Pada malam-malam yang dingin, entah kapan tepatnya, aku lupa, aku bertemu raja paling tampan. Sudah lama rasanya, ah rindu… Kami duduk berdua, di tepian perahu motor, menyaksikan pesona alam dasar laut. Memori itu, seperti déjà vu. Bedanya, hanya kini kami menjadi sama tinggi. Siapa? Dia adalah ayah.
“Bagaimana kabarmu, bagaimana rindumu?”
“Aku baik ayah, rinduku belum sembuh, rinduku padamu.”
Kemudian ia hanya tersenyum. Seperti biasa ia mengelus kepalaku, ia tampak bahagia sekarang yang ia sentuh sudah berbalut jilbab. Kami bercengkerama, memanggil kembali segala jenis kenangan yang ada. Ketika kami mulai saling diam, kupandangi ia. Begitu lekat. Kapan lagi aku pikir, bahkan jika ini memang mimpi aku tahu hal ini takkan berlangsung lama.
Ada bulir yang jatuh dari sudut matanya. Kenapa? Tanyaku. Lagi-lagi ia hanya tersenyum.
“Putri kecilku yang cantik, kini aku begitu damai melihatmu. Aku tak lagi risau, maka buang jauh-jauh penyesalanmu, jika kau pikir kau tak lagi mampu membahagiakanku, maka kau salah besar. Aku ada, berada di garda terdepan untuk mengamatimu. Kau tak perlu terus bersedih, kau hanya perlu mengejar apa yang kau inginkan, katakan pada siapa pun yang menentangmu, bahwa aku mendukungmu, ibumu pun pasti mendukungmu. Kau tak perlu pujian untuk jadi besar, kau tak perlu dengar kata-kata mereka yang merendahkan, kau tak perlu lari ketika banyak tekanan, kau hanya perlu ingat tuhanmu.”
Aku menunduk, mendengarkan dengan seksama, tidak berani menatap.
“Bermanfaatlah untuk orang lain anakku, bermanfaatlah… aku yakin dirimu mampu, karena kau adalah anakku, yang sudah aku tempa banyak hal.” Ia tertawa kecil. Aku bingung.
“Bagaimana kabar priamu?”
“Aku? Priaku? Tak ada ayah… ” aku jawab sambil memalingkan muka. Kenapa di saat aku sedang melepas rindu, ayah membahas sesuatu yang tidak perlu.
“Tak apa, aku hanya ingin menitip pesan, kelak berkunjunglah ke rumah baruku, jangan melulu bersama ibu, bawakan aku seorang pria pengecutmu.”
“Pengecut? Ayah mau anaknya ini bersama seorang pengecut?” Kataku heran.
“Dengarkan dulu….” Ujar ayah sambil memencet hidungku hingga merah. Ah dia masih saja memperlakukanku seperti anak kecil.
“Bawakan aku pria pengecut, pengecut karena ia takut pada Allah… Ketika ia takut pada Allah, ia tak akan membawamu pada hal-hal yang buruk, karena aku akan percaya ia akan sama-sama menuntunmu untuk berproses menuju surga. Pengecut karena ia takut kehilanganmu, ketika ia takut kehilanganmu, ia hanya akan benar-benar melihatmu. Pengecut karena ia takut membuatmu menunggu lama, maka ia tak akan berlama-lama dengan bualannya, ia hanya akan bergegas mengajakmu menemuiku. Pengecut karena ia takut membuatmu menangis, maka ia tak akan berani melukai hatimu dengan sengaja. Juga pengecut karena ia takut tak bisa menafkahimu dengan baik, sehingga ia akan bekerja begitu keras untuk kehidupan kalian. Begitulah, maka bawakan ayah segera seorang pengecut yaaa…”
Sayup-sayup kudengar Adzan subuh berkumandang. Aku terdiam, ku kerjapkan mata, dan basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGKAH KAKI
Short StoryLangkah kakiku adalah langkah kaki yang bertelanjang, menginjak segala sesuatu yang dihamparkan tanah tanpa terkecuali. Langkah kakiku menapaki ruang yang tak berbatas, memasuki ribuan lorong waktu. Langkah kakiku menghasilkan berbagai kisah yang pa...