31# Surat Untuk Ibu (Tepat 100 Hari)

9 1 0
                                    

Hari ini adalah genap 100 hari kau pergi.
Hari di mana aku masih tak ingin mempercayainya.
Hari ini adalah genap 100 hari yang terasa amat panjang, seperti aku telah melewati satu abad perjalanan.
Hari di mana yang aku tahu hanya kosong dan hampa.
Dan, aku masih tak tahu bagaimana 100 hariku berikutnya.

Ibu, satu hari setelah kau pergi, hidupku sepenuhnya berubah. Jika kehilangan ayah membuatku kehilangan separuh jiwa, maka kehilanganmu membuatku merasa benar-benar hilang seutuhnya. Aku tahu ini tidak boleh. Bagaimanapun aku harus bangkit, dan aku memang melakukan pembuktian. Banyak orang yang berpikir hidupku baik-baik saja, aku tertawa, aku bermain, aku pergi ke mana saja aku mau, sedikit dari mereka yang tahu tangisku. Aku masih memegang rumus itu, rumus dari ayah. “Jangan jadi anak cengeng, itu hanya akan membuat mereka yang tidak suka tertawa bahagia”.

Ibu, selama ini berat ya menanggung beban sebagai seorang ibu? Kini aku merasakannya, meskipun mungkin belum separuhnya dari apa yang kau alami. Kau tahu? Belum genap 100 hari aku sudah banyak mengeluh. Kini aku menyadari, banyak hal yang aku lewatkan bersamamu.

Kebersamaan kita, terlalu singkat Bu. Ketika anak perempuan lain banyak menghabiskan waktu dan bercengkerama dengan ibunya di dapur, aku tak memiliki kesempatan itu. Kau memberikan waktuku lebih banyak pada ayah –seorang pria yang sangat menginginkan anak perempuan. Sebenarnya aku ingin marah Bu, kini aku seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Tak tahu apa-apa. Yang aku tahu dulu kau begitu menyayangi aku sehingga tak ingin aku terluka, yang aku tahu kau merelakan waktu yang seharusnya kuhabiskan bersamamu supaya lebih dekat dengan ayah, yang aku tahu cinta kalian begitu besar. Tapi Bu, bolehkah aku berlaku berbeda pada anakku nanti? Setidaknya, dia harus disiapkan, untuk keadaan yang paling buruk sekalipun -sebuah kehilangan.

Kini, aku tahu Bu perih yang kau rasakan pada luka-lukamu. Tanganku sekarang memiliki bekas cipratan minyak. Sayangnya perih ini perih yang harus aku tanggung sendiri, yang tak bisa kuadukan padamu. Aku, tak seperti gadis lain yang belajar masak bersama ibunya, kemudian ibunya menertawai bekas luka itu. Aku hanya mampu menertawakan diriku sendiri.

Ibu, kau pasti lelah bukan? Bangun pagi buta, terlelap setelah isya. Selalu seperti itu. Kau tak punya waktu untuk bercengkerama di malam hari karena kau sudah terlalu lelah. Bahkan ketika sakit, kau tidak mungkin untuk tidak melakukan apa-apa. Rutinitasmu tetap berjalan atau rumah akan berantakan. Kini aku merasakan Bu, bagaimana lelahmu, bahkan lelahku ini belum seberapa.

Ibu, aku selalu kagum padamu, dulu kau melakukan banyak hal dari pagi hingga petang. Ayah, meskipun terlihat kuat, dia tak bisa melakukan banyak hal sepertimu. Kau yang membersihkan halaman, kau yang memperbaiki genting rumah, kau yang membersihkan kamar mandi, kau, bahkan yang memperbaiki alat-alat elektronik yang rusak. Ayah memang payah. Dan kini kau tahu? Aku ternyata sama payahnya dengan ayah. Aku belum bisa sepertimu yang bisa mengefektifkan waktu mengerjakan segala hal. Aku percaya pekerjaan ibu rumah tangga adalah pekerjaan paling sulit dari pekerjaan mana pun, belum ditambah dengan mendidik anak. Ibu, aku bertekad menjadi sepertimu, aku akan belajar dengan baik.

Bu, mati lampu yang terkadang disertai petir dan hujan sebentar lagi akan datang. Aku harus bagaimana? Hidupku benar-benar sudah berubah sepertinya. Dulu, momen itu adalah momen yang mendekatkan kita bertiga, aku, kau dan ayah. Atau hanya aku dan kau saat ayah sudah pergi. Ketika aku takut petir dan hujan deras kau akan bilang “jangan takut, gak akan apa-apa, baca doa”, kemudian di momen itu, kau dan ayah akan bercerita dalam gelap. Tentang banyak hal. Bagaimana dengan mati lampu nanti yang akan datang? Rasanya aku hanya akan berusaha terlelap. Hanya dengan terlelap, satu-satunya cara agar aku bisa melihatmu lebih lama, pelepasan rindu yang terasa nyata.

Begitulah Bu, kehidupanku setelah 100 hari kepergianmu. Dipenuhi kegamangan dan rasa takut. Aku takut untuk mengandalkan orang lain, hakikatnya aku hanya akan kecewa. Entah karena perpisahan, entah karena kehilangan. Oh ya Bu, maaf, dulu aku belum sempat membawakan seorang laki-laki baik seperti yang kau minta, katamu biar bisa menitipkan anak satu-satunya ini. Sampai detik ini aku belum menemukan Bu. Nanti, biar kuajak dia pergi ke pusara ayah dan ibu, aku akan dengan lantang mengatakan dia laki-laki baik milikku. Tapi, nanti ya Bu, mungkin akan sedikit agak lama. Titipkan saja aku dulu pada Allah Bu. Seperti katamu, satu-satunya yang harus aku andalkan adalah Allah kan bu? Semoga Allah tetap mau bersamaku Bu, aku tak ingin kehilangan Allah karena segala yang kupunya adalah milik-Nya, pun kau dan ayah, pun kehidupanku.

Beristirahatlah di sana dengan tenang Bu, jangan khawatirkan aku, aku akan selalu berusaha menjadi wanita yang sholeha, agar doaku selalu sampai untukmu. Jangan khawatirkan aku, aku akan bertahan menjadi anak yang kuat. Akan aku pastikan tangisku hanya sampai ketika berhadapan dengan Allah, hingga kelak aku bertemu dengan seseorang yang mau berbagi tangis bersamaku.

LANGKAH KAKI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang