5# Jejak Luka

51 4 0
                                    

“Ayah, hari ini pembagian rapotku. Ayah bisa datang?” Aku bertanya, meski sudah tahu jawabannya.
“Ayah usahakan Di”. Usaha yang tak pernah benar-benar diusahakan pikirku.
“Ibu… Hari ini pembagian rapotku..” Aku coba merajuk pada Ibu.
“Nenek saja yang ambilkan ya Di, adikmu sakit.”
“Baiklaaah”
~ ~
Aku tersadar dalam lamunan. Mengenang masa belasan tahun silam. Masa yang hingga sekarang tak banyak berubah. Selalu, aku hanya menjadi nomor kesekian dalam hidup mereka.

Dulu, kata orang aku bahagia. “Kau pasti senang, punya dua ayah dan dua ibu.” Ketika pikiranku masih sangat polos, aku bangga akan itu. Namun, aku semakin merasakan bahagia itu hanya semu. Dari empat orang, tapi tak ada satu pun yang benar-benar ada, aku hanya berteman dengan sepi. Bagian mana yang bisa dikatakan bahagia? Mereka hanya berusaha membesarkan hatiku.

Kau tahu apa yang aku rasakan? Kau tahu apa yang aku pikirkan? Meski aku belum tahu apa itu pernikahan, aku adalah korban dari ikrar yang hanya mengatasnamakan cinta. Cinta yang mana yang mereka bicarakan? Sesaat merasakan cinta kemudian memutuskan menikah. Ketika mendapat sedikit ujian, mereka dengan mudah memutuskan berpisah, mereka dengan mudah menjalin cinta baru. Tak ada upaya untuk sedikit melihatku, sedikit memahami perasaanku. Cinta yang mana yang mereka bicarakan?

Aku merasa masih beruntung, tak berakhir di jalanan. Aku bisa saja lari. Tapi itu tidak benar, aku tidak ingin berakhir lebih menyedihkan. Di sekolah, aku muak dengan ocehan guru tentang kenakalan remaja, seolah-olah kami, adalah remaja yang patut diwaspadai, yang bisa saja berontak tanpa kendali. Kadang aku ingin bertanya, apakah orang tuaku di tempat kerjanya mendapatkan pelajaran tentang kenakalan orang tua? Sungguh tak adil.

Bukan aku tidak memahami keadaan yang mungkin sulit mereka jalani, tapi seharusnya mereka juga paham keadaan ini pun sulit untukku. Sendiri, di saat banyak teman-teman sebayaku bermain bersama dengan kedua orang tuanya. Kau pikir itu menyenangkan? Sama sekali tidak. Keadaan ini membuat aku berpikir bodoh, menyalahkan takdir Tuhan, mengapa aku dilahirkan jika untuk diabaikan? Tapi itu adalah sebuah takdir, aku tak bisa menghindarinya. Mungkin ini adalah bagian dari jalan hidupku untuk belajar.

Sekarang, saat usiaku mulai matang untuk berpikir membangun kehidupan bersama orang lain, aku penuh dengan perhitungan. Bukan masalah uang, tapi siapa yang akan jadi pasangan. Orang bilang aku terlalu pemilih. Lebih baik pemilih bukan dibanding salah pilih? Aku punya mimpi yang besar. Mimpi di mana aku tak ingin menjadikan anakku kelak merasakan sepi yang sama. Menikah bukan hanya soal cinta, bukan hanya tentang kau dan dia. Menikah adalah menyelaraskan segala hal yang berbeda, budaya, ideologi, idealisme, semua hal, semua. Dangkal jika kau hanya menjadikan cinta sebagai alasan.

Ayah, Tante, Ibu dan Om. Tidak, aku tidak menyalahkan kalian, keadaan ini adalah jalan yang kalian pilih sendiri, termasuk jika salah satunya menyakiti dan membuatku merasa kesepian. Tak apa. Aku sudah terbiasa, setidaknya kalian mengajarkanku untuk mandiri. Aku hanya memiliki satu permintaan, jangan biarkan adik-adikku merasakan sepi yang sama. Terima kasih telah menjadi role model untukku, role model untuk tidak berakhir seperti kalian.

LANGKAH KAKI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang