Ada yang begitu mencuri perhatian.
Mereka yang kutemui di setiap perjalanan. Di dalam bis, angkutan kota, di gerbong-gerbong kereta. Atau, di pinggiran rel sepanjang stasiun Jatinegara.Mereka yang kutemui di tiap-tiap persinggahan. Di kampus, di gedung-gedung perkantoran, atau di pusat-pusat perbelanjaan.
Juga mereka yang kerap mampir di beranda media sosialku.
Beragam kehidupan.~
Di dalam bis dan angkutan kota, kerap kudengar petikan gitar, lagu-lagu cinta didendangkan. Tak peduli bahkan jika suara mereka telah parau, mereka tetap bernyanyi. Setidaknya peluh mereka harus dibayar meski hanya dengan kepingan uang recehan. Satu, dari sekian banyak orang yang pernah kutemui adalah seorang bapak tua pengamen di Damri. Teman setia perjalanan Jatinangor-Bandung dengan lagu-lagu lawasnya. Seperti takdir, aku bertemu dengannya tidak satu dua kali, seolah Tuhan sedang mengajarkan aku tentang suatu hal.
Sempat kucuri dengar obrolannya dengan kondektur bis, katanya meski ia hanya seorang pengamen, ia ingin menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi. Saat itu, anaknya sedang mengejar beasiswa bidikmisi untuk masuk ITB katanya. Entahlah kabarnya kini, sudah lama sekali aku tidak lagi menikmati perjalanan Jatinangor-Bandung. Semoga beliau dalam keadaan sehat dan dapat mewujudkan keinginannya.
Perjalanan saat itu membuatku paham, hidup yang aku keluhkan adalah hidup yang mungkin diaminkan oleh banyak orang.
~
Juga di dalam gerbong kereta. Bukan, ini bukan tentang mengusangnya gerbong tua yang menjadi ruang-ruang kosong berpenghunikan kenangan. Ini tentang kehidupan di dalamnya. Awalnya, aku tidak terbiasa berdiri berhimpitan, berebut udara dengan manusia-manusia lainnya. Tapi dari ketidakbiasaan itu ada kebiasaan baru yang kusukai –mengamati orang lain. Aku menemukan jiwa-jiwa yang lelah. Pembeda di antara mereka adalah cara menyikapi rasa lelahnya.
Di satu sudut, ada seorang ibu berpembawaan tenang. Meski harus berdiri dengan satu tangan berpegangan, satu tangannya lagi memegang erat buku dzikir Al-Matsurat. Matanya fokus membaca, aku rasa aku mendengar sayup-sayup lantunannya.
Di sudut lain ada seorang bapak yang tampak gagah. Ia memegang buku berukuran besar. Ternyata, ia sedang belajar, menghapal isi KUHP.
Di sudut-sudut lainnya
Ada anak kecil mengulum senyum karena bahagia melihat pemandangan di luar kereta.
Ada ayah yang setia menenangkan tangisan balitanya yang kepanasan, sedang si ibu juga terlihat sedang tidak sehat.
Ada sepasang suami istri yang bergandengan tangan dari pertama kali naik kereta hingga mereka hilang dari pandangan.
Ada kakek dan nenek yang kulihat dari wajahnya ada wujud kesetiaan. Si nenek berjalan dengan tongkat, si kakek menuntun di sampingnya. Si kakek terkadang kena omelan karena berjalan terlalu cepat.
Di seberang dari tempatku berdiri terlihat seorang remaja yang asyik menonton drama Korea, ia tak peduli dengan sesak yang ada.
Atau ada juga yang asyik dengan musik, bahkan dengan game online hingga dia hampir jatuh karena dua tangannya sibuk mengendalikan senjata.
Mereka semua tampak lelah, tapi mereka tahu cara membahagiakan dirinya.
Tentu saja tidak setiap hari kutemukan pemandangan indah seperti itu. Aku akan tetap menemukan yang tak peka membiarkan seorang ibu hamil berdiri, yang kelelahan hingga tertidur sambil berdiri (karena yang duduk sudah pasti tidur atau mungkin pura-pura tidur), yang marah-marah karena merasa tak ada udara hingga memaksa membuka jendela kereta, bahkan yang menangis terisak yang konon kata orang lewat dia diputuskan pacar.
Kamu juga mungkin akan mengalami kejadian menggelikan. Aku pernah sesak napas di dalam kereta, aku pernah salah gate saat taping kartu, aku pernah terjepit pintu kereta, dan pernah-pernah lainnya yang memalukan, tapi itu lucu. Nyatanya memang akan selalu ada hal menggelikan ketika kita melakukan sesuatu untuk pertama kalinya. Jika sesuatu itu bisa kamu lihat dari sisi positif, kenapa kamu sibuk mencari sisi lain untuk pembenaran segala hal yang kamu keluhkan?
~
Mataku, pun tak hanya tertuju pada apa yang mampu kuamati di dalam kereta. Di luarnya, ada banyak hal yang mengusik mata dan pikiranku. Terlebih saat aku melalui satu kawasan di pinggiran rel sepanjang arah stasiun Manggarai-Jatinegara.
Di pinggiran sana ada beberapa petak bangunan, entah rumah atau sekadar warung, aku tidak tahu pasti. Aku hanya melihat bagian belakang dari bangunan itu. lampunya terlihat remang-remang. Setiap harinya, selalu nampak beberapa laki-laki, juga perempuan yang berpakaian minim. Aku tidak bisa dan tidak ingin menghakimi apa-apa yang aku lihat, aku tidak ingin menghakimi hidup seseorang yang bahkan aku tidak pernah tahu bagaimana jalan hidupnya. Aku hanya sempat memikirkan, betapa banyak kehidupan yang tidak pernah aku ketahui dan di antaranya tentu ada yang seberat itu. Berat bukan semata-mata ketika dijalani, tapi juga menghadapi berbagai macam opini manusia-manusia lainnya, yang mungkin juga pernah terlintas dipikiranku, di pikiran ratusan orang di dalam kereta yang mungkin juga mengamati mereka. Begitulah kadang manusia, mencari celah kelemahan manusia lainnya padahal ia tak pernah tahu bagaimana mereka menjalani hidup.
~
Berbeda dengan mereka yang kutemui di kampus, perkantoran maupun pusat-pusat perbelanjaan. Perbincangan tentang ilmu pengetahuan, kebenaran, atau hanya sekadar kecantikan sudah menjadi topik yang tidak boleh terlewatkan. Di sini, kurasa status sosial dan pengetahuan menjadi pusat perhatian. Siapa yang status sosialnya lebih tinggi maka ia lebih didengarkan. Perbincangan mereka selalu menarik, sebuah pengetahuan baru bagiku yang hanya bisa menimpali pembicaraan mereka dengan senyuman.
Mereka membuatku sadar bahwa duniaku begitu kecil dan sempit. Dulu, dindingku amat bersekat. Pengetahuanku hanya seputar apa yang aku sukai. Sedang memasuki dunia mereka –meski bukan keinginanku, aku harus mengetahui banyak hal.
~
Terakhir, tentu mereka yang selalu kulihat di beranda media sosialku. Aku sudah menjadi generasi yang tidak bisa lepas dari dunia maya. Dunia yang sebenarnya aku paham betul akan memiliki dampak tersendiri bagi kehidupan nyata. Mereka yang kulihat di beranda media sosialku terlihat bahagia, kehidupannya terlihat menyenangkan, karirnya terlihat sukses, kehidupan bersama pasangannya terlihat romantis, keluarganya terlihat harmonis, hingga kadang tebersit iri. Astagfirullah…
Padahal segala yang kuamati di sana tentu terbatas. Sebatas “terlihat”. Mereka mungkin melalui banyak hal hingga sampai pada kehidupan yang terlihat seindah itu. Mereka tentu berupaya berbagi kebahagiaan saja di sana, toh buat apa berbagi kesedihan, bukan begitu? Namun, pun ada manusia-manusia yang pada akhirnya salah kaprah hanya karena sama-sama ingin kehidupannya terlihat indah, mereka menciptakan kepalsuan, hingga lupa dengan kehidupan yang sebenarnya.
~
Ya begitulah, di dunia mana pun, akan banyak ditemukan kehidupan dengan beragam cerita. Aku bersyukur punya rasa cinta pada cara bagaimana aku mengamati orang lain. Ada banyak hikmah yang aku pelajari. Poin pentingnya adalah dari setiap perjalanan yang kamu lalui dan setiap orang yang kamu temui harusnya mampu membuatmu menjadi hakim untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGKAH KAKI
Short StoryLangkah kakiku adalah langkah kaki yang bertelanjang, menginjak segala sesuatu yang dihamparkan tanah tanpa terkecuali. Langkah kakiku menapaki ruang yang tak berbatas, memasuki ribuan lorong waktu. Langkah kakiku menghasilkan berbagai kisah yang pa...