26# Idealis

14 3 0
                                    

Aku meyakini, dan banyak orang juga meyakini bahwa hidup itu pilihan. Dan tiap-tiap orang sudah semestinya bertanggung jawab atas pilihan itu, bukan?

Flashback beberapa tahun ke belakang, menurutku masa menjadi mahasiswa adalah masa kejayaan idealisme. Bebas mengkritik berdasar atas berbagai latar belakang ilmu yang mereka miliki. Mengkritisi media yang menayangkan program-program tak berpendidikan, yang hanya mengejar rating. Mengkritisi perusahaan-perusahaan yang tak memiliki kepedulian sosial. Mengkritisi pemerintah yang lalai dalam kinerjanya. Ya, kurang lebih seperti itu. Mereka menikmati peran sebagai agent of change, katanya. Pun, aku demikian.

Masa menjadi mahasiswa juga menjadi masa yang penuh dengan impian. Masuk perguruan tinggi seolah menjadi pintu gerbang menuju kehidupan yang setidaknya dapat lebih baik dengan kehidupan yang sebelumnya pernah mereka jalani, meski tak banyak dari mereka juga masih bingung hidupnya mau dibawa ke mana. Sepertiku. Selama 4 tahun kuliah, selama itu pula mimpiku berubah-ubah. Bermimpi kerja di media, bank, perusahaan bonafide, ingin menjadi peneliti, penulis, konsultan, pebisnis, dan ingin-ingin yang lain hingga aku lupa.

Setelah aku mendapatkan banyak pengetahuan, setelah aku terjerumus pada banyak idealisme, aku semakin gamang menjalankan hidup. Ada semacam perang batin terhadap mimpi-mimpiku yang sebelumnya ada. Sebenarnya aku harus ke mana? Ah, mulai saat itu, aku memilih untuk mengikuti hati nurani. Meski aku tidak tahu sampai batas mana hati nuraniku bisa bertahan ketika berbenturan dengan kebutuhan ekonomi.

Ketika aku lepas menjadi seorang mahasiswa, kegamangan itu mulai semakin nyata. Perang batin terjadi setiap kali ada hal menggiurkan di depan mata, tapi tak sesuai dengan hati nurani. Dan, aku masih dengan "idealis" -istilah yang mereka gunakan, memilih hati nurani. Hidup itu pilihan bukan? Bahkan jika itu bertentangan dengan teman-temanku, cukup "hidup itu pilihan" menjadi sebuah prinsip yang tak boleh diruntuhkan dengan sebuah judgement dari orang lain. Jika ada yang bertanya-tanya mengapa, maka biar aku perjelas. Ada sebuah ketakutan yang selalu menyerangku setiap hari.

Sejak Allah memanggil ibu -satu-satunya alasanku untuk pulang, duniaku seakan berhenti. Seolah ada pertanyaan, lantas aku harus membahagiakan siapa? Bagaimana membuat ayah dan ibu bahagia? Bagaimana membuat ayah dan ibu bangga? Baktiku untuk ayah dan ibu kemudian harus seperti apa? Dalam bentuk apa? Apa dengan hanya menjadi orang kaya dan mencapai mimpi, ibu dan ayahku akan baik-baik saja di sana? Kupikir, tidak sesederhana itu, Allah punya aturan yang tidak bisa aku abaikan.

Ada tiga perkara yang akan menolong orang yang sudah meninggal. Pertama, amal jariyah. Kedua, ilmu yang bermanfaat, dan ketiga adalah doa anak yang saleh/salihah. Sebuah nasehat yang selalu terngiang, aturan yang sudah sangat jelas. "Doa anak yang saleh" adalah satu-satunya jalan yang bisa aku capai untuk tetap berkomunikasi dengan ayah dan ibu, "doa anak yang saleh" adalah satu-satunya bakti yang bisa kuberikan untuk mereka. Masalahnya, apa aku sudah bisa dinyatakan anak yang saleh? Bagaimana jika nyatanya doa-doaku selama ini tidak sampai pada mereka? Bagaimana jika pilihan yang aku ambil menjadi penghalang doaku sampai pada mereka? Bagaimana jika mereka mendapatkan hukuman atas pilihan yang aku ambil? Bagaimana jika mereka yang harus bertanggung jawab atas kelakuanku di dunia ini? Pertanyaan-pertanyaan bagaimana ini membuatku ketakutan. Membuatku berpikir 3 kali lebih lambat untuk memutuskan banyak hal.

Sebenarnya, aku tidak ingin disebut idealis, karena nyatanya aku tidak seidealis itu. Aku hanya memilih apa yang hati nuraniku katakan. Sudah cukup bagiku menjadi beban bagi kedua orang tuaku di dunia, setidaknya aku tidak menjadi beban pula bagi mereka di akhirat. Begitulah sebuah pilihan dalam hidup, mari saling menghormati, tanpa perlu saling menghakimi. Kita tidak saling merugikan ketika memilih pilihan masing-masing sehingga seharusnya tak perlu ada yang dipermasalahkan. Karena, aku percaya, setiap pilihan diambil berdasar sebuah proses panjang yang tak mudah.

LANGKAH KAKI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang