Axelorga Nathanael • 20

4K 706 95
                                    

Ruangan di mana Kayla terbaring sepenuhnya hening

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ruangan di mana Kayla terbaring sepenuhnya hening.

Hanya terdengar suara dari monitor detak jantung, goresan pensil Leandro pada kertas, dan embusan napas masing-masing yang semakin berat seiring malam menggelap.

Sebenarnya, ruangan itu tidak lagi terlihat seperti ruang rawat biasanya. Selain karena merupakan ruangan VIP, keempatnya menambahkan berbagai furnitur untuk menunjang kegiatan mereka di sana. Sofa di dekat jendela diganti jadi yang lebih besar, kasur lipat yang terbentang di dekat sofa, dan meja belajar kecil di sudut.

Leandro menekuni catatan kimianya, sesekali menahan kuap dengan meminum kopi kemasan. Noah sudah pergi ke alam mimpi, dia meringkuk di kasur lipat dengan tenang. Marshal tak jauh berbeda, dia memakai penutup mata dan bersandar di sofa yang empuk dengan nyaman.

Axel masih di sana, duduk di samping tempat tidur Kayla dan menggenggam tangan kirinya erat. Sesekali, Axel mengecup tangan yang kurus dan pucat itu.

Tidak ada dari keempatnya yang berniat pergi bahkan setelah lebih dari dua tahun Kayla koma.

Tragedi itu adalah pukulan telak bagi mereka berempat. Empat anak laki-laki, yang tak saling mengenal satu sama lain, dihadapkan dengan fakta pahit yang sama. Tatapan bingung, tubuh bergetar, tanya yang memenuhi kepala, dan kesedihan yang teramat nyata menguasai mereka.

Bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya terjadi? Mereka tidak pernah tahu.

Axel tidak pernah melihat Leandro sebelumnya. Ada benteng es yang dia bangun, sehingga Axel tidak tahu apa-apa tentangnya. Mengapa Leandro terdiam begitu lama memandangi pintu saat Kayla pertama dibawa ke rumah sakit, mengapa setiap hari Leandro datang dengan harapan, doa, dan sakit yang teramat sangat di matanya.

Siapa sebenarnya Leandro? Apa hubungannya dengan Kayla-nya?

Axel tahu siapa Marshal. Musa, Ayah Marshal adalah seorang musisi besar dan kerap hadir di acara ulang tahun stasiun televisi ayahnya. Axel juga tahu, Marshal digadang-gadang menjadi penerus Musa, terbukti dari rangkaian prestasi yang dia capai.

Pertanyaan itu kembali berputar di kepalanya. Bagaimana bisa Marshal datang dengan wajah panik dan pucat pasi ke rumah sakit kala itu? Apa hubungannya dengan Kayla-nya?

Lalu, Noah. Menurut orang tua Kayla, Noah adalah teman sekelasnya. Namun, Axel bisa melihat dengan jelas apa yang sebenarnya Noah rasakan lewat tangisan diam-diam laki-laki itu saat melihat kondisi Kayla.

Lagi, apa hubungan Noah yang sebenarnya dengan Kayla-nya?

Yang bisa Axel pastikan, mereka semua keras kepala. Tidak mau pergi dari sisi Kayla, setia menunggunya bangun, dan memiliki rasa yang sama. Sama-sama jatuh cinta dengan alasan dan proses yang berbeda.

Persamaan itu mungkin yang menyatukan keempatnya. Egois dan memusuhi satu sama lain tidak membantu Kayla untuk cepat sadarkan diri.

Semuanya didukung usia yang sama, tingkatan kelas yang sama, dan masuk sekolah yang sama. Kayla juga seharusnya masuk dalam sekolah itu, kalau saja....

Bukan waktu yang singkat, memang. Harapan pernah menipis, menyerah nyaris menang, putus asa kian menumpuk. Hanya percaya yang mereka punya. Percaya Kayla akan tersenyum untuk mereka lagi, akan membuat hari mereka sehangat matahari lagi.

Axel tidak pernah mengatakan ini kepada siapapun. Ia menyelidiki kehidupan Leandro, yang membuatnya menyesal, alih-alih merendahkan laki-laki itu. Axel tidak bisa membayangkan kalau ia berada di posisi Leandro. Ia tidak akan mampu. Ia tahu rahasia Leandro, yang tergelap sekalipun. Akan tetapi, cukup ia ketahui. Tak perlu dibicarakan.

Marshal dan Noah lebih mudah diketahui kehidupannya. Keluarga mereka termahsyur, bukan masalah sulit. Tak ada yang disembunyikan, kecuali kejadian-kejadian di mana Axel terkadang segan kepada Marshal. Dalam hati, Axel menyebutnya setengah gila.

Mungkin di antara mereka berempat, Noah adalah yang paling normal, paling manusiawi.

Axel menoleh kala Leandro meregangkan otot dan menutup bukunya. Laki-laki itu bangkit, menatap ke arahnya sekilas, dan beralih pada Kayla. Lama, pandangannya terpaku ke sana.

"Dasar putri tidur," kata Leandro. Axel bisa mendengar nada pilu di sana.

"Berarti kita empat pangerannya? Satu pangeran es, satu pangeran dari pertunjukkan, satu pangeran pengantuk, dan satu pangeran yang sebenarnya, gue."

Leandro mendengus, tetapi tidak mengalihkan pandangan. "Tingkat percaya diri lo luar biasa." Kentara sekali nada sinis Leandro.

"Kayla pernah bilang begitu."

"Dia benar."

"Memang selalu benar." Axel mengecup tangan dingin Kayla lagi. "Kalau Kayla nggak koma, menurut lo apa yang terjadi?"

"Yang pasti, dia tidur di jam selarut ini."

"Bukan itu yang gue maksud."

"Gue nggak tahu, Axel." Tubuh Leandro menegang, keningnya mengerut dalam. "Gue pernah merasa mengenal Kayla, tapi sejak saat itu, yang terjadi adalah kebalikannya."

Axel tersenyum miris. "Mungkin selain putri tidur, julukannya yang lain adalah putri misterius. Lo nggak tidur?"

"Kopi menghilangkan kantuk gue."

"Ck. Besok juga di sekolah lo pura-pura sakit dan tidur di UKS."

"Bukan besok, hari ini."

Diliriknya jam dinding, pukul tiga pagi.

"Lo sendiri? Nggak tidur."

"Ini malam bagian gue untuk menemani Kayla. Gue nggak mau menyia-nyiakannya."

Leandro tidak menjawab, kalimat yang meluncur selanjutnya lebih terdengar seperti gumaman untuk dirinya sendiri. "Bangun, Kayla. Kami semua menunggumu."

Parau. Kalimat itu mewakili keinginan Axel yang terdalam.

Detik selanjutnya, ruh Axel terasa seakan tertarik dari tubuhnya. Penglihatannya tak mungkin salah, Kayla yang terbaring meneteskan air mata.

"Kayla." Suara Axel tercekat.

Leandro terpaku, layaknya membeku. Namun, dia segera menekan tombol yang terhubung kepada para tenaga medis.

Marshal dan Noah terbangun saat itu juga. Berdiri dengan terburu-buru dan ikut melihat apa yang membuat Leandro dan Axel terkejut bukan main.

Air mata kembali jatuh dati mata Kayla.

"Apa Kayla bangun?" bisik Marshal, jantungnya sudah akan meledak oleh dentuman tak terkendali.

Pintu terbuka dan keempatnya kompak mundur untuk memberi ruang. Tetap saja, tatapan mereka masih tertuju pada Kayla.

Langit luas bagi Leandro, sayap untuk Marshal, pintu kebahagiaan teruntuk Noah, dan cahaya utama hidup Axel.

Sudah lebih dari dua tahun yang lalu, Kayla koma. Membuat langit Leandro runtuh, sayap Marshal patah, pintu Noah tak bisa dibuka, dan cahaya hidup Axel mati.

Tragedi itu, yang membuat Kayla koma.

Kayla mencoba mengakhiri hidupnya sendiri dengan gantung diri.

***

Selamat bertemu di BOOK TWO.

Prince Kendic
Instagram : @princekendic

Bad Boys Darling ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang