34# Bale 1 : Pertemuan

20 1 0
                                    

Ini untuk yang ke sekian kalinya, aku berhadapan dengan laki-laki. Sudah banyak perangai yang aku temui dari yang luar biasa baik sampai yang luar biasa buruk sekalipun. Tentu baik dan buruknya seseorang bukan berarti sifat mutlak mereka, ada sisi buruk dan baik yang mereka miliki. Aku tak ingin menjustifikasi. Kusebut buruk mungkin jika ceritaku berjalan kurang mulus.

Aku adalah orang yang selalu kagum dengan laki-laki cerdas. Kali ini aku dibuat terpana pada perjalanan pertamaku dengannya. Sebuah perjalanan yang entah akan melahirkan perjalanan-perjalanan yang lainnya atau tidak.

Kupanggil dia Bale. Unik, seunik karakternya. Dia adalah sahabat karibnya sahabatku, Dewa. Aku beberapa kali bertemu dengannya ketika sedang mengerjakan tugas di tempat kost Dewa. Kami tak pernah bertegur sapa, hanya sempat saling melempar senyum sekadar untuk menunjukan rasa sopan.

Bale dan Dewa adalah teman satu SMA. Tidak banyak yang aku tahu tentangnya. Aku hanya tahu dia suka seni, juga menyukai robot. Dewa bilang itu kebahagiaan tersendiri baginya. Aku hanya bisa manggut-manggut mencoba memahami.

Setelah melewati fase pahit manisnya tugas-tugas kelompok di kampus, aku dan teman-teman termasuk Dewa sudah disibukan dengan skripsi yang amat menyita waktu. Sudah tidak ada lagi kerja kelompok di tempat kostnya. Alhasil, aku juga tidak lagi melihat perawakan tinggi menjulangnya Bale yang biasanya datang mengucapkan salam dengan suara khasnya lalu naik ke lantai dua melewati anak tangga.

Tak disangka. Aku dan Bale dipertemukan lagi. Kali ini kami tak hanya melempar senyum, tapi juga bercengkerama melalui chat. Aku lupa apa yang membuat kami akhirnya menjadi dekat. Tapi yang pasti sejak kami berkomunikasi melalui chat, kami memutuskan untuk pergi bersama dalam sebuah acara. Di situlah perjalanan menyenangkan dimulai.

Aku sudah menunggu di pinggir jalan sekitar lima menit sebelum waktu yang telah kami sepakati bersama untuk bertemu.

"Om, di mana? Aku sudah sampai."

Send.
Pesanku terkirim.

Iya, panggilan Om jadi kebiasaan tersendiri. Terjadi begitu saja.
"urang udah sampe." Jawabnya beberapa menit kemudian dengan mengirim picture posisi keberadaannya.

Setelah aku tengok kiri kanan, sebenarnya aku kurang paham keberadaaannya di mana, tapi sebelum aku send picture akhirnya makhluk tinggi ini muncul juga.

"Udah lama? Sorry ya bu, telat."

"Iye selow baru beberapa menit ko." Pencitraan. Aku tidak mau dianggap cewek rewel yang tidak suka menunggu. Lagian aku sudah kebal dengan yang namanya menunggu, apalagi menunggu kepastian. Hmmm

First impression melihat tampilannya, hanya satu kata, 'kaget'. Sederhana, apa adanya. Kurang cocoklah dengan tampilan seseorang yang mau menghadiri bursa kerja. Yaps, ceritanya kami sudah menjadi para pencari kerja yang membutuhkan informasi lowongan pekerjaan. Dia pakai sandal jepit, sweater dengan tas selempang tanpa membawa CV. Tapi buat aku sih fine, setiap orang punya cara tersendiri untuk mengekspresikan dirinya.

Selama perjalanan aku tak henti mengulum senyum karena melihat tingkah lakunya. Sangat ekspresif. Kalian bisa sebut aku pengamat yang baik. Aku memperhatikan penampilannya dari atas hingga bawah, aku memperhatikan tingkah lakunya. Menggemaskan. Dia dengan apa adanya dirinya tanpa berusaha pencitraan, pikirku. Dia memiliki banyak stok topik pembicaraan mulai dari menceritakan kegiatan, pengalaman, hobi, sampai ketika turun dari motor dia masih sempat membahas langit yang tak berawan.

"Gilaaa panas yaaa, liat deh ke atas bisa ga ada awan gitu."

"Itu ada awan..." tunjukku ke arah langit bagian depan.

"Iya, tapi atasnya gak ada, tu liat tuuu." Sanggahnya tak mau kalah. Aku hanya bisa tersenyum dengan kelakuannya.

Perjalanan antara aku dan Bale tak bisa kusebut kencan. Mungkin teman-temanku banyak berspekulasi. Aku biarkan saja mereka asyik dengan pikirannya. Sedang aku juga asyik dengan pikiranku tentang Bale. Dia memang banyak bertanya tentangku. Tentang hobi dan kesibukan, kadang ia juga memberi beberapa saran. Biar kutebak, aku kira dia sedang mengurangi ketidakpastian dengan mencari kepastian tentang aku. Dia mencari persamaan atau jarak perbedaan di antara kami agar menemukan hal-hal yang bisa dibahas bersama. Sayangnya, justru terlalu banyak rentang perbedaan. Aku banyak tidak tahu dengan apa yang dia bicarakan. Membuat aku terlihat bodoh, tapi membuatku sadar bahwa duniaku begitu sempit.

LANGKAH KAKI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang