18# Titik Rindu

20 3 0
                                    

Nada, Apa kabar? Aku rindu.

Sebuah pesan dari Instagram yang biasa dikenal sebagai DM (Direct Message) tiba-tiba muncul di layar ponselku hari ini. Cukup mengagetkan. Sudah satu tahun lebih aku tak lagi berhubungan dengannya –mantan kekasihku. Sejujurnya, aku rindu. Aku bahkan tak bisa sedikit pun melupakan setiap momen bersamanya, karena memang tak banyak yang bisa dikenang. Kami hanya berpacaran dua bulan saat itu. Lucu bukan? Satu tahun aku tak bisa melupakan sebuah hubungan yang tak lebih dari dua bulan. Entah mengapa segalanya tentang dia bagiku adalah keindahan. Ah sial, satu pesan darinya berhasil membuatku mengenang segalanya.

#
Giantara Purnama

Aku mengenalnya lewat sebuah event, kami bekerjasama saat itu. Aku tak pernah punya rasa awalnya, hanya sedikit kekaguman karena pemikiran-pemikiran yang ia miliki. Terlebih, aku memang tak berani menyimpan rasa. Sejak event itu usai, aku juga tak pernah lagi berinteraksi dengannya, sampai suatu saat aku membutuhkan pertolongannya untuk sebuah tugas mata kuliah.

Kami berinteraksi cukup dekat. Meski kami dipisah jarak Yogyakarta - Bandung tapi tak menjadi masalah. Masalahnya hanya satu, kami belum memiliki komitmen apa-apa. Suatu saat dia menghilang. Benar-benar menghilang. Hanya muncul di beranda media sosial tanpa sekali pun menghubungiku lagi. Apa aku berani menghubunginya lebih dulu? Tidak. Logikaku tak mengizinkan itu, kami tak punya komitmen, maka aku tak punya hak. Saat itu aku patah hati. Bahkan, patah sebelum benar-benar pernah merasa utuh. Baginya, mungkin itu adalah cara yang paling santun untuk pergi, namun bagiku hal itu tak lebih dari perpisahan yang menyakitkan.

Nad,maafin Mas. Selama ini Mas sempat hilang. Mas tahu kamu marah.

Itu adalah pesan pertama yang muncul saat aku mulai menyerah untuk berharap pada Mas Gian. Aku benar-benar tak habis pikir bagaimana ia bisa datang dan pergi sesukanya seperti itu, tanpa penjelasan. Awalnya pesan-pesannya aku abaikan. Aku tak ingin terlihat bodoh dengan terus menerus membuka pintu untuknya. Tapi, rindu mengalahkan segalanya. Pertahananku runtuh, aku tak bisa memegang prinsipku untuk tak ingin lagi pacaran. Iya, sejak Mas Gian pergi tanpa kabar aku merasa lelah untuk suatu hubungan yang tidak jelas. Tapi kehadiran Mas Gian kembali meruntuhkan segalanya.

“Mas udah pulang dari Yogya, sekarang udah di rumah. Kamu ke Bandung kan hari ini? Kita ketemu ya.” Katanya lewat telepon.

“Iya hari ini aku ke kampus.” Jawabku singkat. Aku tak ingin terlihat senang, aku juga tak ingin terlalu berharap seperti yang sudah-sudah.

“Mas ngajar dulu hari ini. Sebentar ko, nanti setelah selesai, Mas langsung jemput kamu. Kita nonton ya.”

“Iya boleh, terserah Mas aja. Ya udah nanti kabarin aja kalo jadi dateng. Aku berangkat dulu. Assalamualaikum.” Kataku mengakhiri pembicaraan.

“Oke. Waalaikumsalam.” Jawabnya.

Jangan terlalu berharap! Pikirku.
30 menit…
60 menit…
90 menit…
120 menit…

Aku menunggu, dan menunggu adalah salah satu bentuk dari berharap. Aku kalah. Di luar hujan, aku tak yakin bahwa dia benar-benar datang. Sementara aku sibuk dengan pikiranku, tiba-tiba ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk.

Mas sudah sampai, Mas tunggu di dekat teater 4.

Aku tersenyum, ketika dia terlambat dan datang tanpa menjemputku ke kampus, aku masih bisa tersenyum. Ada bahagia yang tak bisa aku sembunyikan karena akhirnya aku bertemu dengannya.

“Lamaaa” Dia berpura-pura memasang muka sebal, kemudian tersenyum. Ah, senyum yang kurindukan.

“Maaf Mas di luar hujan,” jawabku.

Sebenarnya aku ingin menumpahkan kekesalanku, dia bahkan tak tahu aku menunggunya lebih lama dari itu. Aku menunggu pertemuan dengannya bukan lagi hitungan jam, tapi hitungan hari, hitungan bulan, bahkan ketika dia benar-benar menghilang aku masih menunggu. Tapi aku memilih untuk diam, tidak ada gunanya mengungkit masa lalu setelah sekian lama tak bertemu.

LANGKAH KAKI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang