Padahal aku sudah bilang, jangan dulu disampaikan, nanti saja. Belum saatnya, nanti sakit. Lagi pula belum tentu jadi pergi atau tidak.
“Kamu siap dengan segala konsekuensinya? Kalo tiba-tiba kangen gimana?” Kataku.
Tapi, dia bersikukuh, katanya tidak apa-apa setidaknya hatinya akan menjadi tenang. Dia bilang hanya dengan ini dia akan merasa lepas. Ah terserahlah. Tugasku menerjemahkan kata yang tidak bisa diungkap hanya lewat bicara. Dunia ini sebagian besar sudah dimiliki orang ekstrovert, orang-orang macam dia, hanya memiliki keberanian lewat tulisan.
Dari Hanin Dyah Humaira
Teruntuk kamu, lelakiku.
Ah, bukan. Maksudku laki-laki yang seandainya kelak bisa aku panggil lelakiku.
Kau tahu? Aku bahagia diberi kesempatan untuk mengenalmu. Dulu, pertama kali melihatmu, tak tebersit dalam pikirku sekalipun bahwa hari-hari berikutnya kita punya perjalanan panjang yang dilalui berdua, meninggalkan jejak kaki yang tak terhitung. Aku tak tahu kapan dan bagaimana pastinya aku menyadari ada yang lain padamu. Juga, aku tak tahu bahwa perasaanku ternyata bisa pulih setelah sebelumnya penuh luka. Kau menggenapiku. Sempurna menutup perlahan luka-luka itu. Meski kadang menimbulkan luka baru –seperti tak sengaja menimbulkan goresan-goresan kecil. Hal biasa jika menyangkut perasaan.
Teruntuk kamu, lelakiku. (Anggap saja begitu)
Terima kasih telah membersamai aku selama 695 hari bahkan lebih. Mungkin banyak waktumu yang terbuang percuma. Kamu, berhasil meninggalkan jejak yang tak bisa terhapus.
Kamu, yang selalu menungguku di pinggir jalan sambil sesekali mengecek ponselmu yang tak absen dipenuhi notif setiap harinya.
Kamu, kadang harus terjaga hingga pagi, kadang menembus udara dingin, berpeluh keringat di saat terik, menggigil di saat hujan, hanya untuk memastikan aku pulang dengan aman.
Kamu, yang selalu bersedia menerima separuh nasiku. Yang pandai membaca ekspresi wajahku kemudian bertanya, “Masih kuat makannya ga? Abisin, tapi kalo gak kuat jangan maksain”
Kamu, yang selalu mengomel saat pakaianku tipis,”Itu sih bukan jaket” katamu, kemudian kau lepas jaketmu, menyuruhku mengenakannya, membuatku akrab dengan aroma parfummu.
Kamu, yang selalu mengomel, “jangan banyak makan mie, jangan banyak minum kopi,,”
Kamu, yang selalu mengingatkanku untuk tidak tidur terlalu larut, yang selalu memastikan dengan pertanyaan “sudah tidur?”
Kamu, yang selalu bilang hati-hati saat kita jalan bersama.
Kamu, yang selalu sabar mendengarkan segala keluhanku, yang selalu punya kalimat penutup untuk membuatku tenang.
Kamu, selalu meyakinkan bahwa segalanya akan baik-baik saja di saat aku penuh perasaan resah tentang hidup dan semua masalah.
Kamu, yang tiba-tiba akan terdiam sangat lama ketika memikirkan sesuatu.
Kamu, yang selalu mengawali pembicaraan dengan bertanya, “Jadi gimana? Kamu ngapain aja hari ini?”, selalu seperti itu, seolah menunjukkan “Ini saatnya waktuku untuk mendengarkanmu”. Kamu, berhasil membuatku jadi burung yang berkicau bahkan hanya untuk menceritakan hal-hal yang tidak penting. Sesekali kamu resah, sesekali kamu melihat ponsel. Saat itu, Aku sepertinya berhasil menyita waktu-waktumu yang mungkin lebih berharga. Ah, aku malu.
Dan, Kamu yang membuatku menjadi akrab dengan udara malam, membuat mataku terpana pada senja, pada bintang, pada apa-apa yang menyala di kala malam. Ya, waktumu, untukku adalah sepenuhnya malam, karena pagi hingga petang adalah waktumu mencintai yang lain. Malam-malamku sejak saat itu, adalah tentang merindukanmu.
Teruntuk kamu, lelakiku. (Andai saja begitu)
Aku adalah orang yang paling mengenalmu. (Suatu saat aku ingin mengklaim seperti itu)
Nampaknya, hari ini aku belum bisa, esok juga masih belum bisa. Suatu saat nanti, entah kapan, aku ingin menjadi yang paling tahu tentang kamu.
Mereka yang sering bersamamu, aku rasa lebih tahu banyak tentangmu daripada aku, aku iri.
Yang aku tahu tentangmu, masih sedikit, bahkan jika ditulis tak akan sampai menghabiskan isi tinta penaku.
Yang aku tahu pasti, jelas dan tak akan keliru, bahwa kamu sangat mencintai apa yang kamu lakukan. Bahwa kamu melakukannya ikhlas, sepenuh hati, dan sangat bertanggung jawab. Bahwa kamu loyal dan totalitas dengan apa yang kamu lakukan, dan semoga dugaanku benar bahwa semua yang kau lakukan adalah Lillah.
Sedang yang lainnya tentangmu bagaimana? Makanan kesukaanmu? Warna favoritmu? Kebiasaan burukmu? Bagaimana kamu ketika marah? Aku masih sedikit tahu, bahkan selama 695 hari yang kulalui ini tak sedetik pun aku berhasil melihatmu marah. Bagaimana bisa aku tahu tentangmu? Maka aku tak mau menerka. Biar kusimpan saja dulu. Aku ingin melihat apakah kelak ada cara ajaib yang diberikan Tuhan untuk membuatku mampu dengan berani mengatakan bahwa aku adalah orang yang paling mengenalmu.
Teruntuk kamu masa depanku (Kuharap seperti itu)
Karena kuharap kau datang di masa depan, maka di masa sekarang aku pamit. Aku tak ingin melangkahi waktu. Aku tak ingin melangkahi takdir-Nya. Sudah cukup bagus bagi kita selama ini bertahan untuk tidak saling bicara soal perasaan. Tapi, aku takut, jika keegoisanku untuk memilikimu lebih tinggi. Aku takut jika imajinasiku tentang kamu di masa depan akan berakhir pahit. sama seperti sebelum-sebelumnya. Aku tahu, berani mulai berimajinasi berarti berani menanggung segala konsekuensi.
Tidak, aku tak ingin berkata pamit untuk memastikan aku benar-benar pergi. Aku bahkan tak tahu apa aku seberani itu. Aku hanya ingin memberimu ruang untuk mencintai hal yang kamu lakukan dengan baik, karena pun kelak aku harus belajar mencintai apa yang kamu lakukan. Aku ingin membayar setiap waktu yang pernah kau buang sia-sia hanya untuk menjadi pendengar yang baik untukku.
Aku pamit. Meski mungkin sesekali akan khawatir padamu dan akan bertanya “apa kabar?”. Mungkin sesekali aku akan mengingatkanmu untuk menjaga kesehatan. Kamu sering kali asyik dengan duniamu, kamu harus ingat, kamu butuh banyak energi untuk memikirkan banyak orang. Mungkin aku akan serewel itu.
Aku pamit. Entah pamit ini diiringi dengan ratusan jarak yang membentang atau tidak, rasanya pamit ini akan memakan waktu cukup lama. Seolah aku ingin punya satu hari penuh untuk membayar malam-malam yang tak bisa lagi kulalui bersamamu. Keinginan yang begitu egois.
Aku pamit. Maaf jika ternyata aku tak bisa di sampingmu saat kau mencapai keberhasilan-keberhasilan itu. Tapi, kau tahu bahwa apa pun keputusan dan langkah yang kau ambil, aku sepenuhnya mendukungmu, bahwa doaku selalu membersamaimu. Kamu, di mana pun itu, di tempat yang kecil, di tempat yang besar, diakui banyak orang atau tidak, tetaplah menjadi seorang pemimpin di mataku.
Percaya atau tidak, kulihat ada air yang menggenang di mata si Hanin, kubilang jatuhkan saja, tapi dia tak mau. Katanya, “Aku kuat, Aku kuat”. Ah, si Hanin, membuatku berpikir, benar kata seorang penulis, Mas Azhar Nurun Ala, andai menjalani perasaan jatuh cinta bisa sesederhana lagunya Efek Rumah Kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGKAH KAKI
Short StoryLangkah kakiku adalah langkah kaki yang bertelanjang, menginjak segala sesuatu yang dihamparkan tanah tanpa terkecuali. Langkah kakiku menapaki ruang yang tak berbatas, memasuki ribuan lorong waktu. Langkah kakiku menghasilkan berbagai kisah yang pa...