20# Seandainya

22 3 1
                                    

"Assalamualaikum ibu.. apa kabar?”

“Alhamdulillah di sini Farah juga baik bu. Ade-ade gimana sehat? Denisa sama Abang lagi apa?”

“Ohh pulang ngaji mereka.. Bu, Farah di sini ada buku bagus loh Bu tentang parenting gitu, Ibu pasti suka. Tapi ini punya temen, nanti kalo Farah pulang Farah beliin buat ibu ya. Oh iya bu, mau Farah bawain apa lagi kalo Farah pulang? Gamis-gamis di sini bagus Bu, atau Ibu mau jilbab?”

“Iyaa, Insya Allah ada rezekinya Bu.”

“Ini Farah lagi ngerjain tugas kampus aja Bu. Denisa mana Bu, Farah mau ngobrol.”

“Hallo Assalamualaikum Denisa? Denisa apa kabar De?”

“Alhamdulillah kakak baik. Ade abis pulang ngaji? Hafalannya sudah sampai mana sayang?”

“Wahhh Masya Allah pinternya ade kaka. Udah makan belum De?”

“Belum? Habis telponan sama kakak nanti makan yaa, coba kalau mau makan Ade baca doanya gimana?”

“Allahumma baarik lanaa fiima razaqtanaa waqinaa adzaa ban-naar, artinya yaa Allah berkatilah rezeki yang engkau berikan kepada kami, dan peliharalah kami dari siksa api neraka. Alhamdulillah yaaa Ade sudah hafal.”

“Gimana sama abangnya akur gak? Abangnya bandel gak?”

“Apa? Abang suka melototin Ade? Nanti kaka bilangin yaa abangnya. Coba mana kakak mau ngobrol sama abang.”

“Waalaikumussalam Abang… Abang gimana sehat?”

“Alhamdulillah.. Abang gimana persiapan mondoknya? Awas loh hati-hati dijaga hafalannya.”

“Insya Allah kaka doain. Katanya Denisa kamu suka melototin iya? Jangan dong Abang, disayang Denisanya. Nanti kalau sudah mondok kangen loh.”

“Iyaa kayak Kak Farah kan dulu suka jailin Abang, sekarang kangen kan. Sebentar lagi kakak pulang, Abang mau dibawain apa?”

“Oh.. Abang mau brownies? Rasa apa? Cokelat? Iya biar Denisa juga suka ya. Nah gitu dong akur. Coba mana ibu kakak mau ngobrol lagi sama ibu ya Bang, baik-baik di sana..”

“Halo Bu, Ibu itu Bang Farid persiapan mondoknya sebentar lagi Bu, ditegur ya Bu kalau keseringan main.”

“Iya, dia kan harus persiapan staminanya juga, hafalannya juga.”

#

Hari ini aku putuskan untuk menginap di tempat temanku –Risa. Di sebuah rumah kontrakan yang cukup besar, berisi beberapa kamar di dalamnya. Kontrakan ini memiliki 2 kamar mandi, satu dapur, ada juga ruangan untuk kumpul bersama. Tempat ini asing, namun entah kenapa aku merasa nyaman. Penghuni kontrakan ini membuat aku takjub luar biasa, membuat aku berkaca kemudian malu. Ah, kapan aku bisa berpakaian seperti mereka. Mereka cantik, berbalut busana gamis dan khimar panjang. Bukan hanya cantik parasnya, tapi juga hatinya. Pertama kali aku sampai depan pintu kontrakan itu, mereka menyapaku dengan ramah. Aku bingung harus bagaimana, mungkin karena aku sudah terlalu lama menghabiskan waktu sendirian, aku seperti lupa bagaimana caranya berbaur. Menyedihkan bukan?

Aku masuk ke kamar Risa. Ada teman sekamarnya di sana, sedang asyik bercengkrama dengan keluarga di seberang telepon. Percakapannya masih akan sangat panjang pikirku. Aku menahan diri untuk berkenalan.

Aku diam-diam mendengarkan. Berusaha tak menguping itu mustahil, jarak kami cukup dekat. Ada rasa penyesalan yang diam-diam menyelimutiku ketika mendengar betapa asyiknya percakapan jarak jauh itu, upaya pelepasan rindu yang tak pernah aku rasakan.

Aku kadang sempat berharap, seandainya aku dilahirkan sebagai anak pertama, mungkin aku akan bekerja sangat keras untuk memperhatikan adik-adikku, mendidiknya sebagai adik yang soleh dan soleha, seperti Farah. Seandainya aku dulu memilih untuk mondok di pesantren, mungkin aku akan ditempa menjadi wanita yang baik, terutama akhlaknya. Mungkin aku dapat bersosialisasi dengan baik, mungkin aku dapat memotong rantai introvert yang ada dalam diriku.

LANGKAH KAKI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang