitipkan aku pada Ibu, memintanya memastikan aku untuk lulus. Tahukah ayah? Ibu menepati janjinya. Ibu pergi sehari setelah aku dinyatakan lulus. Mungkin ia rasa tugasnya sudah selesai, setidaknya ia menepati janji pada pria yang paling dicintainya. Kini adalah tugasku bukan? Untuk membuktikan pada kalian, Ayah dan Ibu, bahwa aku bisa sekuat dan sehebat yang kalian harapkan. Maka beri aku tiga menit lagi saja, untuk mengulang semuanya. Untuk mengatakan bahwa aku mencintai kalian dengan sangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGKAH KAKI
Cerita PendekLangkah kakiku adalah langkah kaki yang bertelanjang, menginjak segala sesuatu yang dihamparkan tanah tanpa terkecuali. Langkah kakiku menapaki ruang yang tak berbatas, memasuki ribuan lorong waktu. Langkah kakiku menghasilkan berbagai kisah yang pa...