16# Ayah

16 3 0
                                    

Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya

Kuterus berjanji takkan khianati pintanya

Ayah dengarlah betapa sesungguhnya kumencintaimu

Kan kubuktikan kumampu penuhi maumu

Ayah, bagaimana kabarmu di sana? Bahagiakah kau di sana? Tidakkah kau rindukan aku? Tidak terasa sebentar lagi ramadhan, ini kali ketiga ramadhanku tanpamu. Bahkan kali ini ramadhan pertamaku juga takkan bersama ibu. Tenang saja ayah, ibu di sini baik-baik saja, akan aku pastikan ia baik-baik saja. Hanya saat ini aku masih di suatu tempat yang berada cukup jauh dari ibu. Aku sedang merangkai mimpiku, mimpi-mimpi untuk memenuhi janjiku pada kalian -ayah juga ibu.

Ayah…
Ayah…
Ayah, sejujurnya aku rindu…

Merindukanmu, pria paling tampan dan paling bertanggung jawab atas hidupku.

Ayah, kadang aku merasa sepi di tempat ini. Aku merasa sendirian, bahkan di saat ramai. Saat merasa sepi adalah saat terbaik aku merangkai memori bersamamu, memori indah yang takkan bisa aku ulangi lagi. Ayah, ingatkah cerita kita berdua dulu? Hanya kita berdua yang mungkin ibu pun tidak tahu.

Pertama kalinya kau melihatku kau sudah jatuh cinta kan ayah? Ayolah jangan bohong, aku tahu. Kau adalah orang pertama yang memberikan aku hadiah sepasang boneka besar, si monyet dan si kelinci. Ibu bilang kau tak tahu malu, menenteng dua boneka itu demi aku. Dulu, saat pundakmu masih kuat, kau selalu mendudukan aku di pundakmu, mengangkat aku setinggi-tingginya, tapi tidak pernah lupa untuk menangkapku. Kau membuat aku berani karena aku percaya kau akan melindungiku. Dulu, ingatkah ayah kita sering berebut makanan yang dibuat ibu? Kau suka kepala ikan, aku pun sama. Kau suka paha ayam, aku pun sama. Tapi pada akhirnya, kau selalu mengalah, memberikan milikmu untukku. Ah, terima kasih ayah!

Akhir pekan adalah hari yang selalu kutunggu-tunggu, hari di mana aku bisa berkencan denganmu, hanya denganmu. Kau masih ingat ayah? Kita hampir melakukan banyak hal bersama. Olahraga berdua, mancing berdua, ke pasar malam berdua, jalan-jalan berdua. Cerita bersamamu terlalu banyak, namun yang pasti kau selalu setia menemani. Kau selalu ada, bahkan sampai saat ini.

Aku masih dan akan selalu ingat kebiasaanmu ayah. Kau adalah pria yang paling perfeksionis dalam penampilan, pria tampan yang selalu aku banggakan. Kau suka mendengkur dan kentut di mana saja, menimbulkan gelak tawa. “Daaaaaaaaaaar” begitulah kau mengagetkanku. Ayah si kritikus handal, menggerutu jika nonton berita, bola dan kontes dangdut. Kau, ayahku, partner diskusi yang menyenangkan. Tahukah ayah? Sejak kau pergi, aku tidak tahu harus bercerita pada siapa. Ibu? Ia tak suka banyak bicara. Kakak? Mereka banyak berubah.

Ayah ada yang ingin aku tanyakan padamu, mengapa penyesalan selalu datang di akhir? Sampai saat ini aku masih menyesal, kenapa dulu aku terlalu naif untuk mengatakan sayang dan cinta padamu, bahkan di saat terakhirmu. Tiga tahun lalu, persis beberapa hari sebelum ramadhan, sebelum kau benar-benar pergi meninggalkanku, aku justru tak sanggup melihat keadaanmu. Maaf, bukan karena aku tak peduli, tapi karena aku benar-benar tidak siap kehilanganmu ayah. Kau yang paling tahu tentang aku bukan? Gadis yang berlagak angkuh tapi di dalam hatinya ia mudah rapuh. Namun, hal itu justru menjadi suatu keadaan di mana aku menyesalinya hingga saat ini. Aku merutuki mengapa aku bisa begitu mudah mengatakan perasaanku pada laki-laki brengsek di luar sana yang mengaku mencintaiku tapi kemudian pergi, yang bahkan tak sesetia dirimu. Jauh sebelum itu kau selalu menasehatiku untuk tidak mudah mempercayai laki-laki, kau bilang semua laki-laki itu brengsek, tapi aku tak percaya. Maafkan aku ayah, sungguh tidak akan ada laki-laki yang mampu menggantikan posisimu.

Ayah aku ingat, di saat terakhirmu kau berpesan padaku untuk menjadi perempuan mandiri yang tidak mudah menangis. Aku berjanji saat itu, tapi ternyata sulit. Akhir-akhir ini aku banyak menangis ayah. Entah karena rindu, entah karena kesepian, aku tak tahu pasti. Tanpamu semuanya terasa berbeda. Kau, kemudian kakak adalah laki-laki yang paling aku andalkan, yang paling aku percaya tidak akan meninggalkan aku sendirian, tidak akan membiarkan aku dalam kesepian. Tapi ayah, terlalu banyak tetapi yang tidak bisa dijelaskan oleh karena.

Setelah aku terlalu sering merasa ditinggalkan, ada satu hal yang aku sadari, tidak ada seorang pun yang benar-benar bisa aku andalkan bukan? Aku memang harus mandiri seperti katamu. Aku mulai menyadari, rasanya sekarang aku mulai benci mengandalkan orang lain ayah, salahkah? Tapi aku selalu merasa sakit karena aku masih merindukanmu, merindukan kakak, merindukan saat-saat menyenangkannya bisa saling mengandalkan dalam hidup.

Gadis kecil yang akan selalu merindukanmu.

LANGKAH KAKI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang